Jejak Anak Rantau #27: Melihat Cermin

Seorang kawan membawa kabar bahwa siang itu dosen “x” berhalangan hadir karena salah satu kerabatnya kritis di Rumah Sakit, sebagai pengganti akhirnya semua mahasiswa di kelas hanya mendapat tugas berupa observasi lapangan dan setelah itu kelas dibebaskan.

Beberapa di antara temanku saling membuat rencana perihal destinasi nongkrong sepulang perkuliahan, karena memang kondisinya hari masih terlalu pagi untuk pulang, ada yang memilih untuk nonton film di salah satu Bioskop, berkunjung ke sebuah toko buku, singgah ke rumah salah satu teman, mencari tempat yang nyaman untuk berdiskusi atau ada juga yang lebih memilih pulang dan berkegiatan di rumah.

Aku? adalah satu di antara mereka yang lebih memilih untuk pulang ke kosan dengan berjalan kaki santai sambil menikmati suasana Jakarta yang masih sepi dari kemacetan.

Sepanjang perjalanan aku melewati beberapa café. Tampak di depannya seorang pegawai berdiri sambil memegang daftar menu makanan, sesekali ketika aku melewatinya, beberapa di antara mereka tersenyum ramah sambil menawarkan menu special dari café tersebut, “silahkan mampir Ka, hari ini menu special kami adalah bla bla bla” atau “hai Ka, café kami menyediakan fasilitas wifi gratis. silahkan mampir sambil mengerjakan tugas kuliah, sambil menikmati hidangan kami juga”, atau dan masih banyak lagi.

Hari itu rasanya semua tawaran yang ada tidak begitu membuatku tertarik, namun justru aku lebih tertarik dengan sesuatu yang tak ditawarkan padaku sama sekali. Tiba-tiba melihat sesuatu itu aku teringat dengan perkataan seorang teman.

“Beli saja, meski kamu tidak membutuhkannya, setidaknya kamu telah memenuhi kebutuhan mereka dengan cara membeli barang dagangan yang mereka jual.

Bukankah membeli jualan mereka, sama saja dengan membeli kebahagiaan untuk mereka?”

Saat langkah kakiku terhenti karena rambu lalu lintas, dari tempatku berdiri aku bisa melihat keramaian di ujung sebrang sana. Ada beberapa turis asing yang sedang berbincang, sebagian lagi berfoto. Mereka semua tampak bahagia menikmati jalanan Ibu Kota.

Sedikit bergeser ke samping kanan dari keramaian para turis asing tersebut aku melihat seorang laki-laki yang sedang berdiri. Laki-laki itu memakai topi merah pudar dan memakai baju kemeja kotak-kotak yang telah lusuh. Ia berdiri beralaskan sandal jepit tipis. Dengan bahasa gerak tangan ia menawarkan dagangannya kepada para turis asing, saat langkah kakiku berjalan mendekatinya barulah jelas terlihat ternyata yang ditawarkannya adalah sebuah souvenir berupa jepit rambut bermotif batik. Sayang, di antara yang kulihat, tak ada satu pun dari turis tersebut yang melirik barang dagangannya.

Sedikit maju dari kediaman bapak penjual jepit itu, aku juga melihat seorang kakek yang sedang duduk di atas bangku kecil. Di bawah pohon yang lumayan rindang kakek itu menawarkan minuman seduh kepada siapa saja yang lewat di depannya. Dari yang kudengar, harga minuman yang beliau tawarkan yaitu sekitar tiga sampai lima ribu rupiah. Harga yang sangat murah jika dibandingkan dengan harga minuman yang dijual oleh café-café di sekeliling kakek itu. Namun lagi lagi, tak ada yang menyambut tawaran sang kakek.

Kemudian di bagian sudut lain aku juga berpapasan dengan seorang anak muda laki-laki yang berjalan kaki sambil memanggul barang bawaannya. Dari kejauhan aku memperhatikan anak muda itu, aku bergumam dalam hati “seperti seorang anak yang baru pulang belanja dari pasar membantu ibunya” tapi ketika langkah kaki kami bertemu rupanya pradugaku salah. Tak lain ia adalah seorang pedagang buah keliling.

3ab6ee52e99fba0155a4a8af20a5aadd.jpg

Picture: Pinterest

Melihatnya, seperti melihat diriku sendiri. Usianya mungkin hampir sama denganku, tapi keadaanlah yang membedakannya. Mungkin sekolahnya sudah terputus? mungkin ia sekolah tetapi harus sambil berdagang demi memenuhi kebutuhan sekolahnya? atau mungkin juga ia bersekolah gratis dengan bantuan beasiswa namun ia tetap harus bekerja demi keluarganya? dan masih banyak lagi kemungkinan yang terjadi pada pria muda, kakek tua dan bapak penjual jepit yang aku temui hari itu.

Ketiganya seperti menjadi sebuah cermin bagi diriku, bahwa dalam perjalanan kehidupan ini akan selalu ada ragam kondisi yang Tuhan berikan kepada setiap individu. Kondisi sulit, mudah, senang, bahagia, dan sedih adalah hal yang harus kita hadapi dengan sebaik mungkin.

Karena sebaik-baik manusia bukan hanya mereka yang sekedar pandai menerima kondisi hidupnya, tetapi juga mereka yang setelah menerimanya, kemudian mensyukurinya. Mereka yang selalu percaya bahwa kondisi tersebut adalah pemberian Tuhan sebagai bentuk ujian di alam kehidupan. Sifatnya tak abadi, ia lantas akan hilang kembali. Sehingga ketika mereka diberi kesulitan, tidak akan mengeluh, dan ketika diberi kebahagiaan, tidak akan menjadi sombong.

Dan itulah sebaik-baik manusia.

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #26: Menjadi Lebih Peduli

Ada sebuah pepatah yang mengatakan bahwa kita akan merasakan suatu hal menjadi lebih berharga apabila telah kehilangannya. Teman-teman setuju dengan pepatah tersebut? aku rasa sebaris kalimat itu tidak melulu harus diorientasikan terhadap hubungan asmara, seperti misalnya ketika putus hubungan asmara barulah si mantan merasa menyesali perpisahan. Akan tetapi sebaris kalimat tersebut juga berlaku untuk hubungan antar teman, keluarga, bahkan terhadap benda mati sekali pun.

Biasanya pulpen yang hilang kemarin lebih nyaman digunakan daripada pulpen baru di hari ini. Biasanya teman yang kemarin baru resign lebih asyik diajak diskusi bersama daripada kawan yang baru masuk hari ini. Begitu seterusnya. Tapi akankah kita terus bermuara pada penyesalan yang mengkotak-kotakkan kita dengan hal-hal baru di sekeliling kita? rasanya hal itu tidak adil.

Picture: Pinterest

Boleh saja kita menyesali sesuatu yang telah hilang kemarin dari diri kita, tapi tidak berarti penyesalan tersebut membuat kita mengabaikan hal baru yang DIA hadirkan untuk kita di hari ini bukan? karena pada akhirnya semua yang terjadi akan selalu menjadi sebuah pembelajaran yang berharga untuk perjalanan hidup kita sebagai manusia. Misalnya pembelajaran tentang menjadi lebih peduli terhadap apa yang kita miliki saat ini, merawatnya, mengasihinya dan menjaganya sebagai bentuk syukur kita terhadap apa yang kita miliki saat ini.

Mungkin selama ini saat kita dekat tak berjarak dengan keluarga, sikap individualis kita terlalu vocal sampai pada akhirnya banyak momen berharga yang terlewatkan begitu saja. Tidak menikmati makan malam dengan orang tua, melewatkan jam bermain dengan kakak atau adik, atau bahkan 24 jam waktu yang kita miliki semua diberikan untuk orang lain. Tanpa sadar kita gagal menunaikan hak keluarga atas waktu yang kita miliki. Dampaknya, ketika kemudian kita berjarak dengan mereka, semua mulai terasa berbeda. Ada sedikit penyesalan yang kemudian memuncak dan menjadi sebuah pengharapan akan kembalinya momen-momen yang dulu dengan sengaja kita lewatkan.

Lalu pertanyaannya, apa yang kita lakukan saat itu ketika momen tersebut hadir di hidup kita? bukankah kehadirannya hanya disambut ketidak-pedulian kita terhadapnya? mengabaikan dan bahkan cenderung menghindari dengan alasan rutinitas pribadi yang kian menumpuk.

Yups, dan begitulah manusia. Kini dia menyesali dan ingin kembali. Meratapi kerinduan terhadap momen berharga yang pernah ia lewatkan dulu bersama mereka yang menyayanginya dengan tulus. Namun, untungnya ia segera sadar, bahwa ratapan itu tiada pernah berakhir bila tak ada perubahan yang lebih baik dari dirinya. Ia juga sadar, bahwa belajar menjadi lebih peduli terhadap apa yang dimilikinya saat ini adalah salah satu penawar untuk kembali menata masa depan.

Berapa lama lagi waktu yang kita miliki untuk berbakti pada orang tua? untuk berkasih sayang pada saudara sedarah? tak ada yang pernah tau sampai kapan waktu yang kita miliki berjalan secara utuh, yang kita tau saat ini hanyalah bahwa mungkin mereka sedang berproses melepaskan kita pada sosok yang diyakininya terbaik, meski “entah” dengan keyakinan apa mereka melihatnya jika bukan dengan iman.

Hhhhmm.. mungkin inilah sisi terlemah kita sebagai manusia. Sikap yang salah dalam menerima kenyataan bahwa kehidupan saat inilah yang nyata harus dijalani dengan cara yang baik, bukan jika itu adalah kehidupan yang membahagiakan kita, maka kita menyombongkan diri, juga bukan jika itu adalah kehidupan yang memberatkan kita, maka kita mengeluhkan keadaannya. Karena dengan keadaan yang kita rasakan saat ini, adalah sebuah maksdu dari-Nya untuk kita kembali mengenal syukur tanpa kufur. Sebuah maksud lain dari-Nya bahwa sebaiknya kita menjadi bagian dari yang lebih peduli terhadap apa yang kita miliki. Mensyukurinya dengan sebaik-baik penerimaan.

Hal apa saja yang teman-teman miliki hari ini? nikmat sehat? keluarga yang utuh? pekerjaan yang nyaman? teman-teman yang sejati? harta benda yang menawan? apa pun itu, belajarlah menjadi lebih peduli untuk selalu mensyukurinya.

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #25: Saat Pulang, dan Pertanyaan Soal Menikah

Selamat datang kembali di ruang belajarnya Lisna 🙂 apa kabar sahabat anak rantau hari ini? Semoga semua dalam keadaan sehat jasmani dan rohani yaa, aamiin. Alhamdulillah hari ini kita semua telah memasuki hari ke 12 syawal. Suasana idul fitri pun masih terasa hangat di sekeliling kita. Bahkan sebagian corporate perusahaan pun tampak belum efektif menjalankan roda bisnisnya.

Kalau sahabat anak rantau, kapan mulai efektif beraktivitas lagi? biasanya di hari pertama masuk kantor, semua akan saling bersalaman dan bersilaturahmi. Saling berbagi cerita tentang suasana lebaran di tempat masing-masing, apalagi jika si pelakunya melakukan perjalanan mudik, pasti ceritanya akan terasa lebih berwarna.

Mulai dari warna warni cerita ketika melakukan perjalanannya, cerita tentang suasana dan budaya berlebaran di kampung halaman, bahkan yang tak kalah menarik adalah cerita tentang sebuah tanya yang diterima si pelaku dari tiap-tiap saudaranya. Hmm tanya soal apakah itu? Sebuah tanya yang mungkin bisa jadi sedikit sensitif bila tanya tersebut ditujukan pada seorang single yang telah mencapai batas usia tertentu.

Picture: Pinterest

Tentang, Pernikahan dengan ragam tanya lainnya. Kapan menikah? atau Sudah ada calonnya? atau juga Hayo sudah masuk bulan syawal, katanya setelah lebaran!

Mendadak seisi ruangan rumah nenek / paman / kerabat siapa saja yang digunakan sebagai tempat berkumpul keluarga menjadi ramai oleh untaian pertanyaan lainnya. Ada yang mengulang pertanyaan yang sama, ada juga yang memilih untuk mendoakan.

Sahabat pernah mengalami hal demikian? Biasanya apa yang kemudian sahabat lakukan?

Tidak semua orang memang bisa survive dengan jenis pertanyaan seperti itu. Bagi yang survive mungkin akan tampak biasa saja dan bisa melaluinya tanpa “baper”. Akan tetapi rasanya akan berbeda jika pertanyaan itu diterima oleh orang yang menganggap bahwa hal itu adalah ranah yang sangat pribadi.

Ada rasa tiba-tiba ingin menarik diri dari forum silaturahmi, malu, atau bahkan kecewa dan marah. Bingung harus menyikapinya seperti apa karena sudah terlanjur menjadi pertanyaan yang tak lagi hanya sekadar candaan.

Namun kembali lagi bahwa kenyataannya pertanyaan itu hanyalah tentang diri kita sendiri dengan Tuhan. Pertama, Bagaimana kita meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi akan selalu berjalan sesuai dengan kehendak-Nya dan yang kedua bagaimana kita meyakini bahwa merubah sifat dan karakter seseorang agar menjadi sesuai dengan harapan kita adalah suatu hal yang mustahil.

Seperti ketika kita merasa kecewa dengan sikap mereka yang cenderung lebih agresif menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi seperti itu, tentu ada rasa sesal dalam diri kita terhadap mereka yang bertanya “duh kenapa harus dibahas sekarang” atau “duh kenapa harus nanyain ini”. Dan semua itu di luar kendali kita. Bahwa kita tidak bisa mengatur atau mengendalikan orang lain untuk menjadi seperti yang kita inginkan.

Lalu bagaimana cara yang baik untuk menyikapinya?

Kuncinya yaa kedua hal di atas. Semakin kita yakin bahwa Allah akan selalu menjalankan skenario di waktu terbaik-Nya, maka seharusnya kita semakin tenang dan tidak terprovokasi dengan ragam tanya tersebut. Karena kita sendiri telah mengedukasi diri bahwa pernikahan itu akan terjadi sesuai waktu yang telah Allah tentukan.

So, jika kita yakin telah ada Raja Yang Maha Mengatur lalu untuk apa kita resah? daripada menanggapi ragam tanya tersebut dengan segenggam kekecewaan, bukankah sebaiknya kita sibuk menata diri saja?

Tidak mengambil hati apa kata orang memanglah bukan hal yang mudah. Butuh latihan serta kesabaran tingkat tinggi. Sebagai manusia memang kita berhak memiliki rasa kecewa dan marah, akan tetapi dua rasa itu tidak berhak meruntuhkan sistem silaturahmi yang sedang dibangun dengan kerabat. Artinya, sekecewa apapun kita terhadap mereka, kita tidak boleh memutuskan silaturahmi.

Karena:

“tidak ada dosa yang lebih pantas untuk disegerakan balasannya bagi para pelakunya (di dunia ini) berikut dosa yang disimpan untuknya (di akhirat) daripada perbuatan melampaui batas (kezhaliman) dan memutus silaturahmi (dengan orang tua dan kerabat)”

HR. Abu Daud no.4902, Tirmidzi no.2511, dan Ibnu Majah no.4211

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #24: Thank You, For The Greatest People

Hai Anak Rantau. Senang bisa kembali menyapa kalian lewat tulisan ini. Apa kabarnya di hari ke 4 Syawal ini? Semoga rahmat-Nya senantiasa hadir di hidup kita semua yaa.

Oya selamat idul fitri untuk teman-teman semua, mohon maaf lahir dan batin. Semoga Allah SWT menerima seluruh rangkaian ibadah yang telah kita lakukan selama bulan suci Ramadhan kemarin dan semoga kita semua termasuk dalam kelompok orang-orang yang diampuni segala dosa dan khilafnya oleh Allah SWT.

Picture: Pinterest

By the way, teman-teman lagi ada agenda apa hari ini? Alhamdulillah hari ini agendaku masih seputar berkumpul dengan keluarga. Saling mengunjungi membangun silaturrahim. Kegiatan yang seharusnya bisa aku lakukan setiap bulan, tetapi karena berbagai alasan akhirnya kegiatan itu hanya bisa terlaksana satu kali dalam satu tahun, yakni ketika momen idul fitri.

Hampir semua anggota keluarga biasanya menyempatkan hadir dalam acara ini, berkumpul di rumah nenek sebagai orang yang di-tua-kan, melakukan ziarah kubur ke makam almarhum kakek, kembali ke rumah nenek dan sisanya menikmati santapan khas lebaran sambil bertukar cerita tentang kehidupan dan kesibukan masing-masing.

Tiba-tiba semua aktivitas tersebut mampu mencairkan suasana menjadi lebih hangat, seperti baru menemukan kebahagiaan yang selama ini terkubur oleh rindu akan adanya kebersamaan dengan anggota keluarga besar.

Akan tetapi di tengah suasana hangat yang sedang berlangsung, tiba-tiba ada saja momen haru yang mengalir begitu saja ketika salah seorang anggota keluargaku pamit dari keramaian rumah nenek.

M : “yuk ah, mamang mau pamit duluan. udah harus mulai siap-siap ke Rumah Sakit”
A : “har itu, lebaran hari kedua gini mamang ga libur emangnya?”
M : “Nggak, tahun ini mamang kebagian piket jagain pasien. Karena beberapa teman mamang ambil cuti biar bisa berlebaran di kampung sama keluarganya”

Ada hal lain yang secara tiba-tiba melintas dalam pikiranku sesaat setelah beliau menjelaskan maksud dari kepergiannya. Apakah itu? yaa semacam memikirkan mereka yang sanggup bertanggung jawab terhadap pekerjaannya meski pekerjaannya harus dilakukan di hari raya.

Hari ketika hampir semua orang lebih memilih untuk berkumpul dengan keluarga. Tapi pada kenyataannya tetap saja ada yang berani mengorbankan waktu spesialnya demi kepentingan orang lain.

Para petugas rumah sakit yang setia melayani pasien, driver berbagai kendaraan yang selalu siap mengantar kemana pun kita pergi, petugas keamanan gedung, polisi yang selalu berjaga mengamankan lingkungan, reporter, dan tentunya masih banyak lagi bukan.

Tanpa kita sadari begitu banyak orang di luar sana yang berhak menerima ucapan “terima kasih” dari kita. Mereka yang pantas mendapatkan penghargaan atas pengorbanan yang telah mereka lakukan untuk kita. Meminjam kalimat dari sebuah iklan di layar kaca, bahwa “ada yang tak pulang demi pulangnya kita”.

Di luar dari kisah hero mereka, terkadang kenyataan yang terjadi pada diri kita sedikit “memalukan”. Lebih sering mengeluhkan berbagai kondisi yang terjadi di hadapan kita saat ini tanpa berani mensyukuri berbagai keberkahan yang telah Allah SWT turunkan dalam hidup kita.

Mengeluhkan macetnya jalanan ketika kita sekeluarga hendak pergi ke sebuah tempat wisata, padahal di balik keluhan yang kita lemparkan terhadap situasi tersebut pasti ada sosok tangguh yang rela meninggalkan keluarganya supaya kita bisa sesegera mungkin menikmati perjalanan menuju tempat wisata.

Mengeluhkan lambatnya hidangan yang disajikan di tempat kuliner, padahal di balik semua itu ada mereka yang sedang berusaha menyajikan santapan terbaik untuk kita nikmati bersama keluarga.

Karena pada akhirnya, syukur dalam diri kita harus selalu menjadi tiang yang lebih tinggi, agar kehadirannya mampu merendahkan berbagai ego dalam jiwa.

Karena pada akhirnya, kepada merekalah seharusnya kita berterima kasih. Mengapresiasi pengorbanannya, dan melangitkan doa-doa terbaik untuk kehidupannya.

Thank You, For The Greatest People. Semoga Allah membalas semua pengorbananmu dengan limpahan keberkahan-Nya yang tiada henti.

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #23: Mudik

Status

adalah sebuah ritual bagi setiap perantau yang berjarak dengan kampung halaman.

adalah sebuah aktivitas paling ditunggu bagi siapa saja yang meninggalkan rindu nun jauh di sana.

adalah momentum yang selalu diupayakan agar terwujud dengan segala bentuk pengorbanan pelakunya
ya, dan ia adalah si “mudik”

Hai teman-teman, bagaimana kabarnya di hari ke 27 Ramadan ini? Sudah mulai memasuki waktu liburnya? Buat yang masih harus bekerja, tetap semangat yaa 🙂 semoga Allah jadikan aktivitasnya sebagai perjalanan ibadah.

Alhamdulillah per hari ini kantor tempat aku bekerja telah memasuki masa libur lebaran, sehingga sore hari kemarin sepulang jam kantor aku bisa langsung bergegas pulang menuju Bandung.

Seperti biasa, aku memulai perjalanan dari stasiun Gambir dengan jadwal keberangkatan tepat pukul 17.00 WIB, tetapi untuk menghindari berbagai kemungkinan akhirnya aku mengupayakan untuk tiba di stasiun sekitar satu jam sebelum keberangkatan, dan yaa meski memang jarak dari kantor ke stasiun sangat dekat. Berangkat 30 menit sebelum jadwal sebenarnya juga masih bisa, tetapi di musim liburan seperti ini berangkat 30 menit sebelum keberangkatan bukanlah pilihan.

Sesampainya di stasiun, benar saja. Suasana lebih ramai dari biasanya. Banyak para pemudik lain yang juga terlihat akan melakukan perjalanan. Bahkan sepertinya pihak management stasiun menurunkan bantuan dari para Pramuka usia SMA untuk membantu mengatur kesibukan di stasiun.

Jika melihat suasana yang ramai dan sibuk seperti kemarin, perhatianku tiba-tiba selalu tercuri oleh sekelompok bapak-bapak berpakaian biru tua yang berjaga di sekitar stasiun. Mereka menawarkan jasa angkat barang kepada para penumpang. Di antara mereka, ada yang masih sangat muda juga bahkan ada yang sudah mulai tua.

Mereka sangat antusias apabila melihat penumpang yang kesulitan membawa barang bawaannya, karena bisa jadi kondisi tersebut adalah ladang rejeki bagi mereka.

Oya aku jadi teringat kejadian satu tahun yang lalu, tepatnya sama saat aku hendak pulang ke Bandung dalam rangka libur lebaran. Saat itu aku pulang seorang diri dengan barang bawaan yang cukup banyak, aku harus membawa satu buah koper berukuran sedang, ditambah dua buah tas gendong yang cukup berat.

Picture: Pinterest

Ternyata kondisiku yang “super riweuh” cukup menarik perhatian seorang laki-laki yang bertugas membantu para penumpang untuk membawa barang, sebut saja dia Pak Lukman. Beliau dengan ramah menawarkan kebaikannya padaku, membantuku membawa barang-barang bawaanku, bahkan beliau juga menawarkan bantuannya padaku untuk mencetakkan tiket perjalananku.

Sepanjang beliau membantuku, kami saling berbincang bertukar cerita. Singkatnya beliau juga adalah seorang perantau. Keluarga beliau tinggal di daerah Pantai Pangandaran. Baru memiliki satu orang anak. Ketika saya tanya “kapan bapak mudik?”, sambil tersenyum beliau berkata “insyaAllah besok ba’da subuh Neng, naik bis. InsyaAllah, insyaAllah besok! semoga besok saya bisa pulang ke kampung berkumpul dengan keluarga”

Terdengar beberapa penekanan dari jawaban yang diberikan beliau kepadaku dan entah kenapa saat aku berbincang dengannya, ada haru yang tanpa ijin melintas meniupkan angin di kedua mataku hingga berair.

“semoga selamat sampai tujuan ya Neng, silahkan mampir ke tempat saya bila Neng suatu waktu berkunjung ke daerah Pantai Pangandaran, karena rumah saya tidak jauh dari situ”

Hari itu, menjadi hari baru bagiku yang memberikan arti tentang pentingnya sabar dan syukur dalam hidup ini. Aku melihat begitu banyak pelajaran yang berharga dari hasil interaksiku dengan Pak Lukman, mungkin bagi siapa saja yang menyimak perbincangan kami di hari itu, akan terkesan seperti obrolan biasa. Tetapi tidak jika perbincangan itu melibatkan hati.

Tentang kesederhanaannya, tentang perjuangannya berjarak dengan keluarga demi memenuhi kewajibannya sebagai seorang imam, tentang ketegaran, juga tentang usaha-usaha yang harus beliau lakukan dalam rangka beribadah kepada Allah.

Kini satu tahun sejak pertemuanku dengan Pak Lukman telah berlalu. Sengaja aku duduk menunggu datangnya Kereta di sekitar peron yang penuh oleh orang-orang berseragam biru tua. Berharap bisa bertemu lagi dengan sosok yang pernah membantuku, atau sekadar melihatnya dari jauh bahwa beliau masih sehat saja sudah membuatku senang.

Tetapi hingga keretaku tiba, sosoknya tak lagi kulihat. Meski sebelumnya dengan jeli aku perhatikan setiap orang berseragam biru tua melintas di depanku, namun tetap tak bisa kutemukan beliau.

“oh mungkin beliau sudah tak lagi bekerja sebagai petugas yang membantu penumpang, atau mungkin bisa jadi beliau sudah mudik duluan, atau juga mungkin beliau ada tapi memang kami yang belum ditakdirkan untuk bertemu lagi”

Aku selalu berharap agar perjalanan yang aku lakukan akan selalu meninggalkan jejak kebaikan sebagai pembelajaran di hidupku. Seperti pertemuanku dengan Pak Lukman dalam perjalanan pulangku ke kota Bandung.

Semoga pak Lukman dan teman-temannya yang selalu tulus memberikan kebaikan jasa-jasanya senantiasa selalu hidup dalam keberkahan Allah SWT.

Dan untuk teman-teman semua yang sedang dalam perjalanan mudik, semoga selalu dalam kelancaran dan keselamatan.

Salam,

el