Seorang kawan membawa kabar bahwa siang itu dosen “x” berhalangan hadir karena salah satu kerabatnya kritis di Rumah Sakit, sebagai pengganti akhirnya semua mahasiswa di kelas hanya mendapat tugas berupa observasi lapangan dan setelah itu kelas dibebaskan.
Beberapa di antara temanku saling membuat rencana perihal destinasi nongkrong sepulang perkuliahan, karena memang kondisinya hari masih terlalu pagi untuk pulang, ada yang memilih untuk nonton film di salah satu Bioskop, berkunjung ke sebuah toko buku, singgah ke rumah salah satu teman, mencari tempat yang nyaman untuk berdiskusi atau ada juga yang lebih memilih pulang dan berkegiatan di rumah.
Aku? adalah satu di antara mereka yang lebih memilih untuk pulang ke kosan dengan berjalan kaki santai sambil menikmati suasana Jakarta yang masih sepi dari kemacetan.
Sepanjang perjalanan aku melewati beberapa café. Tampak di depannya seorang pegawai berdiri sambil memegang daftar menu makanan, sesekali ketika aku melewatinya, beberapa di antara mereka tersenyum ramah sambil menawarkan menu special dari café tersebut, “silahkan mampir Ka, hari ini menu special kami adalah bla bla bla” atau “hai Ka, café kami menyediakan fasilitas wifi gratis. silahkan mampir sambil mengerjakan tugas kuliah, sambil menikmati hidangan kami juga”, atau dan masih banyak lagi.
Hari itu rasanya semua tawaran yang ada tidak begitu membuatku tertarik, namun justru aku lebih tertarik dengan sesuatu yang tak ditawarkan padaku sama sekali. Tiba-tiba melihat sesuatu itu aku teringat dengan perkataan seorang teman.
“Beli saja, meski kamu tidak membutuhkannya, setidaknya kamu telah memenuhi kebutuhan mereka dengan cara membeli barang dagangan yang mereka jual.
Bukankah membeli jualan mereka, sama saja dengan membeli kebahagiaan untuk mereka?”
Saat langkah kakiku terhenti karena rambu lalu lintas, dari tempatku berdiri aku bisa melihat keramaian di ujung sebrang sana. Ada beberapa turis asing yang sedang berbincang, sebagian lagi berfoto. Mereka semua tampak bahagia menikmati jalanan Ibu Kota.
Sedikit bergeser ke samping kanan dari keramaian para turis asing tersebut aku melihat seorang laki-laki yang sedang berdiri. Laki-laki itu memakai topi merah pudar dan memakai baju kemeja kotak-kotak yang telah lusuh. Ia berdiri beralaskan sandal jepit tipis. Dengan bahasa gerak tangan ia menawarkan dagangannya kepada para turis asing, saat langkah kakiku berjalan mendekatinya barulah jelas terlihat ternyata yang ditawarkannya adalah sebuah souvenir berupa jepit rambut bermotif batik. Sayang, di antara yang kulihat, tak ada satu pun dari turis tersebut yang melirik barang dagangannya.
Sedikit maju dari kediaman bapak penjual jepit itu, aku juga melihat seorang kakek yang sedang duduk di atas bangku kecil. Di bawah pohon yang lumayan rindang kakek itu menawarkan minuman seduh kepada siapa saja yang lewat di depannya. Dari yang kudengar, harga minuman yang beliau tawarkan yaitu sekitar tiga sampai lima ribu rupiah. Harga yang sangat murah jika dibandingkan dengan harga minuman yang dijual oleh café-café di sekeliling kakek itu. Namun lagi lagi, tak ada yang menyambut tawaran sang kakek.
Kemudian di bagian sudut lain aku juga berpapasan dengan seorang anak muda laki-laki yang berjalan kaki sambil memanggul barang bawaannya. Dari kejauhan aku memperhatikan anak muda itu, aku bergumam dalam hati “seperti seorang anak yang baru pulang belanja dari pasar membantu ibunya” tapi ketika langkah kaki kami bertemu rupanya pradugaku salah. Tak lain ia adalah seorang pedagang buah keliling.
Melihatnya, seperti melihat diriku sendiri. Usianya mungkin hampir sama denganku, tapi keadaanlah yang membedakannya. Mungkin sekolahnya sudah terputus? mungkin ia sekolah tetapi harus sambil berdagang demi memenuhi kebutuhan sekolahnya? atau mungkin juga ia bersekolah gratis dengan bantuan beasiswa namun ia tetap harus bekerja demi keluarganya? dan masih banyak lagi kemungkinan yang terjadi pada pria muda, kakek tua dan bapak penjual jepit yang aku temui hari itu.
Ketiganya seperti menjadi sebuah cermin bagi diriku, bahwa dalam perjalanan kehidupan ini akan selalu ada ragam kondisi yang Tuhan berikan kepada setiap individu. Kondisi sulit, mudah, senang, bahagia, dan sedih adalah hal yang harus kita hadapi dengan sebaik mungkin.
Karena sebaik-baik manusia bukan hanya mereka yang sekedar pandai menerima kondisi hidupnya, tetapi juga mereka yang setelah menerimanya, kemudian mensyukurinya. Mereka yang selalu percaya bahwa kondisi tersebut adalah pemberian Tuhan sebagai bentuk ujian di alam kehidupan. Sifatnya tak abadi, ia lantas akan hilang kembali. Sehingga ketika mereka diberi kesulitan, tidak akan mengeluh, dan ketika diberi kebahagiaan, tidak akan menjadi sombong.
Dan itulah sebaik-baik manusia.
Salam,
el