Jejak Anak Rantau #37: Jika Aku Menyerah.

Membiarkan pondasi-pondasi mimpi menjadi runtuh rasanya adalah sebuah keputusan yang tidak tepat dan terlihat menyedihkan. Apalagi jika alasannya sebatas tak kuasa dengan berbagai tantangan yang menghadang di depan mata. Seakan setiap benteng yang menjulang tinggi selalu sampai pada ujung langit tertinggi. “Terkadang aku lupa, bahwa benteng itu tak pernah sampai pada ujungnya, maka seharusnya aku bisa melewatinya dengan cara naik menggapai celahnya untuk kemudian terjun bebas memunggungi benteng tersebut“. Ya, sebuah teori yang sempurna bagi seseorang yang telah menggapai tujuannya, bukan?

Aku pernah merasa lelah dan ingin menyerah saja terhadap semua ambisi yang menjadi alasanku untuk terus maju. Bahkan, untuk sekadar membicarakannya saja menjadi sebuah kemalasan tersendiri untukku. Tidak bersemangat dan seperti hilang harapan.

Sesekali aku bertanya ulang pada diriku sendiri, “kenapa semua ini membuatku bosan? bukankah diriku sendiri yang berkata bahwa setiap perjuangan ini akan berbuah manis?”. Oh ya, mungkin tujuanku masih selalu berorientasi pada hasil yang manis, padahal faktanya sisi lain dari diriku sendiri pun tau bahwa yang menjadi tujuan dalam setiap misi adalah bukan seperti apa hasilnya nanti. Akan tetapi seperti apa cara yang kita gunakan dalam menjalani proses yang harus dilaluinya.

Apakah cara-cara yang kita gunakan telah sejalan dengan prosedur yang menjadi ketetapan-Nya atau justru cara yang kita gunakan bertentangan dengan norma yang seharusnya? Bahkan mungkin seharusnya kita bersikap “tak peduli” pada hasil. Karena, bukankah hasil itu adalah ranahnya Tuhan? Tugas kita hanya berikhtiar dan menerima segala ketetapan-Nya, bukan? Ya, kita memang harus lebih aware terhadap level usaha yang kita lakukan tanpa harus menuhankannya.

Picture: Pinterest

Lalu, bagaimana jika aku menyerah saja?

Menyerah karena merasa kehilangan banyak energi oleh berbagai hal yang bersifat abu-abu rasanya tidak cukup menjadi alasan untuk kita menyerah. Bahkan, seharusnya tidak pernah ada alasan untuk kita menyerah dalam menjalani sebuah kebaikan, apalagi jika misi kebaikan itu langsung terkoneksi dengan Tuhan.

“Memangnnya setelah kamu menyerah, kamu mau ngapain lagi? mau bangun pondasi mimpi baru lagi? bagaimana jika perjalanannya akan sama dengan hari ini? apakah kamu akan menyerah lagi dan kemudian membangun mimpi baru lagi? kamu nggak capek?”

Ya, tak apa jika kita merasa bosan, tak apa jika kita merasa ingin menyerah, hanya saja jangan sampai keinginan itu benar-benar mematikan langkah kita dalam menjalani sebuah misi kebaikan. Kita hanya sedang membutuhkan waktu untuk sejenak terdiam, beristirahat dari serangkaian perjalanan mengejar mimpi. Mungkin, selama perjalanan sampai sejauh ini kita sedang tersesat dari niatan lillahita’ala, sehingga itulah yang membuat kita merasa bosan dan ingin menyerah. Kita lupa menjaga niat yang suci.

Tak apa, kita tak perlu terlalu keras pada diri kita sendiri. Biarkan diri menunaikan haknya sejenak untuk berisitirahat. Sebentar saja. Sampai ia kembali siap untuk berjalan di jalan-Nya yang lurus, dalam rangka menunaikan sebuah misi kebaikan.

Tak apa, istirahatlah sejenak. Sejanak saja dan jangan lama-lama, karena misi itu tidak akan pernah selesai jika kita terlalu banyak mengistirahatkan diri.

Salam,

el

Makna dari Tn Frankl

Image

Hallo kawan, Assalamu’alaykum 🙂

By the way, apa kabarnya kamu hari ini (Upss, maksudnya
kalian) hehehe, semoga senantiasa berada dalam kondisi yang stabil yaa.

Oia, kali ini saya akan coba sharing bareng kalian tentang
salah satu tokoh Psikologi yang cukup fenomenal, apalagi buat kalian yang
mungkin udah khatam dengan semua teori Psikolog Kepribadian, udah bisa
dipastikan bahwa nama Bapak ini ga akan terdengar asing buat kalian (kecuali
kalo selama di dalem kelas kalian ngelamun kaya aku) hehehe, baru paham
teorinya pas tiba-tiba besoknya mau Exam, so mumpung masih nempel nih ga ada
salahnya donk kita bahas lagi bareng-bareng.

Mungkin diantara kalian, ada yang udah pernah denger atau baca
tentang kisah seorang Dokter muda di tahun 1942 yang kehilangan beberapa
orang-orang yang sangat dicintainya, mulai dari Ayah, Ibu, saudara laki-lakinya,
dan bahkan istri yang baru dinikahinya pun harus pergi meninggalkan beliau
dikarenakan mereka semua harus ditahan di kamp konsentrasi Bohemia pada zaman
Nazi. Ayahnya meninggal karena kelaparan, sedangkan Ibu dan saudaranya tewas di
Auschwitz pada tahun 1944, menyusul istrinya juga meninggal di tahun
berikutnya. Hanya saudara perempuannya yang selamat saat itu.

Kebayang kan, betapa sulit dan beratnya penderitaan yang
dihadapi oleh bapak dokter muda itu, lalu siapakah dia ? yaps dia adalah Viktor
Emil Frank, atau yang lebih dikenal dengan Viktor Frankl.

“tinggggg, ahaaa setelah membaca namanya udah kebayang kah
teori apa yang akan kita bahas ?”

Yapps Frankl adalah orang yang memperkenalkan salah satu teori
Psikologi yang dikenal dengan nama Logoterapi. “o..ooww” tapi meskipun Frankl
menciptakan sebuah teori yang disebut dengan Logoterapi, bukan berarti Frankl
melakukan proses terapi dengan sebuah Logo yaa, bukan loh. Justru teori dan
terapi Frankl ini lahir dari pengalamannya selama menjadi tawanan di kamp
konsentrasi Nazi. Yaps sangat perlu ditegaskan kembali, bahwa Frankl bisa
menciptakan sebuah teori berdasarkan pengalaman-pengalaman buruknya
(wahh..
luar biasa bukan)

Lalu, kenapa Frankl memberikan sebuah nama Logoterapi untuk
teorinya ? jadi gini guys, Frankl memberikan nama Logoterapi berdasarkan bahasa
Yunani, dalam bahasa Yunani Logos itu artinya pelajaran, kata, ruh, Tuhan,
atau makna.
Nah pengertian yang terakhirlah yang menjadi titik tekan bagi Frankl, yaitu
sebuah makna.

Berbeda dari Freud yang mempostulatkan kehendak terhadap
kesenangan sebagai sumber segala dorongan dalam diri manusia, dan Adler yang
mempostulatkan kehendak untuk berkuasa, justru Frankl dengan Logoterapinya
mempostulatkan kehendak untuk makna sebagai sumber utama motivasi manusia.

So, makna yang seperti apa aja yang Frankl maksud ?

Karena konsep utama dari Frankl adalah hati nurani, maka dalam
Logoterapi ini Frankl memberi 3 pendekatan utama dalam menemukan makna hidup.

Pertama adalah Nilai-nilai pengalaman, yaitu menemukan
makna hidup melalui berbagai pengalaman bersama orang atau hal-hal yang
berharga dalam hidup kita, misalnya ketika kita merasa bahagia karena hidup
kita dikelilingi oleh orang-orang yang kita cintai, kita jadi ngerasa punya
semangat yang menggebu-gebu karena kehadiran mereka dan peran-peran mereka
dalam hidup kita.

Kedua adalah Nilai-nilai Kreatif, yaitu menemukan
makna hidup dengan cara terlibat dalam sebuah proyek yang berharga bagi diri
kita, misalnya yang berhubungan dengan kreativitas mulai dari seni, music,
menulis, dan sebagainya. Biasanya mereka yang mudah menemukan makna hidup
dengan cara yang kedua ini adalah mereka yang memiliki ketertarikan pada sebuah
hal, entah hal itu hobi atau bukan, yang pasti mereka akan merasa nyaman bila
mereka melakukan hal-hal yang mereka sukai, yaa bisa dibilang semangat mereka
untuk mencapai masa depan mampu ke re-charge ketika mereka melakukan hal
tersebut.

Ketiga adalah Nilai-nilai attitudinal, yaitu cara menemukan makna hidup melalui berbagai
macam kebaikan, keberanian, bahkan kasih sayang.

Akan tetapi dari ketiga cara penemuan makna kehidupan diatas,
yang lebih sering dikemukakan oleh Frankl adalah penemuan makna kehidupan melalui
penderitaan
. Karena baginya, setiap penderitaan dan pengorbanan yang
kita lakukan akan selalu menyimpan makna-makna besar bagi kita dan makna
tersebut akan memberikan kekuatan yang besar pula pada kita untuk kembali
berani meraih setiap apa yang menjadi tujuan dalam hidup kita.

Apa diantara kalian ada yang merasa risih atau ga nyaman
dengan beban yang kalian rasakan saat ini ?

Mengeluh, menangis, marah, murung, atau blablablabla mungkin
memang hal yang manusiawi ketika kita dihadapkan pada sebuah kondisi yang sulit
yang membuat kita down, tapi ada hal yang akan menjadikan kita tampak special
dan berbeda dari orang lain ketika kita mampu menjadikan beban-beban dan
penderitaan tersebut menjadi sebuah sumber energy yang baik untuk kita berlari
menggapai cita dan segala mimpi-mimpi kita bukan ?

Nah mulai sekarang, akan lebih baik bila apa yang kita anggap
beban tersebut bisa kita jadikan sebagai sebuah makna hidup yang sangat berarti
bagi kita, menjadikan pelajaran yang berharga agar kita bisa menjadi seseorang
yang selangkah lebih maju.

Bukankah kata Allah dalam Al-Qur’an

sesungguhnya
bersama kesulitan itu ada kemudahan“
QS. Al
Insyirah : 6

Dan

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga,
padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu
sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta
digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan
orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan
Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.”
QS. Al-Baqarah : 214