Suatu hari aku pernah berangkat ke tanah rantau seorang diri. Hal yang tak biasa aku lakukan apabila menggunakan kendaraan Bis sebagai transportasi yang mengantarkanku. Biasanya jika aku melakukan perjalanan sendirian, kereta atau travel akan selalu jadi pilihanku.
Alasannya simpel, hanya demi keamanan saja karena memang jika harus menggunakan Bis di malam hari, jarak dari terminal menuju rumah kost sangat kurang kondusif. Tapi malam itu aku harus bersabar sebab kuota train dan travel telah full booked semua, akhirnya satu-satunya pilihan adalah Bis Merah Putih.
Melihat kondisi tol saat itu sangat macet, aku pun menduga bahwa sepertinya akan tiba di Jakarta sekitar jam 12 malam. Akhirnya aku memutuskan untuk menghubungi satu rekanku yang memang saat itu posisinya sedang tinggal di kost, aku memintanya untuk menjemputku tepat di depan sebuah rumah sakit daerah Jakarta Selatan agar aku tidak perlu turun sampai di terminal.
Sadar bahwa saat itu aku merasakan kecemasan yang luar biasa akhirnya aku berkali-kali menelpon dan memastikan bahwa rekanku bisa menjemput sesuai permintaanku.
Singkatnya sekitar jam 00.13 WIB alhamdulillah aku tiba dan langsung menunggunya di tempat yang telah dijanjikan, namun qadarulloh setelah waktu berlalu 15 menit dari waktu tibaku, rekanku tak kunjung datang. Aku pun memutuskan untuk berjalan sendirian menuju rumah kost.
Bagaimana rasanya? Yang pasti semua yang aku lihat cukup mendukungku untuk merasakan ketakutan yang semakin kuat. Rasanya ingin berlari tapi takut dicurigai. Di jalan raya yang aku lalui, aku melihat kehidupan malam yang sebelumnya belum pernah ku lihat. Ramai oleh berbagai hal yang seharusnya tidak terjadi.
Puncak ketakutan itu terasa saat aku memasuki sebuah gang besar yang cukup sepi. Tiba-tiba ada seorang berpakaian hitam berjalan secepat kilat di hadapanku dan kemudian diikuti semerbak wangi bunga.
Tanpa henti aku semakin mempercepat langkah, tak peduli dengan apa yang aku rasa, tapi sejak saat itu dalam pikiranku sangat ramai dengan berbagai tanya yang saling beradu. Seperti sedang berkontemplasi.
Satu sisi aku mempertanyakan tentang sosok itu, mungkin angin. Sisi lain aku juga mempertanyakan tentang wangi yang aku cium, mungkin rumah yang dilewati memang mengoleksi beberapa bunga. Di sisi yang lain aku masih mempertanyakan keberadaan rekanku yang telah berjanji menjemput.
Semua tanya saling beradu seperti menuntutku untuk mendapatkan jawabannya, namun tiba-tiba semua itu runtuh dan terbantahkan ketika sebaris nasehat Ayah yang pernah terucap kembali melintas perlahan dalam pikiranku.
“libatkanlah Allah dalam setiap langkahmu, biar Dia yang membersamai perjalananmu”
Lalu, perjalananku malam itu? Sudahkah aku melibatkan Dia? Ketika aku merasa takut dengan segala sesuatu yang tidak pasti, aku berlindung dengan cara meminta pertolongan kepada manusia, bukan kepada Allah.
Aku meminta seorang teman untuk menjemputku agar bisa membersamai perjalananku. Mungkinkah Allah sedang marah padaku malam itu? Karena aku lebih memilih meminta kepada seorang manusia. Bahkan berkali-kali melalui sambungan telephone aku memastikan supaya dia tidak terlambat menjemputku.
Dan setelah semua kejadian itu, aku menyadari bahwa ternyata sejak perjalanan belum dimulai, aku sama sekali tidak melibatkan Allah di dalamnya. Aku tidak memohon pada-Nya supaya Dia melindungiku dalam perjalanan malam itu.
Sebagai manusia, seringnya kita meyakini bahwa hanya Allah Yang Maha Melindungi kita dari berbagai tindak kejahatan, dari berbagai rasa takut yang menghantui, juga dari berbagai hal yang bahkan kita sendiri tidak bisa melakukannya.
Namun semua keyakinan itu tidak pernah sungguh-sungguh kita implementasikan dalam kehidupan ini. Di saat ketakutan hadir dalam hati kita, kita menjadikan manusia sebagai tempat untuk meminta pertolongan. Seolah kita melupakan keyakinan, bahwa hanya Allah yang Maha Melindungi, bukan manusia.
Bahkan suatu hari seorang mentor pernah bercerita, bahwa Rasulullah SAW dalam melakukan semua aktivitasnya, dari mulai yang kecil sampai yang besar, selalu berdoa pada Allah, meminta supaya Allah melindungi beliau, menguatkan beliau, dan memberi kemampuan pada beliau agar bisa menyelesaikan semua urusannya.
Jika oleh manusia paling sempurna saja telah dicontohkan demikian, lantas kenapa kita masih meminta pada manusia?
***
Semoga semua yang sedang dan akan kita lakukan, kita melakukannya dengan cara selalu melibatkan Allah SWT di dalamnya.
Salam,
el