Jejak Anak Rantau #44: Mindset, Oleh-oleh Leadership Training

Jum’at minggu lalu, alhamdulillah aku mendapatkan kesempatan untuk mengikuti kegiatan Leadership Training yang diselenggarakan oleh organisasi keagamaan di tempat aku bekerja. Acaranya berlangsung selama 2D1N di wilayah Bogor, Jawa Barat.

Pada kegiatan tersebut ada banyak materi yang diberikan kepada seluruh peserta sebagai pembekalan bagi para calon kader-kader kepemimpinan di masa mendatang, salah satu materi yang disajikannya yaitu soal mindset atau yang lebih dikenal dengan pola pikir.

Kira-kira, apa yang terlintas di benak teman-teman ketika mendengar atau membaca kata “mindset“? Kalau aku, pikiran dan persepsiku ketika mendengar atau membaca tentangnya seketika langsung mengarah pada pemahaman kita dalam memandang atau menilai segala sesuatu.

Ya, benar. Rasanya mindset yang aku maksud cukup berhubungan dengan pembahasan Jera’s Project ke 42 yang bisa teman-teman baca di sini. Tapi pada chapter ini, aku hanya akan membahas soal mindset berdasarkan pengetahuan yang telah aku dapatkan selama mengikuti Leadership Training minggu lalu. So, let’s begin..

Dreamlike and Moody Landscape Photography by Zach Doehler.jpg

Picture: Pinterest

Bapak Muhsinin Fauzi, seorang pengisi materi di hari pertama training menjelaskan bahwa ada banyak faktor yang bisa mempengaruhi mindset kita, faktor tersebut di antaranya yaitu informasi, ilmu, ideologi, budaya, latar belakang, hingga nilai pribadi dalam diri kita yang terkadang tidak bisa terukur objektivitasnya pun bisa mempengaruhi mindest kita.

Jadi, baik buruknya mindest yang kita miliki sangat bergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Contoh, dari faktor yang pertama yaitu informasi. Jika seorang individu mendapatkan informasi yang baik tentang suatu hal, maka mindset yang hadir adalah mindset yang baik, tetapi jika informasi yang individu terima adalah informasi yang buruk, maka mindset yang hadir pun akan menjadi buruk.

Hmm, kira-kira menurut teman-teman bagaimana kondisi informasi yang teman-teman terima saat ini? sudah baik? atau justru malah banyak informasi yang mengandung hoax?

Sebagai seorang manusia yang diberi akal untuk berpikir, sudah semestinya bagi kita untuk bisa menerapkan filter dalam diri terhadap berbagai informasi yang mengelilingi kita. Karena jika sistem filter tersebut telah tertanam baik dalam diri kita, maka faktor yang pertama di atas tidak akan lagi menjadi sebuah faktor utama yang mempengaruhi mindset kita. Itulah mengapa ada pihak yang tetap memiliki mindset baik meskipun informasi yang diterima adalah informasi yang buruk.

Kita coba cek yuk, sudahkah kita memiliki filter yang baik untuk memproses informasi yang masuk dalam diri kita?

Kasus yang mudah ditemukan dalam pembentukan mindset sendiri biasanya terjadi ketika kita melakukan penjelajahan pada media sosial seperti Instagram. Di dalamnya, akan banyak ditemukan ragam cerita kehidupan dari mulai orang-orang yang kita kenal sampai yang tidak kita kenal. Hampir semuanya membagikan momen, aktivitas, kebahagiaan sampai kesedihan ke dalam sebuah mini story.

Tak jarang, dari apa yang kita lihat otomatis merangsang otak kita untuk berpersepsi tentangnya. Menganggap apa yang tersaji di depan matanya sebagai informasi yang faktual. Contohnya ketika kita melihat sebuah akun memberitakan seorang anak mendurhakai orang tuanya, lantas kita percaya dengan berita tersebut. Kemudian tanpa memastikan kebenarannya lagi, dengan lantang kita menghakiminya. Sehingga sampailah mindset yang tertanam di otak kita tentang anak tersebut sebagai anak yang durhaka.

Padahal, jika kita bersedia memberikan sedikit saja ruang bagi otak kita untuk kembali mencari kebenarannya, mungkin akan ditemukan fakta yang berbeda bahwa video yang dilihat sebelumnya adalah sebuah iklan yang sengaja dibuat dengan maksud ingin menyampaikan pesan moral kepada seluruh anak agar mereka lebih menghargai dan menyayangi orang tuanya.

Begitu pun dengan ragam informasi lainnya yang tersaji pada layar segenggaman tangan kita. Apa yang kita lihat, apa yang kita persepsikan, akan selalu menentukan mindset seperti apa yang akan tercipta. Oleh karenanya, akan lebih baik apabila sebelum mempersepsikan segala hal, kita aktifkan terlebih dulu tombol filter yang ada dalam diri kita.

Karena, bukankah persepsi yang kita tunjukan akan selalu mencerminkan siapa dan bagaimana diri kita?

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #43: Memungut Pahala

Sore hari menjelang maghrib aku berjalan keluar kantor menuju stasiun terdekat MRT untuk kembali pulang ke kosan. Sore itu, berbeda dari sore hari sebelumnya, jika biasanya aku memilih pulang selepas maghrib, tetapi hari itu aku bertekad pulang lebih cepat karena ada satu dan lain hal yang ingin aku selesaikan.

Ternyata pulang kantor pada jam tersebut sangatlah ramai. Awalnya aku mengira bahwa jalanan akan sepi dari para pejalan kaki karena mungkin orang pada umumnya akan memilih pulang setelah maghrib sambil menunggu kemacetan jalanan ibu kota kembali terurai. Tetapi ternyata tidak.

Sambil mempercepat langkah kaki, aku kembali menikmati jalanan ibu kota menjelang hadirnya senja. Warna langit kemerahan yang dibalut polusi asap kendaraan pun turut membersamai langkahku. Aku melihat ada yang berjalan, ada yang berfoto di trotoar, ada yang bersepedah, ada yang bermain scooter, pun ada yang duduk-duduk santai di beberapa bangku pinggir jalan.

Tapi, dari sekian banyak aktivitas yang mereka lakukan pada sore hari itu, ada satu momen yang cukup menarik perhatianku. Bahkan momen itu sempat membuat langkahku terhenti sejenak sebelum pada akhirnya aku berlari. Apakah itu?

Ketika langkahku baru sampai di depan IFI (Institut Francais Indonesia), aku melihat seorang perempuan dengan pakaian olah raga berlari-lari kecil menyalip arah langkahku, ia berhenti dari lari-lari kecilnya kemudian membungkuk dan memungut sebuah kantong plastik putih yang tercecer di tanah. Tanpa pikir panjang kembali ia lanjutkan aktivitasnya, berlari-lari kecil di sepanjang trotoar.

Sambil terus memperhatikannya, aku berpikir apa yang ingin ia lakukan dengan kantong plastik tersebut. Sambil terus memikirkannya, aku pun mempercepat langkah mencoba menyelaraskan langkahku dengannya dengan harapan bisa mendapatkan jawaban atas rasa penasaranku terhadapnya. “Ga mungkin kan, dia mungutin sampah”, ucapku dalam hati.

Sepanjang penglihatanku memperhatikannya, ada banyak praduga yang hadir dan terlintas dalam pikiranku. Mungkin, dia membutuhkan kantong plastik itu untuk kebutuhan yang mendesak, sehingga yang ada di tanah pun tak apa ia ambil. Atau mungkin tanpa sepengetahuanku sebelumnya, kantong plastik itu memang miliknya yang jatuh ke tanah kemudian ia ambil kembali. Atau mungkin, ada kemungkinan-kemungkinan lainnya.

Akan tetapi, nyatanya semua praduga yang muncul dalam pikiranku adalah sebuah kesalahan. Dan rupanya benar bahwa yang ia lakukan adalah sikap yang seharusnya sama-sama kita ikuti. Kembali ia mengambil sampah yang tercecer dihadapannya. Setiap kali ia berjalan dan dihadapannya ditemukan sampah tak bertuan, ia ambil dan dimasukannya ke dalam tong sampah yang tak jauh dari pintu masuk stasiun MRT.

Ya, ternyata pradugaku salah. Dan aku kembali belajar darinya, bahwa untuk menjadi seorang yang menjaga alam semesta bisa dimulai dari hal-hal kecil seperti yang dilakukanya. Memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan merealisasikannya melalui perubahan kecil, yang kemudian dampaknya akan terasa besar dan luas.

Kembali aku berpikir, mungkin, jika setiap diri memiliki tanggung jawab seperti mereka yang peduli terhadap lingkungan, tak akan ada lagi kasus-kasus kebakaran hutan seperti yang saat ini sedang melanda negeri ini. Mungkin alam semesta akan selalu mendapatkan haknya untuk tetap lestari dengan baik.

Dan tentang sikap mereka, seperti merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Bukan hanya kelestarian alam yang mereka dapatkan, namun rahmat Tuhan dan pahala dari-Nya akan terus mengalir kepadanya, bukan?

Semoga, kita semua mampu menjadi changes agent untuk setiap kebaikan, sekecil apapun kebaikan itu.

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #42: Nikmat Terbesar Seorang Manusia

Suatu siang dalam sebuah majelis ilmu di wilayah selatan Jakarta, aku bersama seorang teman duduk menenangkan diri dari berbagai rutinitas yang terkadang membuatku bosan. Dalam sebuah forum itu, seorang guru mengatakan tentang suatu hal yang baru aku ketahuin sepanjang hidupku.

“Hadirin semua tau, apa nikmat terbesar dalam hidup ini bagi seorang manusia?”

Masing-masing individu bergumam dengan jawabannya, ada yang mengatakan nikmat sehat, ada yang mengatakan nikmat iman, ada yang mengatakan nikmat islam, ada yang mengatakan nikmat memiliki orang tua yang masih hidup, dan aku termasuk orang yang mengaminkan bahwa nikmat sehat lahir dan batin adalah nikmat terbesar dalam hidupku.

Namun taukah kawan, apa yang beliau katakan? bahwa semua jawaban yang khalayak utarakan tidak ada yang tepat, karena:

“Nikmat terbesar seorang manusia adalah ketika ia dianugerahi pemahaman yang baik oleh Allah SWT”

Hmm. Aku sempat bingung dan tidak mengerti, pemahaman seperti apa yang beliau maksud? Pada awalnya aku berpikir bahwa pemahaman bisa dilatih dengan kita belajar secara konsisten. Tapi, ternyata pemahaman pun adalah sebuah anugerah yang DIA berikan kepada hamba pilihan-Nya.

Picture: Pinterest

Ketika dua orang dihadapkan pada suatu kondisi yang sama, maka pemahamanlah yang membedakan dua orang tersebut untuk meresponnya.

Setelah menerima penjelasa tersebut, rasanya pertanyaan terbesar dalam hidupku terjawab sudah dengan sempurna. Tentang, kenapa ada orang yang terlihat ceria ketika divonis sebuah penyakit, kenapa ada orang yang masih bisa survive ketika batal menikah dengan pria yang dicintainya, dan tentang berbagai pengalaman pahit yang dimiliki oleh pihak tertentu tetapi mereka masih bisa melanjutkan hidup.

Sementara jika aku bercermin pada diriku sendiri, membayangkan bagaimana jika aku berada pada posisi mereka, mungkin aku akan menyerah, mungkin aku tidak bisa survive, dan mungkin aku akan banyak mengadukan ketidak berdayaanku pada-Nya, memohon agar DIA meringankan bebanku dan melepaskan semua penyebab keluh kesahku.

Hmm, dan ya. Lagi-lagi, semua itu karena “pemahaman” dalam diri kita sendiri.

Seseorang bisa dikatakan memiliki nikmat “pemahaman” yang baik ketika dia mampu merespon berbagai kondisi dalam hidupnya dengan respon yang baik. Respon yang senantiasa mengalirkan energi positif ke dalam dirinya sendiri, dan menganggap bahwa setiap kejadian yang telah dialaminya adalah sebentuk kasih sayang dari-Nya.

“Karena pemahaman adalah akar dari lahirnya keburukan dan kebaikan, karena semakin tajam pemahaman seseorang dalam membaca hakikat kehidupan, maka semakin berkualitas kehidupannya”

– – – – –

Sumber: Terinspirasi dari kajian bersama Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri, Masjid Nurul Iman, Blok M.

– – – – –

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #41: Untuk Apa Membenci?

“Untuk apa membenci, jika kebencian itu hanya akan mengikis pahala kebaikan yang telah kita kumpulkan dengan susah payah?”

Begitu kira-kira sebaris kalimat yang aku temukan dalam sebuah postingan milik seorang teman di Instagram. Seolah kalimat itu tepat menyapaku hari ini yang sedang lelah terjerumus dalam putaran kebencian. Mencari jalan keluar untuk sekadar memulihkan rasanya sulit.

Sebagai seorang individu yang hidup dan tak bisa lepas dari ranah sosial, tentunya aku dan kalian selalu bertemu dengan ragam karakter yang berbeda. Tak jarang keberagaman itu hadir sepaket dengan kesan yang perlu kita rasakan juga.

Ada kesan senang, canggung, biasa saja, sampai kesan rasa tidak suka atau tidak nyaman yang mungkin berujung pada kebencian. Biasanya, apa yang kemudian teman-teman lakukan bila sudah berujung demikian?

Menghindar dari sumber yang membuat kita merasa tidak nyaman adalah salah satu solusi, tapi bagaimana jika ternyata sumber yang membuat kita merasa tidak nyaman tersebut adalah suatu sumber yang merupakan sebuah keharusan bagi kita untuk berinteraksi dengannya? rasanya menghindar bukanlah menjadi solusi lagi.

Membiarkan diri kita terus berlarut dalam kebencian terhadapnya pun bukanlah pilihan yang baik, justru hal itu haruslah kita hindari, karena, bagaimana mungkin kita membiarkan diri sendiri tersakiti dengan kebencian dan rasa tidak nyaman yang kita rasakan, bukan? dan bagaimana mungkin juga kita membiarkan kebencian hadir di antara interaksi yang kita lakukan dengannya?

snareymonster

Picture: Pinterest

Maka, mungkin saat ini, bagiku dan kalian semua yang sedang terjebak dalam putaran kebencian serta rasa tidak nyaman lainnya, tiada jalan dan solusi lain selain dari mencoba memaafkan, dan berdamai dengannya. Mengapresiasi diri atas ketangguhannya menurunkan ego seraya berkata “tak apa, kamu akan selalu menjadi lebih baik, saat ini dan nanti tentu akan berbeda, berbeda karena kamu akan menjadi lebih baik di antara yang terbaik”.

Lalu, bagaimana dengan statement tentang forgiven but not forgotten?

Untukmu yang sedang kubenci, 

tenang, dan tak perlu khawatir

kini aku hanya sedang berdialog dengan-Nya, memohon petunjuk-Nya, agar DIA dengan kasih sayang-Nya senantiasa menghujaniku kekuatan hingga aku bisa survive dalam memaafkanmu dan memeluk ingatan-ingatan buruk tanpa merasakan kebencian dan rasa yang tak nyaman lagi.

Ya, kita hanya perlu mengatakan pada diri kita sendiri, bahwa setiap perjalanan kehidupan, adalah suatu jejak dalam mencari pahala untuk perbekalan kehidupan berikutnya. Maka, ikatlah pahala yang telah kita miliki dengan kasih dan sayang, agar pahala itu, tidak hilang terkikis oleh kebencian yang kita rasakan.

Maafkanlah, berdamailah, dan biarkan memori ingatan kita memeluk seluruh pengalaman buruk yang pernah hadir. Setelah itu, berbahagialah!

“only if I am happy with my self, it is easy to feel happy with those around me. May you become your own biggest fan”

-Haemin Sunim-

 

Salam,

el