Tentang berkereta di Rabu pagi, aku selalu teringat dengan momen masa lalu yang mungkin tidak akan pernah terlupakan, yaitu ketika aku harus melaksanakan sidang skripsi yang lokasinya cukup jauh dari tempat tinggalku di Jakarta. Tempatnya dilaksanakan di kampus pusat wilayah Jakarta Barat. Seperti biasa, aku dengan satu teman belajarku telah bersepakat untuk tiba di lokasi tepat pukul 07.00 WIB atau dua jam sebelum jadwal sidang dimulai.
Tentu aku bersama temanku menentukan pilihan tersebut bukan tanpa alasan, pasalnya kami tidak ingin serba terburu-buru ketika kami sudah sampai di sana. Dan ya, waktu dua jam itu bisa kami pergunakan untuk bersiap atas segala hal, dari mulai sarapan sehat di kantin kampus hingga belajar berbicara tepat di ruang sidang sungguhan.
Oya, jauh sebelum aku tiba di kampus pukul 07.00 WIB, ada banyak hal yang aku rasakan selama perjalanan dari kosan menuju kampus. Aku berangkat membawa setumpuk rasa resah, takut, dan perasaan khawatir lainnya. Saat itu berbagai hal telah aku coba lakukan demi meredakan perasaan cemas berlebih. Namun tetap saja hasilnya nihil, aku tetap tak mampu mengelola emosiku. Aku berfikir dan berbicara dalam hati
“mungkin rasa yang aku rasakan saat pergi dari kosan menuju kampus pagi ini akan berbeda dengan rasa yang aku rasakan nanti saat pulang dari kampus menuju kosan”.
Tak lupa juga sesekali pikiran buruk hadir dalam lamunanku, “mungkin hari itu akan menjadi hari yang paling memalukan karena aku gagal lulus dalam sidang”. Merasa bahwa pagi itu aku tidak bisa menjadi tuan atas diriku sendiri. Berbaik hati mempersilahkan masuk berbagai prasangka buruk dalam pikiranku. Belum lagi berbagai keluhan dalam hati karena menyesalkan kenapa pilihan lokasi sidang dan waktu pelaksanaannya tidak tepat.
Berkereta pagi di hari kerja adalah suatu kemalasan yang luar biasa. Aku harus rela membiarkan tubuhku terhimpit di dalam sebuah gerbong oleh orang-orang yang hendak pergi menunaikan kewajibannya masing-masing. Dan ya, pikirku masih egois kala itu. Tak sadar bahwa sebenarnya mereka semua pun adalah para pejuang yang sedang berusaha menyelesaikan misinya masing-masing.
Aku mencoba membuka pikiranku, meihat sisi lain atau bahkan membayangkan bertukar posisi dengan mereka. Mereka yang sedang berjuang untuk sampai di kantornya masing-masing, mereka yang berseragam putih abu, dan mereka semua yang sedang berupaya dalam kebaikan.
Melakukan relaksasi semacam itu rupanya semakin menambah rasa optimisku, bahwa memang benar jika hidup ini selalu berbicara tentang perjuangan. Rasanya, tak perlu lagi aku mengeluh tentang semua kesulitan yang sedang kuhadapi, rasanya, tak perlu juga aku membandingkan sisi kehidupanku dengan orang lain, dan rasanya, tak perlu juga aku marah, kesal atas yang orang lain perbuat padaku.
Karena kemudian aku menyadari, bahwa setiap cerita yang berbalut aneka rasa dalam hidupku adalah bagian dari warna perjalanan yang selalu mengandung banyak nilai-nilai kehidupan untuk dinikmati.
Berselang beberapa menit dari lamunan panjangku, satu per satu pemberitahuan mulai masuk dalam layar smartphoneku
salah satunya dari anak rantau yang satu ini. Meneduhkan, melegakan. Dan yang paling penting adalah bahwa darinya aku belajar, bahwa setiap perjalanan yang dilakukan dengan kesungguhan untuk beribadah pada Allah, adalah sebuah lelah yang selalu berakhir kebahagiaan.
Salam,
el