Sebab, Ketercapaian Bukanlah Satu-Satunya yang Terpenting di Dunia

novieocktavia:

Bersama sahabat-sahabat, saya memang terbiasa untuk berbagi mimpi. Seperti ketika seorang sahabat tiba-tiba bertanya, β€œNov, aku kangen dengar ceritamu soal Jerman. Masih ingin kesana, kan?” Dalam hati, banyak perasaan timbul susul-menyusul.

Tepat sejak mengenal bahasanya, saya jatuh cinta pada Jerman. Karenanya, saya pernah menghabiskan banyak waktu keluar-masuk Goethe Institute, mencari kemungkinan dimana saya bisa belajar dan tinggal, menelisik bagaimana kehidupan muslim disana, dan masih banyak lagi.

Sayangnya, tepat di tingkat akhir, saya mendapat kabar tentang perbedaan birokrasi dan jenjang perkuliahan disana. Panjang ceritanya, tapi intinya, gelar psikolog di Jerman baru bisa didapat setelah S3 sementara di Indonesia cukup S2, dan yang lebih membingungkan adalah ternyata disana hanya ada magister science padahal yang saya butuhkan untuk menjadi psikolog adalah magister profesi. Artinya, kalaupun saya memaksakan, saya tetap harus mengambil magister profesi lagi di Indonesia setelah pulang.

Dulu, sakit sekali rasanya ketika saya merasa Jerman semakin jauh dari Indonesia. Tapi sekarang, semua rasanya bukan masalah lagi, sebab, ternyata menghidupkan mimpi adalah perjalanan dimana saya bisa mengenal Allah dan diri saya sendiri. Dari titik inilah saya mulai memahami bahwa pusat kendali tidak pernah benar-benar ada pada tangan manusia. Manusia ada di ranah usaha sementara ranah hasil adalah mutlak milik-Nya.

Ketercapaian mimpi bukanlah satu-satunya yang paling penting di dunia. Guru saya pernah berpesan, β€œBukan tentang tercapai atau tidak tercapainya, tapi tentang bagaimana sikapmu ketika Allah takdirkan tercapai atau tidak tercapai. Apakah menjadikanmu semakin taat atau malah sebaliknya.” Ah ya, taat lebih penting dari semuanya!

Saya masih ingin belajar, entah di Bandung, Depok, Surabaya atau kota lain yang Allah kehendaki. Entah sebentar lagi, setelah menikah, atau beberapa tahun lagi. Rencana sekolah saya bisa saja batal, tapi, selama itu yang baik menurut-Nya, tak masalah! Selama tidak berjarak dengan ilmu, pembelajaran bisa dilakukan dimana saja melalui apa saja.

Bagaimana dengan Jerman? Ah yaaa, saya juga masih ingin terbang kesana. Entah untuk alasan apa, mungkin untuk Frankfurt Writing Fest beberapa tahun lagi, atau untuk alasan lain yang belum terbayangkan. Semoga Allah mengizinkan. Kalau tidak diizinkan, tidak masalah, saya tetap siap menerima kebaikan dari tempat yang lainnya.

Untuk teman-teman yang sedang berjuang, semangat ya! Pada akhirnya, selalu akan ada kebaikan Allah melalui apa saja. Tenang, fokus utama tetap bukan skor IELTS, LoA atau beasiswa, sebab taat adalah ujung tombaknya. Lepaskan mimpimu ke langit dan terbukalah pada setiap kemungkinan baik yang menyapamu di bumi. Semoga, atas apapun yang menjadi mimpi kita, kita tidak sampai hati untuk mengatur masa depan dan mendikte skenario-Nya πŸ˜‰

😘😘