Jejak Anak Rantau #22: MyTenNights

Assalamu’alaikum warahmatulloh wabarakatuh. Alhamdulillah hari ini kita semua telah sampai di hari ke 20 bulan suci Ramadan, yang artinya bahwa nanti malam kita semua sama-sama akan memasuki 10 malam terakhir di bulan suci Ramadan, InsyaAllah.

Sungguh nggak terasa ya teman-teman, rasanya baru kemarin kita sama-sama memasuki bulan Ramadan, namun hanya dalam hitungan jari kita semua akan segera keluar dari bulan yang mulia ini. Harapan saya, semoga kita semua bisa keluar dalam keadaan yang fitrah dan terampuni semua dosa-dosanya oleh Allah SWT. Aamiin

Picture: Pinterest

Biasanya apa sih yang teman-teman lakukan untuk mengisi 10 malam terakhir di bulan Ramadan? Tentu kita semua mengetahui bahwa ada banyak keutamaan yang apabila kita lakukan di malam-malam tersebut maka Allah akan turunkan keberkahan-Nya. Dan tentu kita akan menolak jadi orang yang merugi bukan, apabila gagal mendapatkan berbagai hadiah dari Allah karena kita kurang mengoptimalkan malam-malam tersebut dengan kegiatan yang baik.

Meningkatkan kuantitas dan kualitas bacaan Al-Quran, menaikkan level sedekah, memperpanjang waktu malam dengan mendirikan sholat demi meraih ampunan, atau juga bisa dengan beri’tikaf di masjid. Semua itu adalah serangkaian aktivitas yang bisa kita optimalkan di 10 malam terakhir bulan suci Ramadan.

Lalu bagaimana dengan rencana 10 malam terakhir saya? Sama seperti teman-teman. Saya sedang berjuang untuk terus belajar menjadi pribadi yang “nggak malas”.

Selama jejak perantauan, saya pernah dipertemukan dengan seorang pasangan yang sudah tak lagi muda. Bahkan karena sudah terlalu tuanya mereka, untuk berjalan pun sudah tertatih. Mereka adalah bapak dan ibu kost saya yang pertama saat saya tinggal di Jakarta.

Ada banyak pelajaran yang bisa saya petik dari mereka berdua apabila berbicara tentang menghidupkan 10 malam terakhir. Karena bagaimana tidak, meski tubuhnya semakin renta namun semangatnya mampu mengalahkan saya yang masih muda. Jauh di atas saya.

Pernah suatu hari ketika saya baru selesai melaksanakan sholat maghrib, ibu mengetuk pintu kamar kost saya, beliau bermaksud mengajak saya pergi ke masjid bersama-sama dalam rangka menunaikan sholat tarawih.

Namun dengan alasan masih merasa lelah karena baru pulang dari kantor, saya menolaknya. Saya lebih memilih melaksanakan sholat tarawih di rumah. Dalam hal ini setelah berselang beberapa waktu, saya merasa malu oleh beliau, padahal waktu itu jarak dari rumah kost menuju masjid merupakan jarak yang cukup jauh untuk seukuran ibu kost yang telah sepuh dan hanya bisa jalan tertatih.

Selain itu mereka berdua juga memiliki kebiasaan yang luar biasa apabila telah masuk waktunya 10 hari terakhir Ramadan, yaitu berumroh dan melaksanakan i’tikaf di Masjidil Haram. Maa Sya Allah, semoga Allah anugerahkan kebaikan dunia dan akhirat untuk mereka berdua.

Tapi di tahun terakhir saya menempati rumah kost itu, ibu pernah bercerita pada saya bahwa beliau merasa sedikit sedih karena waktu itu tidak bisa menemani bapak lagi berumroh di 10 malam terakhir. Dokter memvonisnya dengan sebuah penyakit, sehingga ibu tidak boleh melakukan penerbangan lagi.

“Lisna, berumroh di bulan Ramadan apalagi 10 hari terakhir itu sangat spesial, karena pahalanya sama dengan berhaji bersama Rasululloh SAW. Tapi tahun ini ibu harus merelakan kesempatan itu”.

Bagi sebagian orang mungkin akan lebih memilih tinggal di rumah bersama keluarga sambil menunggu datangnya hari raya, tetapi bagi mereka, mereka punya cara lain untuk menunggu datangnya hari raya, yaitu dengan melaksanakan ibadah yang usaha untuk menjalankannya tidak semudah pergi beri’tikaf di masjid sekitar rumah kita.

Akan tetapi meski demikian, ada hal lain juga yang saya pelajari dari sosok Bapak kost. Beliau berkata bahwa proses ibadah yang harus kita lakukan bukanlah tentang sejauh apa tempatnya, akan tetapi sekuat dan setulus apa niat dalam hati kita.

“Papa akan berdoa pada Allah, meminta kesembuhan untuk Mama. Mama tidak perlu cemas, karena meski Mama tidak bisa menemani Papa, meski Mama hanya bisa menghidupkan 10 malam terakhir di sini, Mama tetap bisa beribadah. Hanya niat yang kuat dan tulus yang Allah lihat”

– Bapak kost kepada ibu kost –

Semoga nikmat-nikmat yang kita miliki saat ini bisa kita pergunakan untuk kembali mengoptimalkan 10 hari terakhir di bulan Ramadan. Nikmat sehat, waktu luang, harta yang tersedia, ilmu yang kita miliki, semoga bisa menjadi sesuatu yang memberatkan timbangan amal kebaikan kita nanti.

Terakhir, selamat mengoptimalkan 10 hari terakhir Ramadan teman-teman.

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #21: Para Perantau Ilmu

Picture: Pinterest

Dalam sebuah majelis ilmu manapun, aku selalu kagum terhadap mereka yang bisa duduk dengan tenang menyimak setiap materi yang disampaikan. Dari wajahnya tak ada keresahan sedikit pun meski aktivitas itu mereka lakukan setelah menyelesaikan tugas besar lainnya. Bagi sebagian orang sepertiku rasanya hal itu akan terasa berat untuk dijalani. Menyengajakan diri setelah jam kantor selesai bergegas hadir di majelis ilmu, atau setelah jam perkuliahan dengan aktivitas di kampus yang padat kemudian “pergi lagi” menghadiri forum keilmuan di luar kampus.

Pernah hingga suatu hari ada sebaris tanya dalam hatiku, “apa motivasi mereka? apa yang mendorong mereka?”

Bukankah tak ada kenikmatan lain dari selain pulang dan bergegas membersihkan tubuh kemudian merebahkan badan? bukankah beristirahat adalah sebuah kewajiban yang harus kita tunaikan demi memenuhi hak-hak tubuh kita?

Oh tidak ternyata!, rasanya tidak sesimpel itu kala aku memutuskan untuk menutup rasa penasaranku dengan cara mencoba melakukan apa yang mereka lakukan, yaitu menghadiri forum majelis ilmu selepas jam kantor. Awalnya memang akan terasa sulit dan penuh perjuangan, jarak yang jauh dan terkadang harus dilalui dengan transportasi yang padat oleh orang-orang yang baru selesai dengan pekerjaannya, belum lagi apabila harus menghadapi kemacetan jalanan ibu kota.

Tetapi semua itu terbayarkan ketika kita telah sampai pada tempat tujuan. Ternyata bukan hanya ilmu yang didapatkan, namun ada banyak sahabat baru yang siap menemani kita selama menjalani proses pembelajaran itu. Di antara mereka, bahkan ada banyak yang sepertiku. Seorang perantauan dari kota-kota yang jauh di pelosok Indonesia, datang ke Jakarta untuk belajar mencari ilmu melalui pengalaman langka yang tak akan pernah didapatkan ketika mereka hanya berdiam diri di kampung halamannya.

Rasanya makna hidup yang mereka pegang begitu selaras dengan pepatah dari Imam Syafi’i, bahwa ketika kita memutuskan untuk pergi mengasingkan diri dengan niatan yang baik, maka di tanah perantauan sana akan kita dapatkan pengganti dari orang-orang yang kita tinggalkan. Sahabat baru, teman baru juga pengalaman baru yang memberi arti.

Dari mereka aku pun menyadari bahwa setiap jengkal langkah kaki yang kita ayunkan untuk berjalan menuju forum atau kelas-kelas keilmuan, selalu ada keberkahan yang Allah turunkan di dalamnya. Ampunan-Nya, rahmat-Nya, perlindungan-Nya bahkan keridhoan dari Malaikat sebagai makhluk yang paling suci pun akan turun kepada mereka para penuntut ilmu.

“Sesungguhnya malaikat meletakkan sayapnya sebagai tanda ridha pada penuntut ilmu”.

(HR. Abu Daud)

Bukan hanya sahabat dan pengalaman baru yang pada akhirnya aku dapatkan setelah mengikuti langkah-langkah mereka, tetapi juga cara pandangku terhadap realitas kesibukan yang seharusnya. Bahwa setiap waktu yang dianugerahkan oleh-Nya pada kita, harus selalu diisi dengan berbagai kegiatan yang mendatangkan ridho-Nya. Perihal lelah, itu cuma persoalan yang bisa diselesaikan hanya dengan keteguhan iman. Karena jika iman teguh bertahta dalam hati kita, lelah itu akan hilang dan kita akan meyakini bahwa waktu dan tempat istirahat yang sebenar-benarnya bagi setiap manusia adalah ketika kita kembali pada keabadian.

Tentang para perantau ilmu, adalah mereka yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk selalu berjalan menuju jalan yang lurus, dan sepanjang perjalanannya tak lupa mereka petik berbagai ilmu yang baik sebagai suatu hikmah yang besar, dan setelah itu mereka semaikan kebaikan-kebaikannya sebagai bentuk amalan ibadah, hingga berlimpahlah pahala yang Allah turunkan kepadanya.

Tentang para perantau ilmu, maukah kamu membersamai langkahku menjadi bagian dari mereka?

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #20: Ramadan di Tanah Rantau

Assalamu’alaykum teman-teman, by the way udah masuk di hari ke 6 Ramadan nih, apa kabar dengan puasanya? semoga kita semua senantiasa diberi kekuatan dan kemampuan untuk menyelesaikan seluruh kegiatan ibadah yang wajib dan sunnah selama bulan Ramadan, dan semoga semua rangkaian kebaikan yang telah terbiasa kita lakukan selama satu bulan ke depan ini bisa menjadi suatu habit yang terus bisa dilakukan hingga di bulan-bulan berikutnya. Aamiin yaa rabbal’alamin.

Bicara tentang bulan Ramadan rasanya semakin menarik jika kita melihat kehidupan sosial masyarakatnya. Bagaimana tidak? seolah bulan suci ini berperan sebagai magnet yang aktif menarik seluruh masyarakat untuk melakukan sebuah aktivitas yang lebih baik dan sangat produktif. Mereka yang sehari-harinya bukan pedagang tiba-tiba berdagang makanan untuk berbuka puasa. Mereka yang sehari-harinya melewatkan sholat subuh berjamaah tiba-tiba berubah menjadi sosok yang rajin menghadiri masjid setelah santap sahur. Mereka yang biasanya setelah sholat isya bergegas pulang menarik selimut, tiba-tiba kuat menahan kantuk mendengar kuliah ba’da tarawih.

Betapa bulan yang mulia ini Allah takdirkan kehadirannya untuk menggerakan siapa saja menuju jalan kebaikan, sehingga begitu banyak pembelajaran dan peluang-peluang keberkahan yang bisa kita raih di bulan yang mulia ini. Tapi taukah? terkadang pembelajaran itu bisa kita dapatkan melalui pengalaman orang lain, apa yang kita lihat dan apa yang kita dengar. Seperti keadaan mereka yang berada di tanah rantau, yang senantiasa memberikan warna baru dalam hidup kita, bahkan terkadang keadaannya mampu merubah pola pikir kita menjadi lebih baik.

Bagi sebagian orang mungkin akan beranggapan, bahwa masyarakat yang hidup di Ibu kota metropolitan ini adalah masyarakat yang kelasnya berada pada strata menengah ke atas. Mengapa? karena kehidupan merekalah yang terkadang lebih sering hadir menghiasi layar kaca. Namun faktanya, ada begitu banyak sekali masyarakat yang hidup di Ibu kota ini dengan status sosialnya yang berada pada kelas menengah ke bawah.

Kehidupan mereka bukan hanya di sebuah gubuk kecil di pinggiran Jakarta, tapi juga akan banyak kita temui di pusat kota dengan gerobak-gerobaknya yang senantiasa menemani perjalanan. Ketika sebagian orang nyaman menikmati santapan sahur dengan berbagai hidangan yang lezat, mereka menyandarkan lelah pada sebuah gerobak barang-barang bekas sambil menelan seteguk air, tanpa hidangan sederhana apalagi hidangan yang mewah.

Ketika sebagian orang bergegas segera pulang ke rumah demi bisa berbuka dengan keluarga tercinta, mereka setia membawa anggota keluarganya dalam sebuah gerobak berukuran besar yang setiap harinya berpindah-pindah tempat tak menentu. Menghindari razia dan kejaran para petugas berseragam coklat. Bertahan hidup dengan mengais barang-barang yang tak lagi bernilai di mata kita namun sangat berarti bagi mereka. Dan tak ada alasan lain, bahwa semua itu dilakukan untuk menghidupi para anggota keluarganya.

“tak apa, sudah biasa, yang penting halal” ucap seorang ayah sambil beristirahat.

Kemudian, bukankah pemandangan itu adalah pemandangan yang cukup bisa mengetuk pintu hatimu? melembutkan perasaanmu? dan meninggikan syukurmu?

oh tapi ternyata tidak. lebih dari apa yang kita lihat terhadap dua kelompok orang di atas ternyata ada sekelompok lain yang lebih mampu melembutkan perasaan kita, yang lebih mampu mengetuk pintu hati kita, juga lebih mampu mengajarkan tentang pentingnya sebuah rasa syukur dalam kehidupan kita. Lalu siapakah sekelompok yang berbeda itu?

Picture: Pinterest

Adalah mereka yang kedermawanannya mengalahkan segala kekurangan yang dimiliki. Mereka yang berbagi terhadap sesama untuk meraih simpati Allah. Mereka yang saling berkasih sayang untuk mendapatkan ridho Allah. Juga mereka yang menawarkan bantuan kepada orang yang membutuhkan untuk menerima keberkahan dari Allah.

Ya, dan merekalah orangnya.

Semoga, Allah senantiasa melimpahkan keberkahan untuk hidup mereka. Mereka yang dengan segala keterbatasan waktu, finansial, tenaga dan segala sesuatunya, namun masih selalu meninggikan sikap kedermawanannya.

Bersedia terjaga sepanjang malam demi menyiapkan santapan sahur untuk dibagikan kepada orang-orang di sepanjang jalan.

Bersedia mengeluarkan biaya lebih besar agar bisa berbagi kenikmatan dengan mereka yang hidupnya berkekurangan.

Bersedia lelah menahan lapar demi memastikan orang-orang yang membutuhkan telah terpenuhi kebutuhannya untuk berbuka puasa.

Bersedia berkorban, lebih besar, lebih baik, demi mendatangkan ridho Allah dalam hidupnya.

Mereka, mereka itulah yang aku temui selama bulan Ramadan di tanah rantau. Perannya, seperti air yang menjadi pelarut di kala dahaga.

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #19: Belajar dari Sebutir Telur

Aku pernah mendengar pernyataan dari seorang guru agama di sekolah TKA/TPA ketika aku masih berusia 8 tahun. Beliau berkata bahwa sebutir telur ayam meski keluar dari bagian “tertentu” pada tubuh ayam, ia memiliki banyak manfaat bagi kehidupan. Jika dierami maka ia akan menetas menghasilkan generasi baru anak ayam, dan jika tidak dierami ia bisa dijadikan bahan masakan untuk sebuah hidangan.

Picture: Pinterest

Diam-diam aku pernah memikirkan maksud dari perkataannya di atas. Apa hubungannya antara sebutir telur ayam dengan media hadirnya telur itu sendiri? Aku berpikir sampai pada akhirnya memahami makna yang beliau sampaikan ketika aku sedang dihadapkan pada sebuah situasi yang awalnya sangat kontra denganku. Apakah itu?

Jadi ceritanya sekitar pertengahan semester 4 masa perkuliahan, aku pernah mendapatkan tugas untuk melakukan interview terhadap beberapa orang pilihan yang di anggap “berbeda” dari masyarakat pada umumnya (read: anggota LGBT).

Interview yang dilakukan sebenarnya standar, hanya seputar kehidupan sosialnya dan bagaimana dia menjalani kehidupan sebagai seseorang yang berbeda di masyarakat.

Sebagai seorang yang masih harus banyak belajar, aku mencoba untuk melakukan interview ini se-objektif mungkin tanpa diiringi sikap mendiskriminasi atau pikiran-pikiran lainnya yang tidak ada hubungannya dengan penelitian. Aku sadar bahwa aku harus mengendalikan sikap kontraku terhadap kelompok mereka agar tidak mencoreng objektifitas penelitian.

Untuk mendukung semua misiku tersebut aku menyiapkan dengan detail pertanyaan apa saja yang akan aku ajukan nanti. Selesai membuat pertanyaan kemudian aku melakukan review dengan dosen dan beberapa teman diskusi, memastikan ulang apakah pertanyaan yang aku siapkan benar-benar telah sesuai dengan kode etik atau belum. Karena anyway perasaan takut itu faktanya selalu ada dalam hatiku. Takut pertanyaan yang diajukan terlalu sensitif sehingga membuat responden merasa tidak nyaman.

Namun ketika momen itu datang , ternyata semua yang aku pikirkan dan takutkan terjadi sebaliknya. Dari satu pertanyaan yang aku ajukan aku mendapatkan makna tentang “telur ayam” yang pernah diceritakan oleh guruku beberapa tahun yang lalu.

Me : “Anda mengakui sebagai anggota kelompok yang berbeda dari masyarakat pada umumnya, lalu menurut anda apa makna hidup yang sesungguhnya?”

Responden: “makna hidup bagi saya adalah ketika kita bisa menjadi sosok yang berguna bagi orang yang membutuhkan. Tak peduli siapa kita. Asalkan kita bisa berguna dalam hal kebaikan bagi orang lain, berarti kita telah mendapatkan makna hidup yang sesungguhnya”

See! dari ”apa” yang dia katakan apakah tampak sebuah kecacatan pernyataan? aku rasa tidak. Apa yang ia sampaikan adalah tepat. Sebagai manusia memang sudah seharusnya kita menjadi sosok yang berdaya guna bagi mereka yang membutuhkan. Ketika ada orang terdekat membutuhkan pertolongan kita, kita siap membantu. Ketika ada keluarga yang meminta, kita siap memberi. Semua tentang kebermanfaatan kita untuk orang-orang di sekeliling kita.

Dari proses interview itu aku belajar hal baru, bahwa perbedaan tidak seharusnya mengotak-kotakan kita dengan sebuah kebenaran. Tidak adil rasanya jika kita menolak kebenaran yang disampaikan hanya karena status orang yang menyampaikan berbeda dengan kita.

Lalu sisi mana yang bisa menjelaskan tentang makna “telur ayam” nya?

Maknanya adalah bahwa kita sudah seharusnya menerima setiap pernyataan yang benar tidak berdasarkan pada “siapa yang mengatakan” akan tetapi pada “apa yang dikatakan”.

Ada dua macam yang keluar dari tubuh ayam bagian “tertentu”, ada kotoran juga ada telur ayam. Di antara keduanya ambil yang baiknya, yaitu telur. Kemudian syukuri sebagai bagian dari nikmat yang Allah berikan.

Begitu juga dari setiap ucapan mulut manusia, ada dua macam perkataan yang terucap, ada perkataan yang baik juga ada perkataan yang buruk. Di antara keduanya ambil yang baiknya saja sebagai bentuk nasehat dan pelajaran yang berarti untuk diri kita sendiri dan abaikan ucapan buruknya agar hidup terus berjalan dengan penuh kebaikan.

 

Salam,

el