Membiarkan pondasi-pondasi mimpi menjadi runtuh rasanya adalah sebuah keputusan yang tidak tepat dan terlihat menyedihkan. Apalagi jika alasannya sebatas tak kuasa dengan berbagai tantangan yang menghadang di depan mata. Seakan setiap benteng yang menjulang tinggi selalu sampai pada ujung langit tertinggi. “Terkadang aku lupa, bahwa benteng itu tak pernah sampai pada ujungnya, maka seharusnya aku bisa melewatinya dengan cara naik menggapai celahnya untuk kemudian terjun bebas memunggungi benteng tersebut“. Ya, sebuah teori yang sempurna bagi seseorang yang telah menggapai tujuannya, bukan?
Aku pernah merasa lelah dan ingin menyerah saja terhadap semua ambisi yang menjadi alasanku untuk terus maju. Bahkan, untuk sekadar membicarakannya saja menjadi sebuah kemalasan tersendiri untukku. Tidak bersemangat dan seperti hilang harapan.
Sesekali aku bertanya ulang pada diriku sendiri, “kenapa semua ini membuatku bosan? bukankah diriku sendiri yang berkata bahwa setiap perjuangan ini akan berbuah manis?”. Oh ya, mungkin tujuanku masih selalu berorientasi pada hasil yang manis, padahal faktanya sisi lain dari diriku sendiri pun tau bahwa yang menjadi tujuan dalam setiap misi adalah bukan seperti apa hasilnya nanti. Akan tetapi seperti apa cara yang kita gunakan dalam menjalani proses yang harus dilaluinya.
Apakah cara-cara yang kita gunakan telah sejalan dengan prosedur yang menjadi ketetapan-Nya atau justru cara yang kita gunakan bertentangan dengan norma yang seharusnya? Bahkan mungkin seharusnya kita bersikap “tak peduli” pada hasil. Karena, bukankah hasil itu adalah ranahnya Tuhan? Tugas kita hanya berikhtiar dan menerima segala ketetapan-Nya, bukan? Ya, kita memang harus lebih aware terhadap level usaha yang kita lakukan tanpa harus menuhankannya.
Lalu, bagaimana jika aku menyerah saja?
Menyerah karena merasa kehilangan banyak energi oleh berbagai hal yang bersifat abu-abu rasanya tidak cukup menjadi alasan untuk kita menyerah. Bahkan, seharusnya tidak pernah ada alasan untuk kita menyerah dalam menjalani sebuah kebaikan, apalagi jika misi kebaikan itu langsung terkoneksi dengan Tuhan.
“Memangnnya setelah kamu menyerah, kamu mau ngapain lagi? mau bangun pondasi mimpi baru lagi? bagaimana jika perjalanannya akan sama dengan hari ini? apakah kamu akan menyerah lagi dan kemudian membangun mimpi baru lagi? kamu nggak capek?”
Ya, tak apa jika kita merasa bosan, tak apa jika kita merasa ingin menyerah, hanya saja jangan sampai keinginan itu benar-benar mematikan langkah kita dalam menjalani sebuah misi kebaikan. Kita hanya sedang membutuhkan waktu untuk sejenak terdiam, beristirahat dari serangkaian perjalanan mengejar mimpi. Mungkin, selama perjalanan sampai sejauh ini kita sedang tersesat dari niatan lillahita’ala, sehingga itulah yang membuat kita merasa bosan dan ingin menyerah. Kita lupa menjaga niat yang suci.
Tak apa, kita tak perlu terlalu keras pada diri kita sendiri. Biarkan diri menunaikan haknya sejenak untuk berisitirahat. Sebentar saja. Sampai ia kembali siap untuk berjalan di jalan-Nya yang lurus, dalam rangka menunaikan sebuah misi kebaikan.
Tak apa, istirahatlah sejenak. Sejanak saja dan jangan lama-lama, karena misi itu tidak akan pernah selesai jika kita terlalu banyak mengistirahatkan diri.
Salam,
el