Entah sudah berapa kali saya merasakan hal yang sangat berat ketika saya harus kembali ke tanah rantau dan meninggalkan kampung halaman, apalagi masih dalam nuansa awal Ramadhan, sekilas terbayang betapa beruntungnya ade yang masih tinggal serumah dengan mamah dan ayah, masih bisa merasakan moment Ramadhan setiap hari dengan mereka, namun terkadang dilain sisi pun saya menyadari, bahwa apa yang harus saya jalani hari ini adalah sebuah hikmah yang besar yang akan membentuk diri saya menjadi seseorang yang lebih baik jika saya mampu melaluinya, memainkan peran saya sebagai anak rantau.
Mungkin bagi sebagi orang ada yang memandang bahwa jarak Jakarta Bandung ga sejauh jarak antara Berlin dan juga Bandung, namun tentu ini bukan soal jarak, karena sedekat dan sejauh apapun seorang anak terpisah dengan kedua orang tuanya, maka disitulah mulai hadir rasa rindu yang entah sebesar apa jika harus dinyatakan dalam satuan berat.
Lima tahun bagi sebagian orang mungkin waktu yang cukup lama untuk menumbuhkan pengalaman yang bisa memberikan sebuah pelajaran yang berarti bagi siapa saja yang menjalaninya, dan jika melihat berdasarkan teori pun mingkin seseorang yang telah berprofesi dengan pengalaman selama 5 tahun telah mengantarkan dirinya menjadi seseorang yang “hampir expert”. Hal itulah yang sejak dulu saya dan beberapa teman saya tanamkan dalam hati masing-masing, “ntar juga biasa ko lama ga ketemu dan lama ga pulang ke rumah”
Tapi pada kenyataannya teori itu runtuh setiap kali aku kembali pulang ke rumah dan harus berangkat lagi menuju tanah rantau. Tiba-tiba pengalaman yang selama ini saya dapatkan selama lebih dari 5 tahun seperti gak berbekas dalam diri saya, saya seperti anak baru yang akan pergi ke tanah rantau untuk pertama kalinya. “Agak ada drama, cengeng, males-malesan, bahkan ayah sampai selalu mengantarkan hingga kereta saya benar-benar melaju”
Hingga hari dimana saya menikmati perjalanan kembali dari kampung halaman menuju tanah rantau, disitulah kemudian berbagai hal serba muncul tiba-tiba dalam fikiran saya. Seolah-olah perjalanan 3,5 jam Bandung-Jakarta dengan kereta, menjadi ajang bagi saya untuk berfikir sepanjang perjalanan.
“Lantas sampai kapan saya harus terus seperti ini, padahal ini bukanlah hal baru bagi saya?”
Semakin jauh perjalanan yang saya lakukan, semakin menyadarkan diri saya, bahwa apapun yang saya miliki, tentu akan hilang dan terganti dengan hal-hal baru baik yang kita sukai atau tidak sukai.
Semakin jauh perjalanan yang saya lakukan, semakin menyadarkan saya bahwa ini bukanlah perpisahan, bahwa rindu itu akan selalu ada di setiap hati manusia tanpa memandang jarak, mereka yang berjarak dekat dengan orang-orang yang mereka kasihi, bukan berarti mereka tidak saling merindu.
Semakin jauh perjalanan yang saya lakukan, semakin menyadarkan saya bahwa saya telah dan akan banyak menemukan hal-hal baru dalam hidup saya.
Kata ayah : “Jarak itu bukan berarti terpisah, jarak itu justru memberikan pelajaran kepada siapa saja yang mengambil resiko, bahkan kematian sekalipun bukanlah sebuah perpisahan, karena setiap yang berjiwa akan mengalami kematian, namun perpisahan yang sebenarnya adalah ketika A bernaung dalam keindahan surga Firdaus, sementara B harus terjerumus kedalam Api Neraka”
Dari aku yang selalu berusaha berdamai dengan berbagai hal baru dalam hidupku. Aku rindu Mamah, Ayah, juga Ade.