Jejak Anak Rantau 14: Melibatkan DIA (?)

Suatu hari aku pernah berangkat ke tanah rantau seorang diri. Hal yang tak biasa aku lakukan apabila menggunakan kendaraan Bis sebagai transportasi yang mengantarkanku. Biasanya jika aku melakukan perjalanan sendirian, kereta atau travel akan selalu jadi pilihanku.

Alasannya simpel, hanya demi keamanan saja karena memang jika harus menggunakan Bis di malam hari, jarak dari terminal menuju rumah kost sangat kurang kondusif. Tapi malam itu aku harus bersabar sebab kuota train dan travel telah full booked semua, akhirnya satu-satunya pilihan adalah Bis Merah Putih.

Melihat kondisi tol saat itu sangat macet, aku pun menduga bahwa sepertinya akan tiba di Jakarta sekitar jam 12 malam. Akhirnya aku memutuskan untuk menghubungi satu rekanku yang memang saat itu posisinya sedang tinggal di kost, aku memintanya untuk menjemputku tepat di depan sebuah rumah sakit daerah Jakarta Selatan agar aku tidak perlu turun sampai di terminal.

Sadar bahwa saat itu aku merasakan kecemasan yang luar biasa akhirnya aku berkali-kali menelpon dan memastikan bahwa rekanku bisa menjemput sesuai permintaanku.

Singkatnya sekitar jam 00.13 WIB alhamdulillah aku tiba dan langsung menunggunya di tempat yang telah dijanjikan, namun qadarulloh setelah waktu berlalu 15 menit dari waktu tibaku, rekanku tak kunjung datang. Aku pun memutuskan untuk berjalan sendirian menuju rumah kost.

Bagaimana rasanya? Yang pasti semua yang aku lihat cukup mendukungku untuk merasakan ketakutan yang semakin kuat. Rasanya ingin berlari tapi takut dicurigai. Di jalan raya yang aku lalui, aku melihat kehidupan malam yang sebelumnya belum pernah ku lihat. Ramai oleh berbagai hal yang seharusnya tidak terjadi.

Puncak ketakutan itu terasa saat aku memasuki sebuah gang besar yang cukup sepi. Tiba-tiba ada seorang berpakaian hitam berjalan secepat kilat di hadapanku dan kemudian diikuti semerbak wangi bunga.

Tanpa henti aku semakin mempercepat langkah, tak peduli dengan apa yang aku rasa, tapi sejak saat itu dalam pikiranku sangat ramai dengan berbagai tanya yang saling beradu. Seperti sedang berkontemplasi.

Satu sisi aku mempertanyakan tentang sosok itu, mungkin angin. Sisi lain aku juga mempertanyakan tentang wangi yang aku cium, mungkin rumah yang dilewati memang mengoleksi beberapa bunga. Di sisi yang lain aku masih mempertanyakan keberadaan rekanku yang telah berjanji menjemput.

Semua tanya saling beradu seperti menuntutku untuk mendapatkan jawabannya, namun tiba-tiba semua itu runtuh dan terbantahkan ketika sebaris nasehat Ayah yang pernah terucap kembali melintas perlahan dalam pikiranku.

“libatkanlah Allah dalam setiap langkahmu, biar Dia yang membersamai perjalananmu”

Lalu, perjalananku malam itu? Sudahkah aku melibatkan Dia? Ketika aku merasa takut dengan segala sesuatu yang tidak pasti, aku berlindung dengan cara meminta pertolongan kepada manusia, bukan kepada Allah.

Aku meminta seorang teman untuk menjemputku agar bisa membersamai perjalananku. Mungkinkah Allah sedang marah padaku malam itu? Karena aku lebih memilih meminta kepada seorang manusia. Bahkan berkali-kali melalui sambungan telephone aku memastikan supaya dia tidak terlambat menjemputku.

Dan setelah semua kejadian itu, aku menyadari bahwa ternyata sejak perjalanan belum dimulai, aku sama sekali tidak melibatkan Allah di dalamnya. Aku tidak memohon pada-Nya supaya Dia melindungiku dalam perjalanan malam itu.

Sebagai manusia, seringnya kita meyakini bahwa hanya Allah Yang Maha Melindungi kita dari berbagai tindak kejahatan, dari berbagai rasa takut yang menghantui, juga dari berbagai hal yang bahkan kita sendiri tidak bisa melakukannya.

Namun semua keyakinan itu tidak pernah sungguh-sungguh kita implementasikan dalam kehidupan ini. Di saat ketakutan hadir dalam hati kita, kita menjadikan manusia sebagai tempat untuk meminta pertolongan. Seolah kita melupakan keyakinan, bahwa hanya Allah yang Maha Melindungi, bukan manusia.

Bahkan suatu hari seorang mentor pernah bercerita, bahwa Rasulullah SAW dalam melakukan semua aktivitasnya, dari mulai yang kecil sampai yang besar, selalu berdoa pada Allah, meminta supaya Allah melindungi beliau, menguatkan beliau, dan memberi kemampuan pada beliau agar bisa menyelesaikan semua urusannya.

Jika oleh manusia paling sempurna saja telah dicontohkan demikian, lantas kenapa kita masih meminta pada manusia?

***

Semoga semua yang sedang dan akan kita lakukan, kita melakukannya dengan cara selalu melibatkan Allah SWT di dalamnya.

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #13: Menangkap Peluang

Sebagai individu yang hidup jauh dari keluarga, aku selalu mempertimbangkan untung rugi dalam pengambilan keputusan. Terutama untuk hal-hal yang berhubungan dengan finansial. Belajar bagaimana caranya supaya semua kewajiban terbayarkan tanpa harus mengeluarkan banyak uang, belajar bagaimana caranya supaya semua kebutuhan terpenuhi tanpa harus bersifat boros, juga belajar bagaimana caranya supaya semua keinginan bisa terkendali sebatas di dalam diri.

Salah satu momentum yang menguntungkan bagi seorang anak rantau yaitu ketika ada kawan yang berulang tahun, lalu ia bermaksud menunaikan bentuk syukurnya dengan cara membagikan free lunch untuk semua teman di kantor. Rasanya sangat bersyukur dan beruntung sekali karena hal itu menjadi sebuah peluang untuk berhemat seharga satu kali makan. Belum lagi jika ada kegiatan kajian bulanan ba’da dzuhur, sudah pasti semua peserta yang hadir tepat waktu akan mendapatkan free lunch.

Tapi suatu hari aku pernah terlambat hadir di majelis ilmu tersebut, sehingga akibatnya aku tidak mendapatkan free lunch seperti biasanya. Seorang kawan yang juga sama denganku pun berkata “tak apalah kita tidak mendapatkan sekotak nasi, kita kan memang mau ambil peluang mendapatkan ilmunya”

Jleb! Seketika pernyataan kawanku seperti menampar keras kedua pipiku. Ada rasa sakit yang bercampur malu. Kalimat itu berhasil membuatku bertanya pada diriku sendiri, sebenarnya peluang apa yang aku cari selama ini? Peluang yang hanya sebatas untuk memenuhi hawa nafsu saja? atau peluang yang memang dengan sungguh-sungguh aku cari untuk sampai menuju pada keridhoan-Nya?

Dan, ya memang! Ternyata selama ini mungkin yang aku cari dan berusaha dapatkan hanyalah peluang-peluang yang bersifat keduniawian saja tak pernah sampai pada ridho-Nya. Hanya sebatas untuk memenuhi hawa nafsu belaka. Jika selama ini aku mencari banyak energi untuk kebutuhan jasmaniku, maka ternyata aku masih mengabaikan kebutuhan rohaniku. Aku tak pernah sungguh-sungguh mencari peluang yang baik demi mendapatkan asupan gizi untuk jiwaku.

Padahal, di luar sana ketika aku melakukan suatu perjalanan, akan banyak ditemui peluang-peluang yang bisa mendekatkan hubunganku dengan sang pencipta. Peluang itu bukan hanya konsumsi yang bergizi untuk jiwaku saja, juga bukan hanya untuk mendatangkan pahala dari-Nya saja tetapi peluang itu juga bisa menjadi tools untuk meluluhkan hatiku, mendidik diriku agar bisa menjadi seorang manusia yang berempati tinggi.

Teman-teman pernah menemukan peluang-peluang yang sangat menguntungkan itu?

Seperti ketika kita berada dalam sebuah  commuter line yang sesak, kemudian kita melihat orang tua yang rintih. Bukankah itu bagian dari peluang yang kita maksud? Kita buang egoisme dengan berbagai alasan yang ada di dalam diri dengan cara memberinya kursi. Alasannya, tentu bukan hanya supaya bisa memuliakan dia yang lebih tua, tapi juga supaya kita bisa lebih mampu melatih rasa empati di dalam diri, juga sebagai sarana untuk mendidik diri.

Menebar senyum kepada mereka yang kita temui, menegur tetangga dengan bersikap ramah ketika kita lewat di depannya, duduk tanpa keluh dan fokus dalam sebuah majelis ilmu, atau memberi makan kucing liar dengan makanan yang layak. Lalu apa lagi? rasa-rasanya masih banyak peluang-peluang kebaikan yang kita abaikan begitu saja. Karena mungkin kita terlalu fokus mencari peluang yang sifatnya tak pernah sampai hingga ke langit.

Terkadang sebagai manusia kita tak pandai mengkategorikan peluang yang sebenarnya. Kita berpikir bahwa dengan memberikan sebagian rejeki yang dipunya dalam kondisi keuangan sangat minim adalah keputusan yang tidak tepat, alasannya karena takut dengan keuangan yang ada tidak cukup untuk bertahan hidup. Padahal itulah peluang yang sering kita abaikan, bukankah Allah lebih menyukai orang-orang yang bersedekah ketika kita sedang merasa sempit? dan bukankah memang Allah lah satu-satunya yang menjadi penjamin kehidupan kita sehingga hanya pada-Nya lah kita seharusnya menggantungkan harapan? Lalu kenapa kita harus mencemaskan segala sesuatu yang dengan jelas telah ada yang menanggungnya?

***

Teman-teman, selamat menangkap peluang-peluang terbaik dalam hidupmu. Semoga hari ini banyak peluang baik dari-Nya yang bisa kita ambil untuk dijadikan tools mendidik diri.

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #12: Mengukur Waktu

0024ce64d9372ec333081a0e5ff2a093

Picture: Pinterest

Semenjak aktivitasku di tanah rantau tak lagi hanya sekadar sibuk dengan pekerjaan kantor, aku mulai merasa bahwa hari-hariku semakin singkat. Semuanya terasa cepat berlalu kemudian berganti dengan hadirnya hal-hal baru yang tak terduga.

Seperti hari itu, ketika aku telah menginjak akhir semester I di masa perkuliahan. Waktu bagiku tak lagi hanya peluang, tapi ia juga seringnya menjadi sebuah tantangan, bahkan terkadang aku merasa lelah dan bersedih di buatnya.

Allah, kenapa udah pagi lagi? aku masih ingin terlelap tidur menikmati selimut hangat. Karena rasanya baru saja semalam aku merebahkan tubuh ini pasca agenda meeting di kantor yang tak kenal ampun. Tubuhku terasa rapuh.
Allah, kenapa udah hari sabtu lagi, materi kuliah minggu lalu belum optimal aku pahami dengan baik, dan hari ini aku harus mulai membuka jurnal baru. Sungguh otakku kaku.

Tanpa disadari waktu perlahan membuat aku menjadi seorang manusia yang penuh keluh. Alih-alih mensyukuri atas apa yang menjadi anugerah indah dari-Nya, aku malah memandangnya sebagai beban berat.

Allah, bolehkah minggu ini aku bolos kuliah? Karena semenjak perkuliahan ini, rutinitas mingguanku untuk pulang ke Bandung jadi terabaikan. Aku hampir tak pernah menikmati waktu akhir pekanku seperti dulu, bahkan waktuku untuk bertemu orang tua semakin tersita.
Allah, bolehkah aku mengabaikan tugas review jurnalku? Karena weekly report yang harus di submit besok masih belum selesai aku kerjakan.

Dan tanpa disadari pula, waktu pun membuatku menjadi seorang pemohon yang menginginkan untuk diringankan bebannya. Alih-alih memohon untuk dimampukan, aku malah merintih lirih ingin melepaskan beban-beban itu. Bahkan dari kalimat rintihan itu terkesan seperti sedang complain pada Allah.

“betapa nggak tau dirinya banget kamu, Nna! apa yang kamu lakukan? kamu seperti membantah dan menolak semua ketetapan-Nya”

Perlahan aku coba tata kembali apa yang menjadi tujuanku di awal. Apakah hanya untuk sekadar mengisi waktu luang yang Allah berikan padaku, atau untuk jadi manusia yang lebih berdaya dalam menjalankan ibadah pada-Nya?

Lalu kembali aku nikmati setiap perjalanan keseharianku. Langkah yang berjarak dari mulai gerbang kost sampai menuju kantor, dari mulai kantor sampai menuju ruang kelas perkuliahan, dari mulai ruang kelas perkuliahan sampai jarak yang tak terhingga.

Menyimak setiap persitiwa yang terlihat sepanjang perjalanan, setiap suara yang terdengar, juga setiap makna yang tersirat. Aku banyak menyaksikan bahwa di luar sana masih banyak orang-orang yang sedang berjuang dalam kondisi tersulitnya masing-masing, bahkan ada yang lebih sulit dariku. Tapi yang kulihat dari mereka, hanyalah syukur yang tak terukur.

Dan ternyata aku pun menyadari bahwa semuanya hanya tentang peran kita sebagai seorang manusia yang sedang belajar dalam sebuah ruang kelas kehidupan. Aku menjalani peranku dan mereka menjalani peran mereka masing-masing. Kadar kesulitannya memang tampak berbeda, tapi ada satu hal yang sama dan membuat semuanya menjadi aman ketika menjalani perannya masing-masing.

Dan satu hal yang sama itu adalah keyakinan diri kita pada Allah, sebagai satu-satunya Dzat yang Maha Menyayangi dengan segala kelemahan kita.

Karena memang tak pernah ada sesuatu hal yang apabila dikerjakan hanya terasa ringannya saja, begitu pula tak pernah ada sesuatu hal yang apabila dikerjakan hanya terasa beratnya saja. Karena setiap peran dalam kehidupan ini faktanya adalah sebuah bentuk peribadatan pada Allah yang kelak akan kita pertanggung jawabkan di hadapan-Nya.

“lantas, apakah kamu masih mau ngeluh? nyerah? dan menolak terhadap semua ketetapan-Nya?

Kalau iya, jadi apa donk yang akan menjadi saranamu dalam mencari perbekalan untuk nanti menghadap-Nya? Jika semua peranmu saja, kamu keluhkan keberadaannya”

Dan yaa, karena pada akhirnya aku hanya harus menjalani semua peranku dengan baik. Tanpa harus mengukur waktu dan mengeluhkannya yang kian cepat berlalu membawa tugas-tugas baru. Tanpa harus merintih lirih oleh sebab besarnya tugas yang harus di selesaikan.

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya”

QS. Al-Baqrah: 286

Cukup jalani saja dengan sungguh-sungguh. Nanti biar Allah yang bantu selesaikan.

Salam,

el.

Jejak Anak Rantau #11: Perempuan di Tanah Rantau

Haii, selamat datang di ruang belajarnya Lisna 🙂 dan Selamat membaca kembali kisahku di tanah rantau. Oya Happy International Women’s Day yaa. Semoga aku dan kalian para peremuan di seluruh dunia, Allah mampukan untuk menjadi perempuan-perempuan pembangun peradaban.

Bagaimana kabarmu hari ini? semoga senantiasa sehat selalu dan semoga kita semua bisa menjaga dengan sebaik-baiknya nikmat sehat yang telah Allah berikan dengan utuh kepada kita. Aamiin.

Baiklah, mau bercerita apa kita hari ini? emh, karena masih terasa atmosfer perayaan International Women’s Day, jadi aku ingin bercerita tentang para perempuan yang aku lihat di tanah rantau.

Kira-kira apa yang teman-teman bayangkan tentang para peremuan yang hidup di tengah kota Metropolitan? Perempuan dengan postur tubuh yang ideal, cekatan, yang jika berjalan langkah dan hentakan kakinya gesit, mereka berpakaian super rapih, lengkap dengan kemeja yang dipadu-padankan dengan blazer. Menenteng laptop atau beberapa dokumen, tak jarang bisa kita temukan mereka di coffee-shop saat jam makan siang, atau saat jam kerja ketika mereka sedang meeting atau berdiskusi dengan beberapa rekannya yang tak kalah mengagumkan. Bicaranya? cerdas dan bikin siapa saja yang mendengarnya berdecak kagum, bahkan mereka tampak seperti para eksekutif muda. Mendiskusikan berbagai macam proyek, dari mulai proyek sosial sampai proyek yang nilai keuntungannya bikin geleng-geleng kepala.

Belum habis kagumku dengan mereka, aku melihat pemandangan lain yang tak kalah keren ketika aku sedang menunggu lampu hijau pejalan kaki menyala. Di seberang sana tampak sekelompok perempuan berpakaian coklat dan biru mengatur laju kendaraan yang mulai padat di after office hours. Melambai-lambaikan tangan sebagai tanda pengaturan lalu lintas, semua pengendara patuh pada mereka yang seolah menguasai jalan. Meski kadang ada saja pengendara yang bandel, tapi yang kulihat mereka tetap sabar dan bahkan tak jarang mereka membantu para manula menyebrang jalan. Woahh, menjadi seorang Polwan memang keren.

Ada juga yang kulihat beberapa perempuan berlarian mengejar kereta, di bahunya ada tas berukuran besar yang terlihat berat. Mereka berlari seperti memburu waktu, di tangannya mereka pegang selembar kertas atau catatan kecil, seperti notes atau rangkuman hafalan beberapa materi. Wajahnya lelah tetapi mereka nikmati. Satu per satu perempuan-perempuan itu turun di stasiun yang paling dekat dengan kampus mereka. Yaps, dan mereka adalah mahasiswi tangguh yang selalu patuh mengejar pendidikan sebagai modal utama mencapai masa depan.

Oke, lalu ada apa lagi di sudut lain kota ini? adakah yang mengagumkan lagi? jawabannya, tentu ada dan yang ini menurutku sangat berbeda, penuh makna dan membuat auto deep into my self ketika aku pertama bertemu dengannya di dalam sebuah Bis Merah Putih tujuan Jakarta-Bandung.

Perempuan itu entah siapa namanya, dia jalan kaki beralaskan flat shoes karet berwarna hitam. Menggendong sebuah keranjang merah yang berisikan beberapa macam makanan ringan juga makanan berat, pakaiannya sangat santai hanya berkaos pendek longgar warna merah dengan bawahan celana selutut berwarna hitam. Dia tampak keluar masuk ke setiap Bis Merah Putih yang sedang parkir menunggu penumpang. Ditawarkannya berbagai aneka makanan yang ia bawa, suaranya nyaring seperti tidak pernah lelah, bahunya yang digunakan untuk menggendong keranjang terlihat kekar seperti menunjukan bahwa hidupnya keras. Raut wajahnya? ah ya, raut wajahnya teduh dan bersahaja, layaknya wajah seorang ibu yang penuh kasih dan sayang. Tibalah dia di samping tempat dudukku menawarkan barang dagangannya.

Belum sempat aku jawab tawarannya, tiba-tiba suasana teralihkan dengan hadirnya penumpang baru di dalam Bis. Seorang perempuan yang kelihatannya baru saja melahirkan seorang Bayi. Ia masuk ke dalam Bis bersama ayahnya, suaminya dan bayinya yang digendong. Perempuan itu masuk dalam keadaan lemah, beberapa penumpang lain tampak cemas dan mempertanyakan hal yang sama, “kenapa harus naik bis? kenapa ga cari kendaraan lain yang lebih nyaman untuk ibu dan bayinya?” dan ya, suasana pun menjadi panas ketika sang ibu masuk ke dalam Bis sambil merintih kesakitan sementara bayinya juga menangis keras.

Mengagumkannya, perempuan yang menawarkan dagangan tadi dengan sigap ia membantu mereka. Selayaknya seorang Bidan atau Dokter, ia menenangkan si ibu yang merintih kesakitan, ia berikan obat dan ia beri beberapa pijatan untuk menghilangkan rasa sakit. Tidak sampai di situ ia juga membantu menenangkan bayinya, bahkan ia juga mengajarkan si ibu bagaimana caranya memberi asi yang benar dan memperlakukan sang bayi agar dia tetap nyaman selama berada dalam Bis. Dan wow, seketika suasana kembali pulih, tak ada lagi kekhawatiran yang tampak dari para penumpang.

See! itulah perempuan mengagumkan lainnya yang aku temukan di tanah rantau. Darinya aku kembali diingatkan bahwa menjadi seorang perempuan yang baik dan berdaya itu ketika kita bisa memberikan kebermanfaatan tanpa memandang siapa kita dan apa profesi kita. Just do the best and you will get happiness. Karena pada akhirnya apalah artinya profesi kita, tahta kita apabila dengannya tidak ada kebermanfaatan yang bisa kita alirkan.

Nah teman-teman, semua kisah di atas tentu hanya sebagian dari penglihatanku saja. Faktanya, ada banyak kisah Perempuan di Tanah Rantau yang jauh lebih mengagumkan dari yang aku ceritakan.

Mereka yang berani terbang melintasi benua demi memulihkan rasa hausnya akan ilmu pengetahuan, mereka yang tetap tinggal di rumah demi memastikan bahwa amanah terbesar dalam hidupnya bisa tumbuh dan berkembang dengan baik menjadi tokoh-tokoh baru yang lebih berdaya, dan mereka yang setia menurunkan ego untuk tidak berjarak jauh dengan orang tua demi bakti padanya.

Mereka dan kita semua adalah perempuan-perempuan itu, perempuan yang bisa berdaya dengan apapun peran kita. Apapun profesi kita sebagai perempuan, selama itu baik, sudah seharusnya kita mengoptimalkan perannya. Karena dengan begitu, akan tersebar luaslah berbagai kebermanfaatan darinya.

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #10: Makan dengan (si)apa?

Suatu hari setelah jam kerja berakhir, beberapa kawan mengajakku untuk mampir di sebuah rumah makan tradisional daerah selatan Jakarta. Karena lokasinya cukup dekat dari kosanku, akhirnya aku menerima ajakan mereka. Dalam kendaraan kami banyak berdiskusi tentang kuliner atau jajanan tradisional yang sama-sama telah kami temukan selama tinggal di tanah rantau, maklum sebagai ARB alias Anak Rantau Baru, rasanya belum sempurna kalau belum mencicipi berbagai makanan khas. Mulai dari makanan ringan sampai makanan berat, mulai dari makanan yang harganya bersahabat sampai makanan yang harganya terasa sangat mencekik untuk sekelas anak kost seperti kami, dan kebetulan makan malam di hari itu bertepatan dengan momen awal bulan, kondisi ketika kantong anak kost sedang cukup tebal. hehe

Picture: Pinterest

Sesampainya di tempat makan tujuan, kami mulai memesan satu per satu menu sesuai dengan selera masing-masing. Makanan itu kami nikmati sambil haha-hihi bercerita ini dan itu, tanpa terasa waktu telah sampai pada pukul 21.00 WIB akhirnya kami menyudahi acara malam itu.

Masih dengan suasana yang ceria, salah seorang kawan memanggil waiters dengan maskud meminta bill, namun alangkah terkejutnya ketika kami semua melihat grand total harga yang harus kami bayar.

Seketika hening dan semua mata saling menatap, seolah saling melempar tanya, kemudian tersirat dalam hati beberapa kalimat sanggahan. “what? harga yang sangat mahal untuk ukuran makanan tradisional”. Tanpa basa-basi akhirnya kami membayar semua makanan tersebut lalu keluar resto dengan suara saling berbisik.

“idenya siapa nih makan disini”

“gila, emangnya lo ga browsing harganya dulu”

“mending gue makan nasi uduk kelurahan deh”

“ya elah, mumpung awal bulan mah gapapa kali makan mewah”

dan seterusnya dan seterusnya.

Sementara aku mengamini pendapat seorang teman, mumpung ada uang kenapa tidak. Mumpung ada kesempatan udah bisa merasakan makan enak kenapa harus ditutup dengan penyesalan.

Namun ternyata pendapat yang aku anggap benar itu tidak bertahan lama. Loh kenapa? tiba-tiba aku menyesal telah mengeluarkan uang sekali pakai yang seharusnya bisa aku pergunakan untuk makan satu minggu.

Semuanya pecah ketika aku dan seorang teman sedang menunggu taxi untuk pulang, bukannya taxi yang lewat di hadapan kami tetapi malah seorang kakek dengan jalan terbungkuk perlahan melintas tepat di hadapan kami.

Dari penampilannya terlihat seperti berusia sekitar 70 tahunan, memakai baju berwarna putih dan celana abu-abu. Beliau berjalan perlahan dengan membawa tongkat yang bagian atasnya ditempel sebuah papan selebar kertas HVS. Papan itu bertuliskan “terima jasa pijat refleksi”.

Jakarta malam itu memang sangat ramai, tapi siapa yang mau menggunakan jasanya di malam itu ketika sebagian orang lebih memilih pergi ke salon untuk mendapatkan pelayanan pijat refleksi yang lebih baik.

Seketika aku dan temanku kembali bertatapan, taxi yang kami tunggu-tunggu pun dibiarkan berlalu begitu saja saat kami mendengar kakek tersebut menawarkan jasanya kepada seorang tukang parkir.

“Mas monggo mau saya pijat, barangkali lelah sudah bekerja menjaga banyak kendaraan di sini, harganya terserah mas saja, yang penting saya bisa pulang membawa bahan makanan”

Jleb! Tapi bapak parkir tersebut menolak jasanya. Dengan langkah kaki yang berat dan tertatih sang kakek pun melanjutkan perjalanan dengan sandal jepit merah yang telah tipis.

Aku, rasanya seperti malu karena tidak bisa berbuat apa-apa. Aku, rasanya seperti bodoh karena yang kulihat selama ini dari kota ini hanyalah sisi kehidupan yang penuh tahta. Dan aku, rasanya seperti angkuh, karena yang aku pikirkan selama ini hanyalah tentang bagaimana caranya supaya aku sendiri bisa survive di kota ini. Tanpa melihat orang lain apalagi peduli.

Padahal jika sebentar saja aku bersedia melirik sisi lain dari kota metropolitan ini, akan banyak aku temukan kehidupan dengan strata sosial yang kurang mampu. Bukan hanya kakek yang menawarkan jasanya hingga larut malam hanya supaya bisa pulang membawa bahan makanan, tetapi juga ada sekelompok adik-adik yang mengorbankan pendidikannya demi berbakti kepada orang tua, mengamen atau berdagang di pinggiran lampu merah agar bisa turut bertanggung jawab terhadap masalah ekonomi keluarga.

Perjalanan malam itu sungguh-sungguh membuka kesadaranku, bahwa di sekitarku masih banyak orang-orang yang belum utuh mendapatkan haknya. Adik-adik yang seharusnya fokus menikmati bangku pendidikan, para lansia yang seharusnya tinggal menikmati masa tua tanpa harus bekerja keras, mereka korbankan semua itu dengan satu alasan yang sama.

“jangankan untuk sekolah Ka, untuk makan aja susah”

“kalau saya ndak begini, siapa yang mau bayar kontrakan mba, dari penghasilan ini saja hanya cukup untuk makan saya dan istri”

Ya Allah, bertambahlah penyesalanku mendengar semua kalimat itu. Tiba-tiba teringat semua keluh yang pernah terucap karena sering merasa kesal tidak pernah menemukan makanan seenak masakan Mamah di rumah. Selalu ingin beli yang mahal dengan alasan supaya terjaga kebersihan makanannya, supaya terjamin rasa enaknya, dan alasan-alasan lainnya yang aku ciptakan sendiri demi memenuhi egoku.

Terkadang aku selalu merasa bahwa setiap keputusan dan pendapatku adalah benar. Aku menolak berbagai argumen atau masukan yang meluruskan kesalahanku. Tetapi saat aku dihadapkan pada sebuah kenyataan yang bisa aku lihat sendiri kebenarannya, semua egoku runtuh dan aku merasa menjadi orang paling angkuh.

Itulah hari ketika untuk pertama kalinya aku belajar bahwa hidup ini tak pernah ada artinya bila aku tak berdaya guna apapun untuk lingkungan sekitarku.

“kalau kamu ga bisa berbagi makanan buat orang-orang di lampu merah sana, minimal kamu bisa berbagi makanan dengan kucing yang mengeong di bawah kakimu saat kamu lagi makan di warteg. Karena dengan begitu, artinya kamu udah jadi manusia yang berguna”

-someone I hate so much-

Salam,

el