Jejak Anak Rantau #36: Pelaut Ulung Tidak Lahir dari Ombak yang Tenang

Selamat Siang teman-teman, semangat pagi untuk kita semua para pejuang dalam perjuangannya masing-masing. Btw apa kabar hari ini? Semoga semangat pagi masih senantiasa menggebu dalam jiwa kita yaa.

Oya, teman-teman ada agenda apa di weekend ini? weekend yang sekaligus bertepatan dengan libur nasional perayaan Tahun Baru Islam 1 Muharram 1441 Hijriah.

Biasanya momen tahun baru selalu identik dengan melakukan aktivitas menyusun to do list baru untuk satu tahun ke depan, lengkap dengan evaluasi satu tahun ke belakang, bukan?

Kamu sudah melakukannya belum? Kalau belum, kira-kira wishlist apa yang menjadi harapan terbesarmu? Oya, adakah yang salah satu wishlistnya itu lulus studi di tahun ini? Aku rasa saat ini adalah momennya ujian akhir bagi sebagian teman-teman student.

Selamat yaa bagi teman-teman yang telah dinyatakan lulus dari proses sidang akhirnya, baik sidang skripsi maupun sidang thesis. Dan selamat juga untuk teman-teman student yang telah selesai melewati momen final exam. Semoga teman-teman bisa mendapatkan hasil terbaik 🙂

Dan kepada teman-teman yang masih beproses menyelesaikan misinya, selamat berjuang kembali. Meski terkadang dalam prosesnya selalu ada lelah yang menyapa, dan bosan yang menghalau, tapi semoga kita tetap tangguh mengalahkan keduanya.

Karena, bukankah pelaut ulung tidak lahir dari ombak yang tenang?

Begitu kira-kira sebaris kalimat yang sering kita jumpai dalam beberapa seminar motivasi.

Picture: Pinterest

Sebagai anak rantau, in case aku selalu merasa kagum pada mereka yang menjalani peran sebagai pekerja dan pelajar di dua kota yang berbeda. Weekday mereka harus menjalani pekerjaan di kota A dan ketika weekend tiba mereka harus pulang ke kota B untuk melanjutkan perkuliahannya.

Banyak sekali teman-teman seperantauanku yang menjalani kehidupan seperti itu. Bahkan jauh sebelum akhirnya aku mendaftar untuk kuliah di kota yang sama, aku pun pernah memikirkan pilihan-pilihan teman-temanku, hingga pada akhirnya aku menyerah. Merasa tidak Capable jika harus menjalani keduanya di dua kota yang berbeda.

Terbayang bagaimana sulitnya untuk tetap berupaya profesional menjalani kedua peran tersebut. Apalagi jika sudah tiba masa-masa bimbingan yang terkadang mengharuskan kita rutin datang ke kampus untuk menyelesaikan beberapa hal. Seminar, revisi tugas akhir, belum lagi urusan-urusan administrasi yang tidak bisa diselesaikan secara mobile.

Aku kagum pada mereka, yang pada akhirnya mampu menyelesaikan semua peran kehidupannya dengan baik, rapih, dan benar-benar selesai tanpa saling membenturkan satu kewajiban dengan kewajiban lainnya.

Aku kagum pada mereka yang tidak menjadikan alasan pekerjaan sebagai penghambatnya menyelesaikan studi.

Aku kagum pada mereka yang tidak menjadikan alasan studi sebagai penghambatnya dalam menyelesaikan pekerjaan.

Aku kagum pada mereka dengan segala keprofesionalitasan mereka menjalankan perannya. Aku kagum pada mereka dan aku ingin terus belajar dari mereka.

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #35: Key Point From Lie Detector

Selamat sore teman-teman, tak terasa waktu semakin cepat berlalu. Rasanya baru kemarin aku menyapa sahabat Jera’s di ruang ini. Eh, hari ini kita semua kembali bertemu dengan Saturday. Alhamdulillah, masih diberi waktu, umur panjang juga kesehatan yang luar biasa. Teman-teman, apa kabarnya? semoga keberkahan dari-Nya senantiasa menyelimuti kehidupan kita semua. Aamiin.

Sore ini, aku ingin mengajak teman-teman untuk kembali menjelajah ruang masa laluku. Masih di sekitar tahun-tahun akhir perkuliahanku. Ya, karena memang aku merasa di sanalah serba serbi peristiwa dan hikmah datang silih berganti dalam hidupku. Mulai dari pertemuan dengan orang-orang hebat, tugas-tugas kuliah, sampai peristiwa di luar akademik pun turut hadir meramaikan perjalanan hidupku, seolah semua sepakat mendorongku untuk tumbuh menjadi sosok yang lebih baik.

Nah, someday aku pernah mengikuti sebuah seminar Psikologi di Jakarta. Tema yang dibawakan saat itu adalah seputar Lie Detector, atau mendeteksi kebohongan melalui gerak tubuh manusia. Bagaimana kita bisa membaca apakah lawan bicara kita berkata jujur atau tidak. Seringnya lie detector ini biasanya digunakan oleh para ahli dalam bidang kriminalitas dan atau dalam bidang industri organisasi.

Misalnya untuk kebutuhan interview pekerjaan dalam bidang industri organisasi, dan untuk kebutuhan investigasi terhadap pelaku kejahatan dalam bidang kriminalitas.

Ada momen menarik sebenarnya dalam seminar yang berlangsung saat itu, dan bagiku momen menarik itu bukan ketika pemateri membawakan isi materinya, akan tetapi momen itu dirasa ketika dia memberikan closing statement. Kurang lebih seperti ini bunyinya:

“Terima kasih telah mengikuti seminar hari ini, semoga ilmu yang saya berikan bermanfaat untuk teman-teman semua, sebelum acara ini resmi saya bubarkan, mari berdoa untuk kita semua agar kita semua mampu menjadi pribadi-pribadi yang selalu berkata jujur dalam setiap kondisi”

Hmm, dari kalimat di atas sederhana memang. Bahkan mungkin jika dibaca ulang seperti kalimat ajakan biasa pada umumnya. Tapi bagiku ada key point yang cukup menggetarkan dan bisa berpengaruh terhadap aspek kehidupan tiap-tiap individu, yaitu tentang “Kejujuran”. Ya, seandainya aku dan kita semua mampu mengimplementasikan ilmu kejujuran dalam setiap kehidupan. Mungkin tidak akan ada seminar lie detector seperti ini. Mungkin tidak akan ada pihak-pihak yang merasa dirugikan karena kebohongan yang kita lakukan.

“tapi kan berbohong untuk kebaikan itu diperbolehkan Ka”, lantas pertanyaan berikutnya, “bohong yang seperti apa memangnya yang diperbolehkan?”

Banyak di antara kita (termasuk aku) yang terkadang mengukur standar “boleh atau tidaknya” hanya berdasarkan pada norma yang dibuat diri sendiri. Padahal kita sebagai umat manusia telah memiliki standar yang utuh loh, khususnya bagi seorang muslim sudah menjadi fakta yang umum diketahui bahwa kebohongan itu boleh dilakukan salah satunya dalam hal mendamaikan dua orang yang berselisih. Itu pun ada syarat-syaratnya lagi.

Jika kembali mengingat perjalanan kehidupan kita sampai hari ini, rasanya sangat merinding karena betapa banyak kebohongan yang telah kita ciptakan, berbohong pada orang tua, kepada orang-orang di sekeliling kita, bahkan berbohong pada diri sendiri pun sering kita lakukan tanpa sadar. Sehingga terkadang perilaku tersebut menjadi habit baru yang seharusnya tidak boleh ada dalam diri kita. Karena bukankah kepercayaan itu bisa terwujud hanya dengan kejujuran yang kita jaga?

Mungkin selama ini kita merasa ringan melakukannya karena merasa tidak ada yang mengetahui, tidak ada yang memperhatikan, atau tidak ada yang peduli. Mungkin juga lie detector yang selama ini kita ketahui dirasa kurang cukup memberikan efek takut pada kita sehingga kebohongan terus menerus kita lakukan.

Padahal jika sedikit saja kita kembali memahami tujuan dan muara hidup yang sesungguhnya sebagai manusia, mungkin kita akan kembali sadar, mungkin kita akan merasa takut dan merasa harus menyudahi kebohongan-kebohongan yang selama ini kita bangun. Karena bukankah ada dzat Yang Maha Mengetahui yang seharusnya menjadi pengingat bagi kita bahwa setiap aksi yang dilakukan akan diminta tanggung jawabnya kelak? Lantas, justifikasi apa yang bisa kita jabarkan ketika ditanya perihal kebohongan yang selama ini kita lakukan?

Masih sama dan sepakat dengan pemateri seminar waktu itu, harapanku semoga aku dan kita semua bisa mulai belajar untuk tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang selalu bersikap jujur. Jujur terhadap diri sendiri tanpa harus merendahkan diri, jujur kepada kedua orang tua tanpa harus takut karenanya, dan jujur kepada lingkungan tanpa harus merasa sombong dengan apa yang kita miliki.

 

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #34: Mereka yang Patriotik

Assalamu’alaikum. Apa kabar teman-teman semua di hari libur nasional kali ini? semoga teman-teman semua tetap bahagia yaa, meski libur kali ini jatuh di akhir pekan lagi seperti momen Idul Adha minggu lalu. hehe.

Anywhy semua kesempatan yang kita dapat ini sudah seharusnya kita syukuri, bukan? Syukur dengan setulus hati karena pada akhirnya kita semua bisa kembali menikmati kesempatan yang Tuhan berikan pada kita secara gratis. Alhamdulillah.

By the way bagaimana suasana perayaan kemerdekaan di tempat kalian? Pasti tidak kalah seru ya. Minimal ada kegiatan upacara bersama di lapangan sekitar tempat tinggal, atau lebih dari itu biasanya setiap wilayah memeriahkan acara dengan mengadakan bermaca-macam perlombaan.

Lomba balap kelereng, balap karung, makan kerupuk, tarik tambang, memasukan paku ke dalam botol, lomba mewarnai, menggambar, berpuisi, lomba berbagai cabang olah raga, bahkan sampai lomba membuat tumpeng pun ada. Seru yaa! Kalau kamu, masuk tim yang mana?

Rasanya hampir semua orang akan larut dalam suasana yang meriah seperti hari ini. Tapi di sisi lain aku berpikir tentang makna kemerdekaan itu sendiri seperti apa? dan ketika hari ini aku ikut berbahagia merayakan ulang tahun kemerdekaan, tiba-tiba terlintas tanya dalam hati, lalu kado spesial apa yang bisa aku berikan untuk Negeri ini?

Pernah suatu hari ketika aku sedang berproses menyelesaikan skripsi tentang Patriotisme, dosen pembimbingku bertanya tentang bukti patriotisme dari diriku sebagai seorang mahasiswa itu apa. Aku pikir jawabannya adalah cukup hanya dengan memainkan peran sebagai seorang mahasiswa yang baik serta bertanggung jawab dengan misinya. Tapi ternyata bukan itu.

“bahkan meski kamu adalah seorang mahasiswa yang tidak pernah melewatkan mata kuliah Kewarganegaraan, itu tidak cukup membuktikan bahwa kamu punya patriotisme yang tinggi

bahkan meski kamu mengganti ring tone HP dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya, itu pun belum cukup membuktikan”

Mendengar nasehatnya tiba-tiba aku bersama teman-teman diam seolah tertampar tak bisa berkata-kata. Bahkan saat itu pun aku merasa bahwa aku belum bisa dikatakan sebagai orang yang punya patriotisme tinggi meski penelitian yang aku ambil adalah tentang hal ini.

“Alasan kamu ingin meneliti Patriotisme apakah benar karena kamu peduli terhadap kondisi bangsa ini? atau karena kemudahan dalam melakukan penelitiannya nanti? kamu yakin punya jiwa patriotik? Patriotik yang seperti apa? yang selalu pro terhadap apa adanya kondisi Negeri ini? atau yang berani kontra terhadap ketidakbenaran dengan memberikan action atau perubahan yang baik?”

Karena ternyata Patriotisme itu bukan hanya tentang “saya mendukung” atau “saya tidak mendukung” keputusan di suatu pemerintahan. Tetapi juga tentang “action apa” yang kemudian bisa kita lakukan untuk perubahan yang baik di Negeri ini. Action apa yang bisa kita lakukan dan manfaatnya bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.

b8205cad17d57787ca20b835bc342f5c.jpg

Picture: Pinterest

Sayangnya sampai hari ini masih banyak di antara kita yang terlalu pintar memberikan masukan tanpa aksi yang nyata. Padahal, mayoritas masyarakat ini adalah kaum muda yang seharusnya bisa diandalkan menjadi changes agent.

Tapi uniknya di tengah-tengah kondisi seperti ini justru aku melihat fenomena lain yang menarik perhatian. Ya, hal menarik itu justru hadir bukan dari kaum muda seusiaku saat ini, tapi dari mereka yang justru lebih senior dariku.

Sebut saja mereka sekelompok ibu-ibu PKK. Aku bertemu dan berdiskusi banyak dengan mereka membicarakan kegiatan yang selama ini rutin mereka lakukan sebagai bagian dari agenda bangsa ini untuk mencerdaskan dan memajukan kaum perempuan. Seperti membuat penyuluhan kesehatan atau bekerja sama melestarikan lingkungan hidup.

Uniknya, mereka bekerja secara sukarela, tanpa diberi upah. Tapi jika melihat sepuluh program yang harus dijalankannya, rasanya membuatku geleng-geleng kepala.

“Ko Ibu mau mengerjakan pekerjaan berat ini tanpa dibayar?”

“Enggak berat ko Neng, kami semua senang melakukannya. Apalagi kan kegiatan ini bermanfaat untuk semua warga perempuan di kampung ini”

“iya Neng, kami tidak bisa melakukan seperti neng dan teman-teman mahasiswa lainnya, cara kami berbakti pada Negera ini yang cuma dengan ini”

Jleb, mendengarnya, rasanya seperti ada yang memanah ruang kesadaranku. “memangnya aku sebagai mahasiswa sudah melakukan apa sampai salah satu ibu berkata demikian?”. Malu rasanya melihat kegigihan dan perngorbanan mereka terhadap Negeri ini. Justru aku merasa belum melakukan apa-apa. Bahkan yang telah mereka lakukan selama inilah yang menurutku patut untuk diapresiasi sebagai wujud Patriotisme yang sesungguhnya. Berkontribusi untuk Negeri tanpa pamrih.

Apa yang beliau katakan saat itu adalah sebuah pernyataan yang tidak akan pernah bisa aku lupakan. Kalimatnya, membuatku ingin terus bercermin diri, melihat jauh ke dalam diri demi memastikan bahwa apa yang telah aku lakukan haruslah sesuatu yang bermanfaat minimal untuk lingkungan terdekatku.

Mungkin, itulah yang dimaksud dosen pembimbingku tentang Patriotisme yang sesungguhnya. Beraksi nyata mewujudkan perubahan yang lebih baik untuk sebuah Negeri.

“Patriotism is attachment of group members towards their group and the country in which they reside. This attachment is reflected in beliefs and emotions that individuals hold”

Daniel Bar-Tal

 

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #33: Hikmah dari Seorang yang Membumi

afe9da56587bdfe1c2edf4afbc456396

Picture: Pinterest

Siang itu aku dan salah satu teman seperjuanganku bersepakat untuk mengakhiri sesi bimbingan dengan menyantap semangkuk Sop Ayam di sekitar kampus.

Kondisi perut yang lapar karena belum sarapan sejak pagi hari, lelahnya otak karena mengikuti sesi bimbingan skripsi tanpa henti, juga teriknya sinar matahari yang memayungi langkah perjalananku siang itu, telah cukup menjadi alasan kami untuk singgah di rumah makan tersebut.

Sambil melepas lelah dari aktivitas hari itu, dengan semangat kami mulai menikmati hidangan Sop Ayam dengan segelas es Jeruk yang telah disiapkan oleh seorang petugas di atas meja kami.

Namun belum juga suapan pertama masuk melalui tenggorokan, tiba-tiba seorang pemuda dan laki-laki hampir tua berdiri di hadapan kami dan memohon ijin untuk bergabung karena tidak ada lagi meja kosong yang bisa ditempatinya.

Ya memang, tempat makan itu adalah salah satu tempat makan favorit di sekitar kampus. Sehingga tak heran bila suasananya selalu penuh apalagi di jam makan siang seperti waktu itu.

Akhirnya, aku dan temanku mempersilahkan mereka berdua untuk menempati meja yang sama. Awalnya, aku canggung karena merasa tidak bebas menyantap sop Ayam dengan lahap. Aku dan temanku hanya saling menendang kaki sebagai tanda ke-awkward-an kami.

Namun semua rasa itu tiba-tiba pecah ketika salah seorang dari mereka menyapa kami. Menanyakan siapa nama kami, di mana rumah kami, dan atas keperluan apa kami berada di daerah ini yang kenyataannya jauh dari tempat tinggal kami.

Obrolan itu tanpa sadar membawa kami pada situasi yang penuh keakraban, apalagi obrolan dengan laki-laki yang hampir tua. Tampaknya di antara mereka berdua, laki-laki hampir tua itulah yang paling bersemangat.

Aku dan temanku mengira bahwa dia adalah seorang dosen, karena dalam beberapa obrolan kami, dia lebih sering memberikan nasehat tentang perjalanan studi kepada kami. Terlebih lagi aku dan temanku sangat tertarik dengan kisah masa lalunya yang berasal dari sebuah desa terpencil, dari keluarga sederhana, namun dia bisa menyelesaikan studi dengan baik.

“Bapak saya dulu adalah seorang Petani. Tidak memiliki uang banyak. Tapi orang tua saya, punya tekad yang tinggi untuk menyekolahkan anak-anaknya. Soalnya pendidikan itu penting, untuk investasi masa depan”

Ucapnya sambil menikmati segelas es teh.

Dan Ya, tentu aku setuju dengan pernyataannya tersebut. Tidak kaget bagiku bila dia berkata demikian, karena memang pada faktanya pendidikan merupakan sebuah investasi masa depan.

Namun hal lain yang membuatku kaget adalah ketika dia bertanya tentang pekerjaanku. Bekerja di mana, bergerak di bidang apa, sudah berapa lama, berapa upah yang aku dapat dari pekerjaanku, status kepegawaianku, bahkan dia juga bertanya siapa Direktur utama perusahaan tempat aku bekerja.

“ohh Dirutnya, Bapak “x” yah. Wah itu sih saya kenal dulu saya dengan dia bla bla bla bla..” tegasnya.

Lalu, aku dan temanku saling menatap seolah memikirkan pertanyaan yang sama. Sebenarnya, siapakah Bapak ini? dari cara bicaranya seperti seorang dosen, tapi mendengarnya bercerita tentang relasi-relasi dan pekerjaannya tampaknya ia bukan hanya seorang dosen, tapi lebih dari itu.

Mencoba melepas rasa penasaran dengan balik bertanya tentang apa pekerjaan beliau, rupanya tidak mengobati rasa penasaran itu sendiri.

“saya hanya pekerja biasa sama seperti ade ade ini” jawabnya singkat.

Tanpa terasa waktu itu cepat berlalu hingga mengantarkan kami dan mereka pada perpisahan. Bahkan ketika momen perpisahan dengan mereka pun ada hal yang membuat kami tak menyangka.

“sudah ya, kalian segera pulang ke kosan masing-masing sebelum hari menjelang sore. Saya dan teman saya juga akan segera pulang. Biarlah semua makanan kalian saya yang bayar, saya juga dulu seperti kalian, bertemu kalian seperti melihat saya di masa lalu

Belum juga selesai aku mengucapkan terima kasih atas kebaikannya siang itu, kembali ia melanjutkan pesannya

“kalian harus semangat ya, kejar cita-cita setinggi apapun, kalian ini aset bangsa loh ingat”.

Akhirnya kami semua beranjak dari tempat makan itu. Aku dan temanku sengaja menunggunya di luar, sementara temannya masih membersamai bapak hampir tua itu. Dengan isyarat tangan dia meminta temannya untuk keluar juga.

Dengan langkah yang gesit dia berjalan menuju sebuah mobil mewah warna hitam. Dalam hatiku “benarkah dia teman bapak hampir tua itu?”.

Lamunanku yang penuh tanya tentang bapak hampir tua itu kemudian pecah dengan salam pamitnya. Sambil mengucapkan salam beliau pamit masuk ke dalam sebuah mobil mewah yang telah bersiap menunggunya di depan. Beliau masuk dan duduk di kursi belakang sementara temannya bersiap dengan setirnya.

Satu hal telah terjawab. “Mungkin!”

Tanpa disadari ada yang terlupakan. Telah lama menjalin perbincangan rupanya aku dan temanku belum tau siapa namanya. Aku lupa menanyakan siapa nama bapak hampir tua yang baik itu.

Dengan lantangnya kemudian temanku berteriak tepat sebelum pintu mobilnya tertutup. “Pak siapa namanya?”

“Panggil saja “bapak x” yaa”, jawabnya sambil tersenyum.

Kini, kejadian itu telah berlalu hampir dua tahun. Aku dan temanku pun telah meraih status Sarjana, sebuah doa yang juga beliau panjatkan ketika makan siang bersama waktu itu, “semoga kalian lulus dan jadi orang yang berhasil”.

Doa tulus dari orang yang tak kami kenal turut mengantarkan aku dan temanku meraih mimpi kami berdua.

Kini, kejadian itu telah berlalu begitu lama. Aku masih berharap bisa bertemu dengan beliau dalam keadaan sama-sama menyadari bahwa aku pernah bertemu dengannya.

Dari hampir satu jam perbincangan itu, ada kesederhanaan hidup, ada kebijaksanaan sikap, ada kesungguhan meraih mimpi, juga ada kesabaran menghadapi ujian yang beliau ajarkan pada kami melalui cerita masa lalunya.

Maa Sya Allah, semoga Allah selalu menjaga dan memberkahinya diamanapun beliau berada.

 

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #32: Ketika DIA Menyapa Kita

Assalamu’alaikum teman-teman. Apa kabarnya? Rasanya sudah lama sekali aku tidak menyapa. Semoga teman-teman semua senantiasa selalu berada dalam perlindungan-Nya yaa 🙂

Sedih sebenarnya membaca surat kabar online hari ini, mayoritas dari mereka masih menginformasikan tentang kejadian kemarin malam.

Ya, benar! Ini tentang Gempa. Apakah teman-teman juga ikut merasakannya? Kekuatannya mencapai 7.4 SR sekaligus berpotensi tsunami. Kejadiannya berasal dari wilayah Banten, yang secara otomatis getarannya pun terasa hingga Jakarta dan sekitarnya.

Durasinya yang cukup lama berhasil membuatku dan beberapa teman-teman di kantor merasakan ketakutan yang berlebih. Apalagi tadi malam kami semua sedang berada di dalam sebuah office tower lantai paling tinggi.

Saya jadi teringat dengan tragedi serupa yang terjadi beberapa tahun lalu. Bedanya waktu itu gempa terjadi di siang hari dengan durasi yang singkat, dan karena kepanikan yang berlebih, aku dan beberapa teman memaksakan diri untuk turun 18 lantai menggunakan tangga darurat. Terbayang kan? 😦

“DIA nyapa kita lagi Nna, kamu baik-baik aja kan di sana? Aku di sini lagi berdiri di titik kumpul. Semua orang turun ke jalanan. Jaga diri yah, kabari aku secepatnya”

Sebaris pesan masuk dalam layar smartphone yang masih dalam genggamanku. Aku membacanya sambil terduduk di bawah meja dalam sebuah ruangan dengan maksud ingin melindungi diri dari getaran yang tinggi.

Ya benar, dalam kondisi masih terjadi getaran semalam, aku dengan beberapa temanku lebih memilih untuk berlindung di bawah sebuah meja daripada turun ke loby utama seperti beberapa tahun lalu.

Mungkin karena kali ini aku lebih merasa santai dan bisa mengelola kepanikan dalam diriku dengan baik. Atau oh tidak, mungkin justru ini karena aku menghadirkan DIA di dalam hatiku.

Dan ya, sebaris pesan dari temanku di atas memang cukup membuatku tersadar, bahwa semua yang terjadi belakangan ini adalah sebentuk sapaan lembut dari-Nya pada kita.

Erupsi gunung Tangkuban Parahu, disusul kemudian dengan erupsi gunung Kerinci, bahkan seolah belum cukup, kembali DIA menyapa kita melalui guncangan yang kuat di wilayah Banten hingga ke wilayah terdekat sekitarnya.

Picture: Pinterest

Ya, benar! DIA sedang menyapa kita, menyapa aktivitas keseharian kita, sudahkah kita menjalaninya dengan niat yang tulus karena-Nya?

Ya, benar! DIA sedang menyapa kita, menyapa segala sesuatu yang kita nikmati, sudahkah kita dapatkan melalui jalan yang halal?

Ya, benar! DIA sedang menyapa kita, menyapa hati kita, sudahkah kita hadirkan DIA seutuhnya di dalam jiwa kita?

Oh ya dan memang benar, bahwa DIA sedang menyapa kita, menyapa keimanan dan ketaqwaan kita yang ternyata tak kunjung meningkat.

Katanya kita selalu berupaya membenahi, tetapi ternyata prosesnya masih selalu kita nodai dengan segala bentuk kemaksiatan 😥

Katanya kita selalu merasa takut, tetapi ternyata dengan berbangga hati justru kita memamerkan kesalahan dan bahkan terkadang kita tidak menyadari bahwa kita sedang berada pada jalan yang salah.

Dan ya, sungguh. DIA sedang menyapa kita dengan sapaan-Nya yang lembut. Kata-Nya, kapan kita akan kembali pada langkah yang benar? Karena kini bumi sudah mulai enggan memendam dosa-dosa anak manusia.

Sungguh, DIA sedang menyapa kita, teman. Semoga kita menyadari itu sebelum terlambat.

 

Salam,

el