Raising A Mindful Family #2 (End)

novieocktavia:

Tulisan ini adalah lanjutan review International Islamic Parenting Seminar dengan judul “Raising A Mindful Family” yang dilaksanakan di Bandung, 3 Februari 2018. Seluruh materi yang dituliskan kembali disini disampaikan oleh Dr. Mohamed Rida Beshir, seorang Islamic Marriage and Parenting Expert yang berasal dari Canada yang juga merupakan co-author dari buku best seller berjudul “Parenting Skills: Based on The Qur’an and Sunnah”. Sebagai penghubung antara materi satu ke materi yang lainnya, hadir juga Ustadz Adriano Rusfi, seorang Psikolog yang juga founder dari Majelis Luqmanul Hakim. Tulisan pertama dapat di baca di link berikut ini.

Sebelumnya, mohon maaf untuk kalimat-kalimat berbahasa Inggris yang saya pertahankan sebagaimana materi diberikan, karena khawatir ada pemaknaan yang hilang atau kurang lengkap jika semua ditranslasi ke dalam bahasa Indonesia. Enjoy reading, happy learning!

image

Saya pernah mendapat nasehat dari seorang guru bahwa investasi terbesar yang dapat kita berikan bagi kehidupan kita adalah belajar dan ilmu pengetahuan. Beliau juga berpesan bahwa setiap waktu dan kesempatan yang kita luangkan untuk menuntut ilmu karena Allah adalah bentuk perjuangan untuk dapat menjalankan ibadah yang benar: ilmu sebelum amal. Setali tiga uang dengan hal tersebut, kemarin Mr. Rida menyampaikan bentuk investasi besar lainnya yang dapat kita lakukan,

“Nurturing and parenting our children are biggest invesment in life, our road to Jannah.”

Road to Jannah, ternyata sebesar dan sejauh itulah pentingnya investasi dunia akhirat ini, yang tentunya perlu kita siapkan sejak jauh-jauh hari. Masih ingat kunci kesepuluh pada tulisan sebelumnya, kan? Yup, pre-marital education. Jadi, meski belum menjalankan amanah Allah untuk mengasuh, penting juga bagi kita untuk mempersiapkan ilmu untuk amanah tersebut, sejak jauh-jauh hari.

Terdapat 5 komponen utama dalam Excellent Parenting. Apa sajakah itu?

Komponen yang pertama adalah visi, yaitu tujuan jangka panjang. Berkaitan dengan ini, saya jadi ingat Ibu Elly Risman pernah menyampaikan, “Main bola saja ada tujuannya, ada gawangnya, masa mengasuh anak tidak ada tujuannya?” Nah, ternyata, sebaik-baik visi kita bagi anak-anak kelak adalah aspire them to be like generation of the Prophet’s companion, yang kualitasnya adalah proud to be Muslim, have self confidence, dan juga strong in belief in Allah. Selain itu, anak-anak juga perlu loved and accepted by parents sehingga bisa menunjang mereka untuk bisa capable and highly skilled dan menjadi critical thinker dalam kehidupannya.

Untuk bisa memiliki visi yang benar dalam menjalankan pengasuhan, terdapat beberapa pengetahuan dasar yang perlu kita ketahui, yaitu Islamic knowledge in general (Al-Qur’an and Sunnah), Islamic Characters, pengetahuan tentang perkembangan anak baik dari segi fisik, intelektual, sosial, maupun emosional, dan yang tak kalah penting adalah Islamic Parenting Principles.

Termasuk di dalam Islamic Parenting Principles yaitu, parenting is a shared responsibility. Ya, parenting tidak bisa hanya dilakukan oleh ibu saja atau ayah saja, tapi harus oleh keduanya. Nah, ustadz Adriano Rusfi mengatakan bahwa yang seringkali menjadi masalah dalam hal ini adalah perempuan lebih giat belajar dan mempersiapkan dari pada laki-laki. Tapi, kita tetap bisa memilih sikap terbaik, yaitu berprasangka baik kepada Allah. Prinsip lainnya adalah link the child to his creator, anger management, dan menciptakan atmosfer keluarga yang positif dan sehat, yaitu dengan memberikan contoh-contoh positif kepada anak-anak.

Komponen yang kedua adalah knowledge atau ilmu pengetahuan. Hal ini menjadi logis dan masuk akal karena sebagai seorang muslim, we have to do anything based on knowledge. Sambil menunggu Allah memberi rezeki berupa pernikahan dan keluarga, belajar saja dulu, karena dengan belajar berarti bahwa kita sedang berupaya untuk dapat menjalankan ibadah dengan benar. Iqra or read is the best wiring of knowledge. Tapi, haruskah hanya dengan membaca buku? Tidak, karena arti membaca disini bisa sangat sangat luas, termasuk membaca hikmah yang Allah hadirkan dalam kehidupan kita.

Komponen yang ketiga adalah willingness to change. Bagaimana caranya? Yaitu dengan self-search dan self-improvement karena tantangan zaman hari ini dan hari-hari berikutnya akan semakin menantang sehingga kita tidak bisa lagi menggunakan cara-cara lama yang digunakan oleh orangtua kita dalam mengasuh kita dulu.

Komponen yang keempat adalah membentuk positive and healty family atmosphere yang berkaitan dengan kualitas-kualitas yang harus kita miliki kelak ketika menjadi orangtua, yaitu

building relationship, understand our children, willing to gain knowledge, active and nurture the fitra in them, be friend to the, reason up and explain wisdom, and make sure that your Islamic life is not miserable.

Hmm, kualitas terakhir itu cukup bikin mikir, ya! Sedih juga, mengingat kehidupan berislam kita (eh saya maksudnya) yang mungkin masih miserable. Semoga Allah mampukan kita untuk menjadi muslim yang selalu menjadi lebih baik setiap harinya.

Komponen yang terakhir adalah wisdom atau kebijaksanaan. Saya baru menyadari bahwa ternyata ada kekeliruan-kekeliruan dalam wisdom ini setelah Mr. Rida memberi penjelasan mengenai lack of wisdom, seperti contohnya picking your fights, making halal become difficult and haram become easy, living unfulfilled dream through our teen, using all inherited methods of Tarbiyah, and blind imitation. Wow, sedikit banyak hal tersebut terjadi pada kita atau sekitar kita, bukan?

Sebaliknya, kebijaksanaan ini dapat dilakukan dengan meng-install konsep-konsep penting kepada anak-anak kita, yaitu bahwa,

Allah is our creator and He loves us. Rasulullah is our role model. Our real home is in the hereafter. Allah is with us all the time, He always supporting and watching. We are accountable for actions and the use of our sense. And, you have to be keen about what is good for you.

Alhamdulillah. Sekian review dari Raising A Mindful Family yang bisa saya tuliskan, mohon maaf untuk setiap keterbatasan atau bahasa Inggris saya yang masih berantakan. Semoga setiap upaya kita dalam belajar, mempersiapkan, dan memperbaiki semua hal terkait kehidupan keluarga bisa menjadi nilai ibadah yang dibicarakan-Nya bersama malaikat-malaikat pencatat amal kebaikan. Sampai jumpa di review-review belajar selanjutnya. Baarakallahu fiik 🙂

PS: Untuk membaca artikel-artikel lain tentang pranikah dan parenting, klik disini dan disini.

_____

Picture Source: Pexels

Raising A Mindful Family #1

novieocktavia:

Tulisan ini ditulis sebagai review dari International Islamic Parenting Seminar dengan judul “Raising A Mindful Family” yang dilaksanakan di Bandung, 3 Februari 2018. Seluruh materi yang dituliskan kembali disini disampaikan oleh Dr. Mohamed Rida Beshir, seorang Islamic Marriage and Parenting Expert yang berasal dari Canada yang juga merupakan co-author dari buku best seller berjudul “Parenting Skills: Based on The Qur’an and Sunnah”. Sebagai penghubung antara materi satu ke materi yang lainnya, hadir juga Ustadz Adriano Rusfi, seorang Psikolog yang juga founder dari Majelis Luqmanul Hakim.

Sebelumnya, mohon maaf untuk kalimat-kalimat berbahasa Inggris yang saya pertahankan sebagaimana materi diberikan, karena khawatir ada pemaknaan yang hilang atau kurang lengkap jika semua ditranslasi ke dalam bahasa Indonesia. Enjoy reading, happy learning!

image

Lecturing diawali dengan pertanyaan yang lucu dari Mr. Rida, “Marriage is a 3 ring circus: engagement, wedding, and .. what’s the 3rd ring?” Saya kemudian menjawab, “The 3rd is parenting.” karena saya berpikir bahwa parenting adalah hal esensial dalam keluarga, dan juga karena belakangnya -ing. Haha. Tapi ternyata jawaban saya salah! Beliau bilang, ring yang ketiga adalah suffering alias kesediaan untuk menderita. Wow, agak mengerikan ya mendengarnya. Tapi, banyak kasus di ring ketiga ini sehingga berujung pada perceraian.

Amerika Utara memiliki tingkat perceraian sebesar 31,4% sementara di negeri kita sendiri, 84% perceraian terjadi di 5 tahun pertama karena alasan-alasan sepele. Wow, angka ini cukup mencengangkan, ya! Lalu, bagaimana agar kita dapat menghindari hal tersebut? Semua berawal dari proses pemilihan pasangan. Kepada laki-laki, panduan memilih pasangan sudah jelas tersampaikan melalui sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yaitu,

“A woman is sought for marriage for 4 reasons: her wealth, her beauty, her social status, and her Deen. So, select the one who is religious, otherwise, you are at loss.”

Meski terkesan hanya diperuntukkan bagi laki-laki, sebenarnya hadist ini juga menjadi petunjuk bagi perempuan, yaitu bahwa jika tanpa iman, maka kekayaan, kecantikan, dan sosial status menjadi tidak ada artinya.

Lalu, bagaimana dengan perempuan? Apakah hadist tadi tidak bisa menjadi patokan bagi perempuan dalam memilih pasangan? Tentu saja bisa, dan ada juga hadist lain yang menjelaskan bagaimana perempuan memilih pasangan, yaitu,

“If there comes to you one with whose character and religious commitment you are pleased, then give (your daughter or female relative under your care) to him in marriage ..”

Yup, perempuan dianjurkan untuk melihat laki-laki dari agama dan akhlaknya.

Setelah menentukan pasangan, lalu apa yang menjadi kunci bagi pernikahan yang sukses dan bahagia? Berikut adalah 10 Keys to Blissfull and Successfull Marriage yang disampaikan oleh Mr. Rida.

Pertama, mutual commitment to marriage status. Mutual berarti bahwa komitmen yang kuat terhadap pernikahan ini tidak hanya dipegang oleh perempuan saja atau laki-laki saja, tapi keduanya. Pada siapa sebenarnya komitmen ini terjadi? Apakah isteri pada suami? Atau suami kepada isteri? Utamanya, komitmen itu, atau yang sering kita kenal sebagai mitsaqan ghaliza, adalah komitmen kepada Allah.

“Fear Allah in your dealing with your wives. This relationship is a trust from Allah.”

“Take a good care of your wives. They are entrusted to you by Allah.”

Menariknya, kalimat yang diucapkan seorang laki-laki kepada wali nikah perempuan saat ijab qabul dalam aturan bahasa arab merupakan kalimat fi’il madi atau past tense. Mengapa? Karena dengan siapa kita menikah sudah Allah tetapkan jauh sebelum hari akad nikah terjadi, bahkan sebelum kita terlahir ke dunia, sehingga akad ini adalah bentuk pengesahan bagi ketentuan yang telah ada tersebut. Maa syaa Allah.

Kedua, trust and faithfullness, yang untuk menghadirkannya kita perlu memerhatikan dan menjalankan petunjuk Rasulullah, yaitu tentang bagaimana interaksi antarlawan jenis di dalam Islam. Selain itu, trust and faithfullness ini juga membutuhkan transparency and clarity, dimana masing-masing pasangan perlu membantu pasangannya untuk bisa memberikan kepercayaan terhadapnya.

Keempat, proper understanding of objective of marriage. Yup, tujuan pernikahan! Mr. Rida bertanya pada seluruh peserta seminar, “How do you think most men define marriage?” Seluruh peserta terlihat berpikir, pun peserta-peserta laki-laki yang duduk di sayap kanan. Lalu, Mr. Rida menjawab, “Most men define marriage as a very expensive way to get laundry done!” Hahaha, beliau ini memang lawak sih ya, kocaque! Kemudian, tujuan-tujuan terbaik dari pernikahan pun disampaikan: realizing and fulfilling sunnah, peace and tranquility, comfort, serenity, satisfaction, protection, shelter, becoming your self, dan lain-lain. Tapi, diantara semuanya, ada satu yang menurut saya adalah the ultimate objective of marriage. Apakah itu?

Help each other to be closer to Allah by encouraging our spouse to do a right things.

Kunci pernikahan yang kelima adalah proper understanding of gender relation, yaitu relasi yang supporting, protecting, and cooperating with each other for righteousness. Nah, kalau kita pikir-pikir dari segi bahasa tentang ketiganya itu, rasa-rasanya ada bagian supperior (misalnya yang mensupport dan menjaga), tapi ternyata tidak demikian, karena supporting and protecting is not about top-down, but equal.

“And women have the same rights as the duties they have to fulfill in kindness and according to what is equitable.”

Keenam, proper understanding of spousal obligation. Disamping suami dan isteri memiliki kewajiban masing-masing yang harus dipenuhi, ternyata ada juga kewajiban bersama yang harus dipenuhi oleh keduanya, yaitu

treating one another with respect, love, and gentleness; providing companionship for each other, helping each other to be better Muslim, fulfilling each other emotional needs, and dealing with each other based on the proper understanding of qawwamah, obedience of wife to husband in Islam (the standard is according to syariah), and status of woman in Islam.

Selain itu, disebutkan pula dalam Al-Baqarah ayat 187 tentang relasi dan kewajiban pasangan, yaitu bahwa, “They are your garment and you are their garment.”

Ketujuh, following the Quranic way of communication. Memang ya, Al-Qur’an ini maa syaa Allah, keren sekali! Sampai-sampai, untuk urusan komunikasi pun dibahas. Salah satunya adalah tentang Ahsan: we should only say words that are the best. Rasulullah pun mencontohkan sikap-sikap terbaik saat berkomunikasi, dimana beliau,

always used descent language and good words, never raised his voice, never got angry for personal reasons, did not blame or point fingers, never called other with bad names, always conveyed respect and consideration, faced the person talking to him, never cut a person off while talking, repeated himself to make sure that he was clear, confirmed what other person said, and illustrated what he was saying.

Kedelapan, paying special attention to the early stage of marriage. Hmm, awalnya saya heran, memangnya kenapa dengan tahun-tahun pertama pernikahan sampai dibilang perlu paying special attention? Bukankah itu masa-masa bahagia? Tapi ternyata, early stage of marriage ini ya memang sweet, but critical. Ustadz Adriano Rusfi pun menjelaskan tentang banyak sekali problematika di awal pernikahan, yang bisa menjadi pemicu pernikahan bahkan sebelum pernikahan itu memasuki usia 5 tahun pertama.

Ternyata, problematika yang seringkali terjadi di awal pernikahan ini adalah bagaimana menyatuka dua pribadi yang bereda, problematika finansial, perbedaan prinsip dalam pendidikan anak (biasanya masalahnya adalah suami dominan untuk mengambil keputusan tapi suami tidak lebih memahami parenting daripada isteri yang suka belajar), dan hadirnya pihak ketiga, baik itu orangtua atau mertua, yang merasa masih perlu melakukan intervensi tata kelola rumah tangga anaknya. Semua ini terkait juga dengan kunci kesembilan, yaitu learning and practicing Islamic way of addresing conflict.

“What is the last key that’s not written in the presentation?” tanya Mr. Rida. Hmm, apa ya? Ternyata, setelah setengah menit diberikan waktu untuk berpikir, jawabannya adalah PRE MARITAL EDUCATION. Beliau mengatakan, sembilan kunci sebelumnya hanya akan dapat menjadi sempurna jika semuanya diawali dengan pendidikan pra-nikah. Beliau juga meyakinkan para peserta yang masih ada di stage pra-nikah bahwa pernikahan, mengasuh, dan mengelola rumah tangga perlu diawali dengan kesediaan untuk belajar dan menuntut ilmu, bahkan jauh sebelum menikah.

Bersambung ke tulisan berikutnya, ya! 🙂

_____

Picture Source: Pexels