Quote

jangan mengandalkan pada kemungkinan musuh tidak datang menyerang, tetapi pada kesiapan kita sendiri untuk menghadapinya; tidak pada peluang musuh tidak menyerang, tetapi pada fakta bahwa kita telah membuat posisi kita tidak terkalahkan.

penyakit ini akan sembuh tidak dengan sendirinya

meski kau selalu berdo’a tetapi aksimu tetap sama,

Do’a mu bukanlah apa2

penyakit ini hanya akan sembuh dengan iman dan ketaqwaan, dan kesungguhan di dalam hatimu

#PENAKLUK_SEJARAH #Edisi 02 Adana- Sketz : Rindu Para Pelangiku

-Rindu Para Pelangiku-
By. Sketz-Adana

Ah sudah lama rupanya tak menulis. Diri ini pun lupa dengan sendirinya bahwa sebenarnya juga perlu waktu untuk mengurus diri sendiri, bukan urusan dunia yang lain. Bahkan selalu menyempitkan waktu untuk berbincang dengan yang Maha SegalaNya.

Astaghfirullahaladzim..

Ditanggalanku sudah tersetting ini hari kedua puasa Ramadhan, tapi entahlah berbeda rasanya dengan Ramadhan sebelumnya. Walaupun ada terselip rasa bangga bisa menunaikan ibadah puasa dinegara orang, tapi sebenarnya sungguh hati ini ingin berada disamping keluarga.

Kawan, jika inginku ceritakan.
Selepas aku terjaga diluar kampung halamanku, Balikpapan 4 tahun yang lalu, keberadaanku dirumah jarang terlihat. Aku dipaksa untuk merantaukan diri ke pulau orang dengan satu tujuanku, mengejar ilmu. Bapakku bilang, “Uang itu bisa dicari. Bapak sekolahkan kamu jauh untuk bisa jadi anak yang sholehah, panutan untuk adek adekmu..” Ah air mata ini sudah dipelupuk rupanya tiap kali menuliskan nasihat bapak.

Awalnya aku masih belum bisa menerima keberadaan keluargaku yang terbatasi oleh pulau. Tidak jauh, hanya sebatas pulau. Namun nampaknya walau hanya terbataskan pulau, dirumah hanya bisa bersinggah 2 bulan dalam setahun.

Semenjak perantauanku, hari pertama puasa Ramadhan tidak diherankan namaku selalu absen dirumah. Sungguh, disetiap hari pertama puasa Ramadhan aku selalu merasa sendiri. Sahur sendiri, buka puasa sendiri, shalat teraweh pun sendiri. Ah tidak, selama satu bulan tidak begitu. Biasa ketika teman teman asramaku yang lain telah datang, sungguh kental rasanya nikmat Ramadhan. Dibangunin sahur pakai bel super nyaring, ngantri sahur dengan perut bersuarakan cacing, malas buat mandi, tidur seperti kekelawar, dan terakhir buka puasa bareng diluar. “Aku ikut shalat kloter kedua aja..” alasan yang dipake kalau lagi males buat shalat teraweh. Haha kenangan itu. Suasana dirumah dengan ditanah rantau berbeda kawan, walaupun masih satu negara.

Dirumah, 4 tahun sebelum perantauanku.
Sekitar jam 3 dibangunin ibu buat sahur, karena melihat makanan belum siap, biasa tidur lagi sambil nunggu diteriakin, “Nurul kalau mau sahur tinggal 20 menit lagi..” haha, Semenit sebelum imsak biasanya Bapak selalu nuangin air putih digelas besar buat anak anaknya, dan ibu biasanya bilang “Minum yang banyak biar bacaan Qur’annya banyak..”

Rumahku tidaklah terhitung jauh dari masjid, alhasil suara itu selalu terdengar.
“Sahur sahur … bapak bapak ibu ibu sahur tinggal 30 menit lagi..”
“Imsak 10 menit lagi.”
10 menit kemudian.
“Imsak telah habis, selamat menunaikan ibadah puasa..” Ngeeeenggg .. Ah sungguh suara suling peringatan berbunyi ‘Ngeeng’ itu pun ku rindukan saat ini.

“Nurul, Nisa, Nadila cepet ambil wudhu udah mau adzan tuuu. Nggak ada yang shalat dirumah.” Haha suara siapa lagi kalau bukan Ibuku. Karena kebiasaan itu membuat aku selalu ingat beliau, pelangi nilaku.

Selepas shalat shubuh, bapak dan ibuku rupanya memberikan contoh yang indah, membaca Qur’an sampai pagi. Haha rupanya kebiasaan para pelangiku belum sampai hati ku terapkan, ku baringkan diriku seraya bergumam, “Baca Qur’annya entar aja waktu shalat dhuha. Sekalian double halaman deh entar..”

Dzuhur, Ashar, Magrib.
Sebelum ke Magrib, diantara setelah Ashar dan mau magrib. Biasa dirumah…
“Yang mau beli makan siapa? Nurul, Nisa, atau Nadila?” Ibuku bertanya dengan mata yang selalu mengarah padaku atau adek terakhirku, Nadila. Buat jajanan buka, kami biasa milih untuk beli diluar.

“Kemarin udah aku yang beli..” Haha jawaban itu biasanya pelangi merahku yang mengeluarkan, Nadila.
Aku yang pasrah,
“Yaudah Dil kita beli berdua, kamu yang bawa motor.”
Dalam kondisi disini, sebenarnya aku yang aman, karena bagian Nisa biasanya disuruh masak nasi atau nuci piring haha.
“Siapa yang nyuci piring?”
“Aku tadi udah beli makanan..” Begitu suaraku. Dan jadilah bagian nuci piring seluruhnya tugas pelangi biruku, Nisa.
Pelangiku yang lain adalah pelangi jingga, bapakku. Warna jingga itu susah untuk didiskripsikan, beliau pun seperti itu. Bapakku tak pernah lelah walau puasa dan masih beraktifitas seperti biasa. Yang jarang atau bahkan tak pernah ku lihat, Bapak tak pernah absen berbuka puasa dan shalat di Masjid Sungguh beliau memberi contoh baik ke anak anaknya dengan caranya sendiri.

Namun detik ini, perantauanku bukan lagi berbataskan pulau, namun samudera.

Kalau tahun sebelumnya, masihlah merasakan puasa bareng keluarga, namun tahun ini benar benar aku tanpa ditemani mereka. Mereka bilang aku harus kuat, aku pun bisa kuat dengan kalimat itu. Para pelangiku bilang aku harus lebih kuat, mau dihinakan seperti apapun saat ini aku sudah lebih kuat.
Kemarin, tepat hari pertama puasa Ramadhan, sungguh kurindukan mereka, ku tangisi mereka dalam doaku. Ku ceritakan pada sang Maha Pengasih, bahwa diri ini rindu kehadiran mereka, diri ini rindu suara mereka, diri ini rindu omelan omelan mereka, diri ini rindu 4 tahun yang lalu yang bisa berada didekat mereka, para pelangiku, kebanggaanku.

Ku sadari, Ramadhan dinegara perantauanku taklah semeriah dikampung halamaku.

Suara bapak bapak yang memperingati habisnya imsak tak terdengar olehku.
Ketika ku langkahkan kaki keluar sejenak untuk menghirup udara pagi,
Bukannya menghormati, disini kafe kafe sudahlah dibukai.
Hanya dengan dibalut kain tipis, masihlah bisa ku lirik berapa orang yang bersarapan disana. Atau masihkah ada yang tidak mengetahui bahwa ini bulan berkah?

Mataku pun ternodai dipagi itu ketika seorang wanita dan pria bergandengan tangan.

Astaghfirullahaladzim.

Ah mungkin saja mereka sudah bersuami istri, pikir positifku.
Ah rupanya 17 jam itu waktu yang lumayan lama, sempat ku baringkan diri ini untuk beristirahat dari serangan sinar laptop. Dan tik tok.

20 menit sebelum berbuka, yang terlihat bukan es kelapa melainkan ayran. Bukan kolak namun çorba. Ah yasudahlah kan ku tunggu tahun depan untuk bisa menyantap habis es kelapa langgananku.

Karena kebanyakan wanita disini bermazhab Hanafi, kami pun tak dapat satu sama lain untuk saling mengimami, alhasil setengah jam sebelum adzan isya kami langkahkan ke masjid terdekat.

Saat itu sungguh aku terlihat paling berbeda dengan memakai seragam mukena untuk shalat. Seperti umumnya, diawali dengan shalat isya, 20 rakaat shalat terawih dan 3 rakaat witir. Dihari pertama aku sempat malu pada rakaat terakhir shalat witir, disaat yang lain kembali melakukan gerakan takbirratul ihram sebelum ruku’, aku sendiri yang mengubah posisi menjadi ruku’, dan dengan refleks ku kembalikan diri menegakkan tubuh. Tidak hanya itu, disaat yang lain membaca qunut dalam hati, aku pun sempat kebingungan apa yang harus aku baca.

Setelah shalat pun ku tunggui ceramah yang akan disampaikan, “ah tidak rupanya tidak ada.” Sampai jamaah kosong pun ceramah dari masjid itu tak terdengar. Yah perbedaan untuk kesekian kalinya kutemui.

Dalam perjalananku menuju asrama, ku coba cari langit yang bersinar, yang disebelahnya ada sang rembulan. Ah bangunan bangunan disekitarku sungguh menghalangiku. Pencarianku berakhir dengan terputarnya memori yang nyaris hilang.

Setahun silam, malam dimana aku berada dalam lintasan kota Istanbul. Tak terdengar suara takbiran yang menandakan esok adalah hari kemenangan. Saat itu diriku masih berkumpul dengan teman teman dari senegaraku, kami takbirkan sendiri di balkon paling atas asrama. Malam saat itu sungguhlah tak seramai negaraku yang dipenuhi dengan takbiran dan petasan. Ya yang dalam pikiranku saat itu, benarkah ini negara Islam?

Hampir genaplah sudah aku diperantauan yang tidak lagi berbataskan oleh pulau, namun negara. walau lebaran tahun ini kembali tak bisa bersalaman dengan orang tua, berharap setidaknya aroma idul fitri bisa kudapatkan dikotaku, Adana. Buat para pelangiku disana, kalian tak kan tergantikan oleh pelangi pelangi yang lain.

Like a Discussion – 2

sekali lagi, percakapan di sore ini bareng temen kantor yang sempet di perkenalkan di Part1 #percakapan #nasehat #perbedaan

ceeileeeeehhhh,

A : Pokonya aku pake ilmu Finance yg aku dapet dari 2 tahun S2 aku buat kehidupan aku sehari2 lisna, Alhamdulillah ilmu itu bermanfaat bgt buat aku, apalagi buat rancangan investasi pendidikan 2 anak aku di masa yg akan datang

B : Terus mba, apa yg harus aku lakukan dengan keuangan aku sekarang, karena kamu tau sendiri, kedepannya aku masih punya planning, kamu tau selesai S1 aku mau ngapain dan ngapain lagi, dan ngapain lagi.

A : kamu sama kaya aku dulu lisna, ambisi kamu besar, tapi klo gada tindakan dari kamu, kamu bisa mematikan ambisi kamu sendiri. aku dulu dari Palu sendirian dtg ke jkt, ke bdg cm buat ngedapetin yg namanya P****D***N ***T** 😀 (Takut dikira lebay klo di ketik lengkap, intinya masih seputar masa depan), nahhh makanya lisna, langkah pertama bgt yg bisa kamu lakukan sekarang juga adalah “Belajar” biar kamu bisa lulus dan dapetin tuh yang namanya gratisssssss 100% tapi kamu bisa nikmatin fasilitas terbaik sepuasnya. yang kedua “Investasi” kan uang yang kamu punya saat ini (Tapi yang berbasis syariah) buat rencana ke 3 kamu. intinya jangan sampe dana investasi kamu kepake buat rencana kedua kamu, MAKANYA kamu harus belajar lisna (sekali lagi dia bilang) biar kamu bisa lulus dan dapetin tuh yang namanya gratisssssss 100% tapi kamu bisa nikmatin fasilitas terbaik sepuasnya. yang ketiga sekaligus yang paling penting, yang paling wajib, (yang jadi urutan diatas langkah pertama sebenernya) adalah selalu tawakal atas segala usaha kamu.

B : (sekali lagi aku cuma bisa bungkam, makin menyadari soalnya aku teehhh, bahwa tidak ada ilmu yang tidak bermanfaat) oke mba, aku berusaha komitmen sama saran dari kamu. Bismillah

dan temen2 tau ngga apa yg dia katakan sambil dia ngelipet laptop nya, sebelum dia pamit pulang, karena kebetulan tadi jam udah nunjukin jam pulang kantor, dia cuma bilang :

“inget lisna, disaat kamu punya cita2 menjadi seorang ibu rumah tangga, seharusnya keinginan kamu buat sekolah setinggi mungkin itu harus semakin besar, karena kamu akan menjadi ibu rumah tangga yang membesarkan dan mendidik anak2 kamu kelak, pendidikan anak2 itu, tergantung orang tuanya”

Oleh-oleh dari Teh Pegy Melati Sukma

Faktanya, tadi siang ba’da dzuhur di tempat aku kerja di adakan kajian bulanan, tapi kali ini ada yang berbeda, karena Narasumbernya adalah “Teh Pegy Melati Sukma”

cung yg ga tau si teteh yang satu ini !!“ 😀

yapss dulu beliau pernah main sinetron Gerhana, yang kita kenal dia selalu bilang “puuusssyyiiiiiiing” hehe

Alhamdulillah, sebuah nikmat yang begitu besar, aku bisa denger kisah inspirasi dari beliau langsung, tatap muka, ngeliat wajahnya, denger suaranya, mendapatkan begitu banyak hikmah dari cerita yang beliau kisahkan kepada saya.

yang biasanya aku cuma bisa nongkrongin video kajiannya beliau lewat youtube atau twitter, ehh tapi tadi orangnya ada dihadapan aku langsung.

Alhamdulillah 😀

dan yang lebih bikin aku terkagum2 lagi, Masya Allah, Teh Pegy yang dulu benar2 berbeda dengan Teh Pegy yang sekarang

yaudahlah yaa, langsung ke intinya aja, biar ga lupa lagi, apa sih hasil kajian tadi siang bareng sama beliau.

“ada sebuah kalimat yang menggetarkan fikiran saya saat itu, saat beliau berkata : saya akan mewakafkan diri saya untuk Allah SWT

Bisa kebayang ga sih sama temen2 semua, apa faktor dibalik beliau berkata demikian ? memegang teguh komitmen demikian ?

Allahu Akbar, ternyata beliau melewati banyak cobaan yang maha dahsyat ditengah-tengah kesuksesan beliau saat itu.

beliau bilang, bahwa beliau sempat terkena penyakit yang tidak ada obatnya, beliau bilang bahwa semua bisnis beliau down tanpa beliau ketahui apa sebabnya, padahal beliau adalah seorang yang cerdas dalam segala system perusahaan, tapi seketika semuanya berubah, bahkan beliau bilang, beliau pernah terkena skizofrenia ringan.

dan taaaadiii, beliau berkata : “Hidayah itu tidak bisa ditunggu, tapi hidayah itu harus dijemput”

dan disinilah beliau meyakinkan, bahwa cobaan itu adalah tanda bahwa Allah SWT masih menyayanginya, mengetuk pintu hatinya untuk sejenak berdisukusi, berdialog dengan hati beliau dan dengan Allah SWT.

masih agak ada rasa yang “ga nyangka” di dalam hati saya, kalau beliau dulu adalah seorang Cum Laude S1 dan S2 di salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia.

masih ada rasa “ga nyangka” juga bahwa saat ini beliau telah berdiri dihadapan saya sbg insporator terbaik yang dimiliki negeri ini.

beliau juga berpesan kepada saya dan teman2, bahwa di dunia ini adalah sebatas fasilitas saja.

tergantung kita, mau menggunakan fasilitas itu dengan cara yang baik atau yang buruk.

beliau juga berpesan, bahwa kita harus selalu menyengajakan diri untuk mengenal hati kita 😀

Masya Allah 🙂 🙂 🙂 🙂

semoga, kajian dari teh pegy siang ini, ga cuma sekedar ngecas hati saya sesaat saja, tapi semoga bisa ngecas hati saya selamanya, biar saya bisa terus menggali, menggali, menggali, dan menggali lagi segala macam ilmu tentang ketaqwaan dan meng-implementasikan di dalam kehidupan saya. amin

oia, ada 1 lagi kalimat dari teh pegy yang sempat menampar saya lalu kemudian menyadarkan saya, saat teh pegy bilang : “usia berapa sudah akhil balig ? terus pada usia berapa sudah berhijab syar’i ? misalnya akhil balig usia 12 tahun, berhijab syari’i usia 25 tahun, terus 25 – 12 = 13, nah apakah sudah siap mempertanggung jawabkan kpd Allah SWT tentang 13 tahun kita tanpa hijab ?”

#plakk

semoga bermanfaat dan menjadi inspirasi untuk kita semua.

amminnn 😀

terima kasih teh pegy, atas kajiannya

semoga ilmunya semakin luas dan bermanfaat 😀