Jejak Anak Rantau #49: Kegagalan, Bukanlah Kegagalan

Selamat malam #AnakRantau, selamat menikmati malam minggu bersama keluarga, teman dan orang-orang terkasih lainnya. Alhamdulillah, hari ini Jakarta turun hujan, setelah sepanjang hari disorot cahaya matahari yang terik, pada akhirnya Yang Maha Pengasih memberikan hujan hingga terasa lebih sejuk.

By the way, apa kabarnya teman-teman hari ini? Alhamdulillah, kabarku hari ini baik. Dan bahkan lebih baik dari sebelumnya, kenapa? karena aku punya satu pengalaman baru dalam hidupku yang sebelumnya tidak pernah aku sadari. Mungkin pengalaman itu pernah atau bahkan sering aku alami, tetapi kabar baiknya, pengalaman itu tidak pernah bisa sampai menyadarkanku, membuka hatiku, bahwa everything’s gonna be ok.

Memangnya, apa sih pengalaman itu?

So, satu pekan ke belakang sebenarnya ada hal yang sangat aku tunggu. Yaitu, pengumuman hasil seleksi dari sebuah program Study Comparative yang diselenggarakan oleh salah satu lembaga non formal di Indonesia. Goals dari program tersebut adalah menjadi anggota conference and cross culture di tiga Negara South East Asia.

Berawal dari niat “iseng-iseng yang diseriusi”, aku dan partnerku mencoba apply dan submit essay untuk ikut seleksi program tersebut. Sebenarnya, ini adalah kali ke sekian bagiku untuk ikut seleksi semacam ini, akan tetapi bagi partnerku seleksi program ini adalah kali pertamanya, oleh karena itu ada sedikit khawatir sebenarnya dalam hatiku. Takut jika hasilnya tidak sesuai dengan harapannya, akan mematahkan semangatnya.

Karena bagiku sendiri yang telah berulang kali gagal, rasa kecewa itu masih selalu meninggalkan jejak di dalam hati. Hanya saja tak lama setelah itu semangatnya muncul lagi. Hehe.

Setelah dua bulan berlalu, akhirnya pengumuman resmi dari lembaga terkait pun muncul melalui halaman website. Dan memang hasilnya aku dan partnerku masih dinyatakan belum lulus. “Yah, aku gagal lagi deh” ucapku malam itu sambil menatap layar laptop. Entahlah, penolakan itu entah menjadi kegagalanku yang ke berapa. Aku tidak ingin memikirkannya. Namun memang terkadang, rasa kecewa karena kegagalan lebih sering mendominasi hatiku, sehingga membuat pikiranku berlarian kemana-mana hingga menimbulkan berbagai prasangka buruk.

“Kok aku masih belum lulus juga? aku udah belajar dari berbagai kesalahan di masa lalu, tapi belum juga berhasil, jangan-jangan aku emang nggak berkompeten”

dan seterusnya.. dan seterusnya..

Tanpa aku sangka, ternyata keluhan-keluhan tersebut direspon oleh partnerku yang pada saat itu pun sedang mengalami kegagalan yang sama denganku. Bedanya, ini adalah kegagalan pertamanya, sementara bagiku, ini adalah kegagalanku yang ke sekian. “Kamu, gagal? aku dong Lulus”. ucapnya sambil tersenyum optimis. Dan statementnya refleks membuatku kaget, “loh gimana bisa kamu lulus, sementara ini adalah kali pertamamu mencoba? sementara aku yang udah berulang kali, tapi masih belum lulus juga? kamu beneran lulus? kamu salah liat nama kali!” Ucapku tegas sambil merebut tablet yang sedang digenggamnya.

“Mana? nggak ko, kamu ga lulus nih buktinya”

“aku lulus, Nna, aku lulus. Aku lulus alhamdulillah aku berhasil melewati 1 jatah gagalku, Nna. Berarti sisa jatah gagalku berkurang 1 kan?, bukahkah itu hal yang baik? aku berhasil lulus melewati 1 jatah gagalku

Jleb! rasanya ada yang menampar seluruh alam kesadaranku. Rasanya kalimat yang sekali ucap keluar dari mulutnya, dalam sekejap berhasil meruntuhkan berbagai prasangka dan keluhan yang telah kokoh paripurna berada dalam pikiranku. Aku terdiam, dan hanya memandang wajahnya, “how can you think like that?”.

New York city evening haze by @dave_krugman #davekrugman #dcncity #dcnphotography

Picture: Pinterest

Hanya itu, satu pertanyaan yang pada saat itu terucap dari mulutku. Bagaimana bisa? seorang yang baru pertama kali mencoba hal baru, kemudian ia gagal, namun masih bisa berpikir se-positive itu? Sementara aku yang telah berkali-kali gagal, kenapa tidak mampu berpikir demikian? bukankah setiap orang memiliki jatah gagalnya masing-masing? Kemudian aku mencoba untuk berdialog dengan diriku sendiri, deep into my self.

Dan ternyata memang benar, semua yang terjadi akan selalu bisa kita tanggapi dengan dua cara pandang, positive perception or negative perception.

Ketika kita memilih negative perception, maka definisi kegagalan akan selalu menjadi dirinya sendiri, yaitu “kegagalan”.

Akan tetapi jika kita memilih positive perception, maka definisi “kegagalan” itu bukanlah “kegagalan”, namun “keberhasilan menyelesaikan 1 jatah gagal”.

So, jika DIA memberimu 100 jatah gagal, sudah berapa banyak jatah yang telah berhasil kamu gunakan?”

Semoga jatah gagalmu segera habis yaa, supaya kamu bisa segera sampai di tahap akhir kemenangan 🙂

 

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #48: Menuju Akhir Tahun, Ada yang Tertinggal?

Selamat malam, sahabat #AnakRantau. Bagaimana akhir pekan kalian? masih sibuk? ada tugas yang harus di carry over ke weekend? huhuhu semoga tidak ada yaa teman-teman. Karena anywhy, in my opinion weekend ini benar-benar harus kita manfaatkan untuk melakukan berbagai kegiatan yang bisa membahagiakan diri kita, sebagai bentuk self-love tentunya.

By the way, pagi tadi saat aku menerima telephone dari orang tua di Bandung, mereka mempertanyakan perihal kepulanganku ke Bandung, katanya “kapan kamu pulang lagi, libur Natal atau Tahun Baru?” dalam hatiku, “WHAT? Libur Natal? Tahun Baru?” wahh rasanya baru kemarin aku berada di penghujung tahun 2018, sekarang sudah mau menuju akhir tahun 2019 lagi. “Betapa betahnya kamu hidup di dunia ini Nna, sampai kamu tidak menyadari kini kita sudah berada di penghujung tahun”.

Dots & Pens on Instagram_ “Something that I wanted to add to my bullet journal this year was a spread for my favorite memories from the month_ I was inspired by…”.jpg

Picture: Pinterest

Bicara soal akhir tahun, apa yang sedang teman-teman lakukan atau rencanakan?biasanya aku melakukan semacam review atau evaluasi terhadap hal-hal apa saja yang telah dilakukan selama satu tahun ke belakang, bagaimana hasilnya, perlu improvement atau tidak, sampai merencanakan kembali apa yang ingin dan tidak ingin dilakukan di tahun berikutnya.

Tak jarang dari aktivitas tersebut juga sering ditemukan beberapa target yang gagal atau belum terwujud, atau mundur dari waktu yang ditentukan, atau lebih parahnya lagi, “tertinggal dan lupa sama sekali untuk dilakukan”, huft! Bahkan sampai malam ini pun, ketika aku sedang menulis ini, dalam hatiku merintih malu, karena masih ada satu target dari awal tahun kemarin yang ingin aku selesaikan di akhir tahun ini, namun parahnya hingga malam ini, aku belum memulai sedikit pun untuk menyelesaikan target tersebut.

Ternyata benar, bahwa sempurnanya ide atau gagasan atau perencanaan tidak akan bernilai lagi sempurna jika tidak ada action. Dan semua itu, pastinya ditentukan oleh kadar kedisiplinan dari dalam diri kita sendiri.

Disiplin terhadap diri sendiri, terhadap waktu yang kita pergunakan, terhadap ide dan gagasan yang telah kita create, juga disiplin terhadap segala hal yang kita jalani dalam hidup ini. Karena bagaimana pun juga disiplin adalah kunci utama yang akan menentukan sukses tidaknya sebuah planning, dan dengan sikap disiplin pula, kita akan terhindar dari berbagai aktivitas yang tidak semestinya kita lakukan.

Tak jarang memang, tatkala kita melakukan sebuah rencana besar atau pun kecil selalu ada tantangan yang harus kita hadapi, tantangan tersebut seringnya muncul dari dalam diri kita sendiri. Semacam ego yang seharusnya dilawan, tapi malah kita manjakan. Itulah yang menyebabkan perencanaan sempurna yang telah kita buat, ternyata gagal terwujud.

So, insyaAllah masih ada sisa waktu beberapa minggu ke depan sebelum berganti tahun. Jika teman-teman masih ada target akhir tahun yang belum selesai, kuy! kita selesaikan bareng-bareng. Bismillah, semoga Allah mudahkan yaa.

 

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #47: Tentang Strata Sosial

Pekan ini menjadi pekan yang ramai bagiku, terutama jika menyimak ragam berita, baik di media online atau pun media cetak. Mulai dari berita tentang kekeringan lahan, kelaparan, perang di sejumlah wilayah yang tak kunjung usai, bencana alama, belum lagi berita perpolitikan yang kian menguap.

Oh sebentar! Aku tidak bermaksud ingin membahas tentang kasus-kasus tersebut, apalagi membicarakan topik perpolitikan yang rasanya bukan ranah pribadiku. Aku, melalui Jera’s Project kali ini hanya ingin kembali berbagi kisah. Berbagi kisah tentang apa yang kulihat sepanjang perjalananku selama satu minggu ke belakang.

Entah apa yang salah dengan diriku sendiri, semakin hari, semakin banyak aku melihat “mereka” yang kehidupan sosialnya jauh dari kata “layak”. Aku berpikir, apakah ini hanya sebuah pemikiranku yang hanya melihat pada satu sisi kehidupan saja?, atau memang faktanya saat ini ketimpangan sosial makin meluas?

Picture: Pinterest

Anak-anak kehilangan masa sekolahnya, sampai para lansia yang terrenggut kesejahteraan di hari tuanya. Belum lagi apabila sengaja kita lihat perkasus secara detail. Sesak rasanya membaca sebuah headline “seorang anak membunuh orang tua hanya karena bla bla bla bla”, atau pilu rasanya ketika menyaksikan video viral di media sosial tentang seorang anak yang hidup di bawah garis kemiskinan berjuang pergi ke sekolah dengan hanya 1 kaki, tanpa ada perhatian dari dinas sosial setempat.

Lantas, bagaimana dengan yang ada di sekitar kita?

Sama. Ya, sama! Aku kira kisah-kisah tersebut terjadi di tempat yang jauh di sana, tak bisa kulihat secara langsung. Namun kenyataannya di sekitarku pun begitu banyak kehidupan yang demikian.

Seperti bapak tunanetra yang berprofesi sebagai penjual kerupuk di trotoar Thamrin, seorang ayah dan anaknya yang selalu kulihat di bawah JPO kala mereka sedang mengistirahatkan badan dari lelahnya mencari barang-barang bekas, seorang kakek yang hidupnya sebatang kara dengan kondisi kesehatannya yang buruk.

Mereka semua bertahan dan berjuang sendirian. Terabaikan olehku dan oleh kita semua yang terlalu sibuk menata diri tanpa peduli terhadap orang lain. Lantas, dengan kondisi yang demikian, masihkah kita bangga mengakui bahwa kita telah menjadi warga negara yang baik karena menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila? Sementara kita abai terhadap kehidupan mereka.

Rasanya, tak ada lagi implementasi dari kalimat Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sehingga adanya mereka seperti terkotak-kotak oleh strata sosial yang kian meninggi. Menjustifikasi bahwa kondisi mereka bukanlah urusanku atau urusan kita.

Padahal jelas sudah tentang titah-Nya kepada kita, bahwa seorang hamba haruslah menjadi insan yang saling tolong menolong, saling menebarkan kebaikan dan meluaskan kebermanfaatan yang seluas-luasnya.

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran

QS. 5:2

Lalu, apa harapanmu di Sabtu malam ini? kalau harapanku, semoga apa yang telah aku lakukan hari ini, bisa memberi manfaat untuk semuanya.

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #46: Work Life Balance, di Jakarta

Tulisan ini adalah sebuah inspirasi dari video yang diterbitkan oleh Vice Indonesia. Untuk melihat videonya, klik di sini

Hai Anak Rantau, khususnya kamu yang sedang menjejakkan langkah perantauan di Jakarta, by the way apa kabarnya? alhamdulillah I’m feel so good, entah ada aroma apa tapi hari ini aku merasa lebih bersemangat dari sebelumnya.

Kali ini, aku akan mengajak kalian untuk sejenak flashback mungkin beberapa hari ke belakang atau beberapa minggu ke belakang. Kalian merasa nggak sih kalau cuaca di Jakarta semakin panas? bahkan di pagi hari ketika hendak berangkat ke kantor sekitar jam 08.00 pagi, matahari mulai terasa terik belum ditambah lagi paparan polusi udara yang semakin membuat kita kehilangan aroma sejuk udara pagi. Hiks, jika seperti ini, biasanya energi positif untuk memulai pekerjaan di Kantor akan sedikit terkikis oleh lelahnya perjalanan dari rumah menuju Kantor.

Belum lagi jika ada tantangan berat yang harus kita lalui selama perjalanan. Seperti misalnya jalanan macet bagi yang menggunakan kendaraan pribadi, kondisi berdesak-desakan di Commuter Line bagi yang menggunakan Public Transportaion, sampai hilangnya mood yang baik karena merasa lelah ketika berkendara dengan roda dua. Kamu tim yang mana? dan kamu, biasanya bagaimana menghadapi rutinitas di kantor setelah melewati serangkaian tantangan tersebut?

Aku selalu merasa kagum pada mereka yang menghadapi tantang seperti itu, setiap hari. Dan aku juga merasa sangat kagum pada mereka yang demikian tetapi masih bisa profesional menyelesaikan pekerjaan di kantor dengan baik. Tapi aku lebih merasa sangat kagum pada mereka yang sudah menghadapi tantangan seperti itu setiap hari, tapi masih bisa profesional kerja, ditambah mereka masih punya waktu untuk bertemu dengan keluarga, hang out bareng teman-temannya, berkarya di luar, berolah raga kehidupan sosialnya di luar tidak ada masalah, dan bahkan lebih kerennya lagi mereka masih bisa menunaikan hak terhadap dirinya sendiri untuk beristirahat dengan jam tidur yang cukup.

Wow, rasanya work life balance nya itu sangat realistis dan mudah. By the way kalau kamu gimana? *nunjuk diri sendiri*

New York city evening haze by @dave_krugman #davekrugman #dcncity #dcnphotography

Picture: Pinterest

Teman-teman you know? sebenarnya hari ini adalah harinya aku untuk recovery pasca terserang demam, flu, dan radang. Ya dan penyakit itu menyebabkan aku harus beristirahat meninggalkan aktivitasku di kantor selama dua hari. Diagnosa medisnya masih sama seperti sebelum-sebelumnya, karena terlalu capek, kurang berolah raga, makan yang tidak teratur dan sembarangan, juga jam tidur malam yang kurang cukup.

Kira-kira jika kondisi fisik seperti itu sudah mencerminkan work life balance yang baik atau enggak yah? hehe, tentu jawabannya NO. Aku (dan kalian yang sama denganku) mungkin selama ini terlalu fokus dengan pekerjaan atau daily activity masing-masing. Seperti meeting di kantor, dikejar target perusahaan, juga projek atau tender yang butuh persiapan matang terkadang membuat kita bekerja lebih keras, butuh waktu lebih banyak sehingga tak jarang membuat kita bersedia melakukan over time. Dan tak tanggung-tanggung pekerjaan itu pun menyita waktu untuk berkumpul dengan keluarga.

Eh, wait! Jangankan untuk berkumpul dengan keluarga, untuk memenuhi hak terhadap diri kita sendiri pun rasanya sulit. Mengurangi jatah jam tidur malam kita, membiarkan diri tidak berolah raga, bahkan untuk sekadar makan mengisi perut pun rasanya sulit. Seolah 24 jam waktu dalam sehari tidak akan pernah cukup bagi kita untuk menyelesaikan kegiatan-kegiatan tersebut.

Tanpa sadar, kehidupan yang demikian ternyata bukan hanya menjauhkan diri kita dari standar work lif balance yang semestinya. Namun juga sebagai bukti bahwa kita tidak memiliki rasa cinta terhadap diri sendiri (self-love). Ketika kita merasa “enggak enak” karena belum bisa menyelesaikan tugas untuk orang lain, lantas kenapa kita merasa “no problem” saat mengabaikan hak-hak yang harus diberikan kepada diri kita sendiri?

Hmm, guys yuk cek kembali time management yang telah melekat di diri kita. Karena anywhy time management akan selalu berpengaruh terhadap produktivitas yang kita lakukan.

Selamat berakhir pekan.

 

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #45: Mengkritisi Hujan

Di tempatmu, sudah turun hujan? Alhamdulillah, sore hari ini hujan telah membasahi lagi ibu kota. Bahagia rasanya, karena bisa kembali menikmati hujan. Terlebih lagi, sepertinya hujan kali ini adalah hujan yang dirindukan oleh semua pihak yang telah mengalami krisis air sepanjang musim kemarau kemarin. Melihat dan membaca di beberapa surat kabar pun, rasanya cukup memprihatinkan ketika beberapa orang di antara kita harus mengeluarkan uang hanya untuk mendapatkan air bersih.

Padahal, air adalah produk Allah yang langsung DIA turunkan untuk kebutuhan seluruh makhluk hidup di dunia ini secara gratis. Untuk makan, minum, mandi, dan berbagai aktivitas lainnya yang membutuhkan air. Tetapi sayangnya, produk gratis tersebut tidak lagi menjadi gratis ketika telah sampai ke tangan manusia, apalagi jika sifatnya langka.

By the way, apa sih yang sering teman-teman lakukan di kala hujan turun? katanya, aktivitas yang paling nyaman dilakukan saat hujan turun ialah menikmati semangkuk mie instant lengkap dengan toping cabai yang menambah sensasi pedas di mulut, atau katanya, aktivitas lain yang tak kalah nyaman dilakukan ketika turunnya hujan ialah beristirahat di atas sebuah kasur lengkap dengan selimut untuk menghangatkan badan.

A picture of Big Ben I took on a rainy afternoon on the London Eye a couple of years back.png

Picture: Pinterest

Hmm benarkah? iya sih, tapi faktanya ternyata ada hal yang lebih penting dari sekadar makan mie instant atau tidur di kala hujan. Apakah itu? ketika kita melangitkan do’a terbaik kita kepada-Nya. Karena, hujan telah menjadi salah satu waktu yang baik bagi kita untuk melakukan aktivitas tersebut.

Namun sayang sekali, meski faktanya demikian masih ada di antara kita yang selalu mengkritisi datangnya hujan. Terlebih hal itu kita lakukan ketika kita memiliki suatu agenda penting yang sudah direncanakan sebelumnya. Seperti hang out dengan teman, menghadiri pesta pernikahan, atau kegiatan-kegiatan lainnya yang mengharuskan kita untuk beraktivitas di luar ruangan.

Tak sadar mungkin, kita sendiri pun pernah melakukannya. Ketika tetesan air pertama dari langit turun, alih-alih mengucapkan kalimat “Allohumma Shoyyiban nafi’an”, kita malah mengucapkan kalimat-kalimat keluhan seperti, “yah kenapa hujan, kan mau pergi ke sana”, atau “yah kenapa hujan, jalanan becek pasti deh jadi macet”, atau kalimat-kalimat keluhan lainnya yang sebenarnya tidak seharusnya kita ucapkan.

Mungkin, kita pun tak pernah menyadari bahwa di luar sana ada banyak pihak yang merindukan datangnya hujan. Bagi mereka yang sedang mengalami krisis air bersih, hujan tidak hanya sekadar air yang membasahi tanah-tanah kering, tetapi juga hujan bisa menyelematkan hidup mereka dari ketergantungan terhadap air yang tak layak. Hujan juga menjadi momen yang ditunggu bagi mereka yang menjadi korban kebakaran hutan.

Mungkin, kita pun tak pernah menyadari, bahwa ketika kita menganggap hujan telah mengganggu aktivitas kita, kemudian kita mengeluhkan kehadirannya, bukankah sebenarnya pada saat itu kita sedang menggugat Allah? hiks, 😥 siapa kita? berani-beraninya menggugat DIA.

Jangan salahkan datangnya hujan, jangan kritisi kehadirannya. Karena sebenarnya ada banyak yang bisa kita lakukan di saat hujan turun. Saling melangitkan do’a, berkontemplasi dengan diri sendiri, menulis, mencari ide, membuat sebuah karya, adalah beberapa aktivitas menyenangkan yang bisa kita lakukan di saat hujan turun.

So, sudahkah hujan turun di kotamu? jika sudah, kutitipkan do’a padamu, mohon langitkan pada-Nya bersama do’a-do’a terbaikmu yang lain.

Selamat menikmati weekend, selamat menyambut datangnya hujan. Berbahagialah!

Salam,

el