Jejak Anak Rantau #47: Tentang Strata Sosial

Pekan ini menjadi pekan yang ramai bagiku, terutama jika menyimak ragam berita, baik di media online atau pun media cetak. Mulai dari berita tentang kekeringan lahan, kelaparan, perang di sejumlah wilayah yang tak kunjung usai, bencana alama, belum lagi berita perpolitikan yang kian menguap.

Oh sebentar! Aku tidak bermaksud ingin membahas tentang kasus-kasus tersebut, apalagi membicarakan topik perpolitikan yang rasanya bukan ranah pribadiku. Aku, melalui Jera’s Project kali ini hanya ingin kembali berbagi kisah. Berbagi kisah tentang apa yang kulihat sepanjang perjalananku selama satu minggu ke belakang.

Entah apa yang salah dengan diriku sendiri, semakin hari, semakin banyak aku melihat “mereka” yang kehidupan sosialnya jauh dari kata “layak”. Aku berpikir, apakah ini hanya sebuah pemikiranku yang hanya melihat pada satu sisi kehidupan saja?, atau memang faktanya saat ini ketimpangan sosial makin meluas?

Picture: Pinterest

Anak-anak kehilangan masa sekolahnya, sampai para lansia yang terrenggut kesejahteraan di hari tuanya. Belum lagi apabila sengaja kita lihat perkasus secara detail. Sesak rasanya membaca sebuah headline “seorang anak membunuh orang tua hanya karena bla bla bla bla”, atau pilu rasanya ketika menyaksikan video viral di media sosial tentang seorang anak yang hidup di bawah garis kemiskinan berjuang pergi ke sekolah dengan hanya 1 kaki, tanpa ada perhatian dari dinas sosial setempat.

Lantas, bagaimana dengan yang ada di sekitar kita?

Sama. Ya, sama! Aku kira kisah-kisah tersebut terjadi di tempat yang jauh di sana, tak bisa kulihat secara langsung. Namun kenyataannya di sekitarku pun begitu banyak kehidupan yang demikian.

Seperti bapak tunanetra yang berprofesi sebagai penjual kerupuk di trotoar Thamrin, seorang ayah dan anaknya yang selalu kulihat di bawah JPO kala mereka sedang mengistirahatkan badan dari lelahnya mencari barang-barang bekas, seorang kakek yang hidupnya sebatang kara dengan kondisi kesehatannya yang buruk.

Mereka semua bertahan dan berjuang sendirian. Terabaikan olehku dan oleh kita semua yang terlalu sibuk menata diri tanpa peduli terhadap orang lain. Lantas, dengan kondisi yang demikian, masihkah kita bangga mengakui bahwa kita telah menjadi warga negara yang baik karena menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila? Sementara kita abai terhadap kehidupan mereka.

Rasanya, tak ada lagi implementasi dari kalimat Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sehingga adanya mereka seperti terkotak-kotak oleh strata sosial yang kian meninggi. Menjustifikasi bahwa kondisi mereka bukanlah urusanku atau urusan kita.

Padahal jelas sudah tentang titah-Nya kepada kita, bahwa seorang hamba haruslah menjadi insan yang saling tolong menolong, saling menebarkan kebaikan dan meluaskan kebermanfaatan yang seluas-luasnya.

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran

QS. 5:2

Lalu, apa harapanmu di Sabtu malam ini? kalau harapanku, semoga apa yang telah aku lakukan hari ini, bisa memberi manfaat untuk semuanya.

Salam,

el

Leave a comment