Jejak Anak Rantau #31: Berkereta di Rabu Pagi

Tentang berkereta di Rabu pagi, aku selalu teringat dengan momen masa lalu yang mungkin tidak akan pernah terlupakan, yaitu ketika aku harus melaksanakan sidang skripsi yang lokasinya cukup jauh dari tempat tinggalku di Jakarta. Tempatnya dilaksanakan di kampus pusat wilayah Jakarta Barat. Seperti biasa, aku dengan satu teman belajarku telah bersepakat untuk tiba di lokasi tepat pukul 07.00 WIB atau dua jam sebelum jadwal sidang dimulai.

Tentu aku bersama temanku menentukan pilihan tersebut bukan tanpa alasan, pasalnya kami tidak ingin serba terburu-buru ketika kami sudah sampai di sana. Dan ya, waktu dua jam itu bisa kami pergunakan untuk bersiap atas segala hal, dari mulai sarapan sehat di kantin kampus hingga belajar berbicara tepat di ruang sidang sungguhan.

Oya, jauh sebelum aku tiba di kampus pukul 07.00 WIB, ada banyak hal yang aku rasakan selama perjalanan dari kosan menuju kampus. Aku berangkat membawa setumpuk rasa resah, takut, dan perasaan khawatir lainnya. Saat itu berbagai hal telah aku coba lakukan demi meredakan perasaan cemas berlebih. Namun tetap saja hasilnya nihil, aku tetap tak mampu mengelola emosiku. Aku berfikir dan berbicara dalam hati

“mungkin rasa yang aku rasakan saat pergi dari kosan menuju kampus pagi ini akan berbeda dengan rasa yang aku rasakan nanti saat pulang dari kampus menuju kosan”.

Tak lupa juga sesekali pikiran buruk hadir dalam lamunanku, “mungkin hari itu akan menjadi hari yang paling memalukan karena aku gagal lulus dalam sidang”. Merasa bahwa pagi itu aku tidak bisa menjadi tuan atas diriku sendiri. Berbaik hati mempersilahkan masuk berbagai prasangka buruk dalam pikiranku. Belum lagi berbagai keluhan dalam hati karena menyesalkan kenapa pilihan lokasi sidang dan waktu pelaksanaannya tidak tepat.

Berkereta pagi di hari kerja adalah suatu kemalasan yang luar biasa. Aku harus rela membiarkan tubuhku terhimpit di dalam sebuah gerbong oleh orang-orang yang hendak pergi menunaikan kewajibannya masing-masing. Dan ya, pikirku masih egois kala itu. Tak sadar bahwa sebenarnya mereka semua pun adalah para pejuang yang sedang berusaha menyelesaikan misinya masing-masing.

Aku mencoba membuka pikiranku, meihat sisi lain atau bahkan membayangkan bertukar posisi dengan mereka. Mereka yang sedang berjuang untuk sampai di kantornya masing-masing, mereka yang berseragam putih abu, dan mereka semua yang sedang berupaya dalam kebaikan.

Melakukan relaksasi semacam itu rupanya semakin menambah rasa optimisku, bahwa memang benar jika hidup ini selalu berbicara tentang perjuangan. Rasanya, tak perlu lagi aku mengeluh tentang semua kesulitan yang sedang kuhadapi, rasanya, tak perlu juga aku membandingkan sisi kehidupanku dengan orang lain, dan rasanya, tak perlu juga aku marah, kesal atas yang orang lain perbuat padaku.

Karena kemudian aku menyadari, bahwa setiap cerita yang berbalut aneka rasa dalam hidupku adalah bagian dari warna perjalanan yang selalu mengandung banyak nilai-nilai kehidupan untuk dinikmati.

Berselang beberapa menit dari lamunan panjangku, satu per satu pemberitahuan mulai masuk dalam layar smartphoneku

@sekitarputri

salah satunya dari anak rantau yang satu ini. Meneduhkan, melegakan. Dan yang paling penting adalah bahwa darinya aku belajar, bahwa setiap perjalanan yang dilakukan dengan kesungguhan untuk beribadah pada Allah, adalah sebuah lelah yang selalu berakhir kebahagiaan.

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #30: Kini, Perjalananku Telah Dimulai

Sepekan sudah berlalu moment bahagia itu terlewati. Haru yang membiru, bahagia yang berteriak, semuanya bercerita tentang apapun yang menjadi tanya. Semuanya berjalan di bawah kendali Tuhan Yang Maha Berkuasa. Alhamdulillah.

Hilang sudah keraguan di dalam hati. Kini terganti dengan hadirnya keyakinan baru bahwa nyatalah dia yang siap menjadi teman perjalananku berikutnya.

Lalu, bagaimana rasaku setelah menyaksikan kenyataan itu?

Ada banyak rasa yang saling mewarnai dalam hatiku. Bahagia tentu, takut pun ada, tak lupa juga sedikit rasa sedih karena melihat kerelaan Ayah dan Mama melepas putrinya bersiap menapak jejaki perjalanan yang mereka tau tidak mudah.

Katanya akses untuk sampai di tempat yang dituju itu sangat terjal dan berliku. Tak hanya dibutuhkan ketahanan fisik sebagai perbekalan, apalagi hanya materi yang berlimpah tiada henti.

Namun juga butuh knowledge yang mumpuni sebagai kendaraan yang akan mendukung kita untuk sampai di tempat tujuan akhir, yakni rumah tangga yang Sakinah Mawaddah dan Warohmah.

Picture: Pinterest

Apakah aku akan sanggup? Apakah kita akan mampu menyelaraskan langkah kaki?

Semua bergantung pada diri masing-masing. Kepada siapa, untuk siapa, dan karena siapa kita menjalani perjalanan ini. Bila telah kita temukan jawaban yang tepat, maka tiada lagi cemas dalam diri kita, bukan?

Sejak hari itu perjalananku telah dimulai. Peran baru yang melekat pada diriku tentu bukan sebatas gelar profesi biasa, tapi di balik semua itu ada tanggung jawab yang sangat besar. Tanggung jawab yang perjanjiannya tidak sekadar melibatkan manusia, akan tetapi langsung terikat dengan Tuhan, Mitsaqan Ghalizha. Ikatan yang sangat sakral.

Butuh ketahanan iman, juga butuh kekuatan taqwa. Keduanya menjadi roda penggerak bagi diri masing-masing untuk mencapai tujuan yang paling baik.

Belajar, juga mungkin akan menjadi makanan sehari-harinya. Dan yah, sungguh nyata bahwa tiada hal lain yang mampu membimbing kita untuk sampai pada tempat tujuan kecuali Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT.

Kini, perjalananku telah dimulai.

 

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #29: Surat Terbuka Untuk Masa Depan

Sebuah ungkapan untuk Pria yang akan menjadi bagian dalam jejak perantauanku berikutnya.


Assalamu’alaikum, Pria! Ijinkan aku memanggilmu Pria. Bagaimana kabarmu sekarang? beberapa tahun terakhir ini, aku lebih sering mendengar tanya tentangmu. Tentang keberadaanmu, tentang siapakah dirimu, tentang apapun yang berhubungan denganmu. Tanya itu lebih banyak aku dengar justru dari mereka yang berada di luar lingkaran keluarga intiku. Dari teman-teman sekolahku yang telah menemukan Prianya masing-masing, dari keluarga jauh Ayah, dari keluarga jauh Mamah, dari tetangga, dan dari siapapun yang hubungan kehidupan sosialnya cukup berjarak denganku.

Awalnya aku merasa sedikit terheran-heran, kenapa mereka selalu menanyakan hal yang sama padaku. Kenapa perkara “Pria” yang juga belum hadir dalam hidupku menjadi topic yang lebih mereka sukai daripada topic lainnya. Bahkan jarang sekali aku mendengar tanya tentang kondisi studiku kecuali dari keluarga intiku atau orang-orang terdekatku. Bukankah perkara jodoh itu adalah sesuatu yang sifatnya sama dengan akhir hidup seseorang? rahasia Tuhan dan bahkan kehadirannya pun tidak bisa dipastikan sama sekali oleh nalar manusia?

Lalu, ketika mereka bertanya tentangmu, aku bisa menjawab apa?

b6f3c8c05504704b428f818c8d677557.jpg

Picture: Pinterest

Pria. Jauh sebelum aku tiba di hari ini, aku adalah seorang yang pernah berjanji pada diriku sendiri, bahwa aku tidak ingin menemuimu, tidak ingin menikah dengan siapapun dirimu, yang aku inginkan hanyalah hidup mandiri memberikan kebahagiaan kepada orang tua tanpa harus menikah dengan siapapun. Aku ingin terus melanjutkan studiku setinggi mungkin, aku ingin meluaskan jejak perantauanku menjadi seorang perantau ilmu. Singkatnya, aku tak ingin kehidupan pribadiku terganggu oleh kehadiran dirimu.

Tapi tenang, karena Alhamdulillah ambisi itu telah punah atas pertolongan Tuhan yang membuka kesadaranku melalui tangan seorang dosen. Ya, dulu aku pernah menjalani masa konseling dengannya, dia membantu memulihkan kesadaranku dengan sabar. Terkadang aku pun melakukan self healing untuk memastikan kondisiku tetap baik-baik saja.

Pria, taukah kamu? bahwa kini setiap kali mereka bertanya tentang keberadaan dirimu, aku selalu menyambutnya dengan senyum seraya berkata “doakan semoga dia segera datang” meski terkadang masih tersisa rasa “enggan” menyambut kedatanganmu yang mungkin tiba-tiba hadir. Masih ada rasa “enggan” untuk menggenap bersamamu karena rasa sayang, cinta dan perhatianku untuk Ayah dan Mama yang tak rela kubagi dengan kamu, dengan keluargamu, juga dengan duniamu. Aku cuma ingin bahwa seluruh hidupku, aku berikan untuk Ayah, Mama dan Ade.

Pria, melalui surat ini juga aku ingin menyampaikan bahwa bagaimanapun keadaannya, keyakinanku kepadamu tidak akan pernah berdiri paripurna selama Akad belum terucap. Maaf, mungkin kalimat itu terdengar kejam tapi itulah keyakinanku padamu. Sementara keyakinanku pada Tuhan sebagai Dzat Yang Maha Berkuasa akan selalu utuh tanpa syarat. Aku yakin bahwa Tuhan akan selalu memberikan yang terbaik kepada setiap manusia, aku juga yakin bahwa siapapun kamu yang telah Tuhan gariskan untuk bertemu denganku setelah proses akad nanti adalah seseorang yang akan menjadi teman terbaik untuk berjalan menuju tempat perantauan berikutnya.

Tapi Pria, jika telah tiba saatnya nanti kamu berjabat dengan Ayahku, aku ingin kamu menjabatnya dengan penuh kasih, seperti kasih sayangku pada Ayah yang tidak pernah bisa terukur oleh apapun. Aku ingin kamu mengerti, bahwa tidak mudah baginya melepas tanggung jawabnya mengurusku kepadamu, bahwa tidak mudah baginya bersaksi melihat putri kecilnya memulai perjalanan denganmu.

Pria, dan semoga kamu selalu memahami bahwa menyediakan ruang baru di dalam hatiku untuk kehadiranmu adalaha hal yang tak mudah. Ada banyak tantangan yang kuperjuangkan sendiri. Ada banyak kontemplasi yang terkadang tak pernah usai meramaikan pikiranku.

Lalu tentang kehidupanku denganmu setelah bersama nanti, aku berharap semoga perjalanan kita akan senantiasa bermuara pada kebaikan. Betapa pun sulitnya perjalanan itu, betapa pun pedihnya, betapa pun kerasnya dan betapa pun jauhnya, semoga kebaikan akan selalu menjadi tujuan paling akhir bagi kita. Berjalan, belajar, dan membuat jejak-jejak kebaikan bersama-sama sebagai bentuk ibadah kita pada Tuhan.

Pria, bila saat ini kamu masih dalam pencarian, iringilah prosesnya dengan berbagai kebaikan. Biarkan ragam peristiwa yang terjadi menjadi cerita yang akan menambah hikmah. Dan saat kita bertemu nanti, jangan lupa ceritakan semuanya padaku, sehingga aku bisa belajar berbagai hal baru darimu.

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #28: Tentang Sebuah Episode

Jika saja diri kita sesekali mampu membiasakan diri untuk melihat episode-episode lain dari kehidupan ini, mungkin sudut pandang kita dalam melihat sesuatu, memaknai sesuatu, dan menanggapi sesuatu pun akan berbeda.

“Hmm..gue suka banget ko ngeliat dan merhatiin kehidupan orang lain!”

Ya, benar. Tapi sayangnya episode yang sering kita simak adalah episode kehidupan seseorang yang terlihat lebih menawan dari kehidupan yang kita jalani. Lebih “mevvah” dari kehidupan yang kita lalui. Sehingga hasilnya pun sudut pandang yang biasa terbentuk dalam diri kita jauh dari rasa syukur akan anugerah kehidupan ini.

Lebih pandai menjadi seorang pembanding kehidupan antara kita yang seolah tak punya apa-apa dengan mereka yang bergelimang kemewahan. Lebih ahli menjadi seorang pengeluh yang unggul dalam episode kehidupan kita sendiri. Sehingga pada akhirnya, semua habit tersebut tanpa disadari mendorong kita masuk dalam ruang ketidak bahagiaan.

Yup, kita telah berhasil membiarkan diri kita sendiri untuk tidak bahagia.

Padahal, bukankah yang berhak atas diri kita hanyalah Tuhan dan diri kita sendiri? dan bukankah seharusnya kita mampu menjadi tuan dalam diri kita sendiri?

Picture: Pinterest

Coba, coba kita alihkan pandangan kita sebentar saja untuk melihat episode kehidupan yang seperti ini. Kisah mereka yang tangguh berdiri di atas duri yang menyakitkan.

Kisah mereka yang selalu berjalan lurus dengan segenggam harapan yang utuh hanya pada Tuhannya. Bukan episode tentang mereka yang bertahta di atas harta kekayaan yang tiada mengalir manfaatnya untuk orang yang membutuhkan.

Coba, coba simak sebentar saja tentang episode kehidupan mereka yang bertarung dengan kejamnya jalanan ibu kota. Melupakan lelah dan bersahabat dengan teriknya matahari. Atau membiarkan kantuk dan bersahabat dengan dinginnya malam.

Tentang episode kehidupan mereka yang terus berusaha berdiri tegak meski kondisi tubuhnya tak sesempurna kita. Menolak dengan tegas sikap “ingin menyerah dan menunggu belas kasih orang lain saja” yang terkadang berkontemplasi dalam diri mereka.

Tentang episode kehidupan mereka yang setiap harinya bersahabat dengan rasa sakit akan suatu penyakit yang tak kunjung hilang dari tubuhnya.

Atau tentang episode kehidupan seorang anak yang di usianya tersebut harus mulai menanggung beban keluarga. Menjadi tulang punggung bagi adik-adiknya, menjadi tiang bagi kedua orang tuanya yang tak berdaya mengais rejeki. Bahkan dia harus melupakan haknya sebagai seorang penikmat bangku pendidikan.

Ya. Seandainya kita pandai melihat episode-episode yang demikian. Mungkin sikap keluh yang pada awalnya unggul bertahta dalam diri kita akan berubah menjadi sikap empati tanpa syarat. Lebih pandai menghadirkan rasa syukur yang tak terukur.

Sulit memang bagi kita untuk menjadi tuan dalam diri kita sendiri. Yang mengendalikan segala bentuk emosi agar kita tidak menjatuhkan pilihan terhadap hal-hal yang salah. Melawan hawa nafsu dengan segala kemampuan kita.

Tapi, bukankah semua itu akan menjadi mudah jika kita libatkan Tuhan dalam segala aspek kehidupan?

Salam,

el