Jejak Anak Rantau #5: Tentang Pulang ke Rumah

Bagi saya, pulang ke Bandung adalah sebuah special moment yang selalu ditunggu ketika menjelang akhir pekan. Seperti weekend kala itu, saat saya mendapat kesempatan untuk pulang ke Bandung, kedua orang tua dengan sengaja menyambut kehadiran saya dengan berbagai masakan yang rasanya “rumahan banget”. Makanan yang seringnya tidak pernah ditemukan ketika berada di tanah rantau, meski hanya dengan memasak nasi goreng tapi rasanya tetap berbeda jika dibuat oleh mamah, di rumah. Seolah masakan Mamah adalah obat homesick bagi si Anak Rantau.

Tapi, apa kabarnya perasaan saya ketika menjelang hari Minggu sore? waktu ketika saya harus kembali lagi ke Jakarta sebab esok harinya ada rutinitas yang tetap harus saya tunaikan. Sebuah konsekuensi yang harus selalu dihadapi saat memutuskan untuk hidup di kota yang berbeda dengan kedua orang tua. Ada saatnya saya pulang ke rumah, dan ada saatnya saya harus kembali pergi ke tanah rantau.

Rasanya selalu bercampur aduk, seperti berkontemplasi dalam hati. Antara sedih karena waktu berjalan sangat cepat, malas karena harus kembali packing lalu bersiap kembali ke Jakarta, juga merasa berat melangkah untuk menyelesaikan sesuatu yang telah dimulai. Belum lagi harus menghadapi moment perpisahan saat Ayah mengantar sampai stasiun atau terminal. Karena sungguh moment seperti itu sukses membuat saya berderai air mata selama di perjalanan, bagai anak TK yang baru masuk sekolah tapi menangis karena tak ingin masuk kedalam kelas, hanya ingin di luar bersama orang tua yang mengantar atau yang lebih parah, ingin pulang saja.

Bahkan sebuah pertanyaan “Kapan pulang” pun terkadang menjadi suatu pertanyaan yang bisa menyinggung saya apabila tidak disampaikan dengan benar (benar menurut versi saya tentunya) hehe. Seperti hari Minggu siang itu, ketika Mamah sedang memasak, dengan nada lembut kemudian ia bertanya :

“Neng, nanti sore pulang ke Jakarta naik apa?”

Dalam hati saya, “Apa? Pulang ke Jakarta?” entah kenapa setiap kali mendapatkan pertanyaan seperti itu membuat hati saya sedih. Rasa-rasanya pertanyaan seperti itu adalah pertanyaan yang salah menurut saya. Mendengarnya seperti ada rasa “Nggak rela” ketika orang-orang menganggap bahwa kembalinya saya ke Jakarta dianggapnya sebagai “Pulang”. Karena bagi saya melakukan perjalanan pulang itu hanya ke rumah, dan rumah tempat saya kembali pulang adalah rumah kedua orang tua di Bandung.

Rumah di mana saya menemukan kebahagiaan karena merasa ramai hadir di antara mereka, rumah di mana saya menemukan hangatnya kasih sayang mereka, rumah di mana saya bisa bebas melakukan aktivitas tanpa harus merasa canggung dengan lingkungan baru.

Sedangkan Jakarta, bagi saya adalah tujuan untuk “pergi kembali”, Jakarta bagi saya seperti sebuah Sekolah, tempat saya belajar sebagai siswa selama beberapa waktu, belajar tentang hal-hal yang tidak bisa saya dapatkan ketika berada di rumah, dan jika sekolah itu telah usai maka saya akan kembali pulang ke rumah, di Bandung.

“Tapi Nna, rumah itu bukan tentang megah atau tidak, rumah itu bukan tentang ramai atau sepi, tapi rumah itu tentang perasaan kamu yang merasa nyaman saat melakukan hal-hal yang kamu mau.

Saat kamu menangisi suatu hal, dan kamu tak ingin tangismu diketahui orang tua, apakah rumahmu yang ramai masih menjadi tempat yang nyaman buatmu Nna?

Hati-hati, karena mungkin suatu hari kamu akan mendapatkan “rumah” baru. Tempat yang lebih mampu membuatmu menjadi diri sendiri, merasa nyaman juga produktif, dan mungkin “rumah” yang di maksud itu adalah sesuatu yang kamu benci saat ini”

-someone i hate so much-

Butuh waktu lama bagi saya untuk menyadari bait-bait kalimat diatas, meski seorang kawan selalu menjelaskan dengan berbagai teori, saya tetap teguh dengan pendirian bahwa tempat saya kembali pulang hanyalah ke rumah, dan rumah itu adalah rumah orang tua (titik)

“Lalu, bagaimana dengan kepulangan kita sebagai manusia? Bukankah dunia ini hanyalah sebuah persinggahan? Bukankah seluruh umat manusia pasti akan kembali pulang pada sang pencipta? Kamu menyebutnya sebagai apa Nna? Dan bukankah rumah keabadian kita adanya di negeri akhirat?”

Seketika saya terdiam. Merasa ada hantaman yang mendarat di pipi dan kepala saya. Membuat saya diam dan tak bisa kembali menyanggah apa yang rekan saya sampaikan.

Hingga pada akhirnya saya menyadari bahwa semua yang saya lakukan saat itu, niat dan tujuannya masih berputar dalam ranah keduniawian, tak terhubung sama sekali dengan akhirat.

Pict by canva

Dan ya! sejak saya menerima hantaman keras itu, mulailah kembali saya petakan tujuan saya, menata hati dan pikiran supaya bisa lebuh survive sebagai perantau ilmu. Sekalipun harus menghadapi berkali-kali homesick, namun kembali saya ingat bahwa setiap peran yang harus kita jalani sebagai umat manusia hanyalah menghamba pada sang pencipta dengan segala ketaatan kita.

Kini, hampir tujuh tahun masa itu telah berlalu. Sekarang bagi saya makna pulang ke rumah tak lagi sama seperti dulu. Di mana pun saya memijakan kaki, di mana pun saya merebahkan tubuh, dan ke mana pun saya merantau, itu semua hanyalah persinggahan.

Dan kini pun saya menyadari, bahwa ketika saya kembali pulang ke rumah di Bandung, sesungguhnya saya tidak pernah benar-benar pulang. Karena rumah tempat saya kembali pulang sebagai salah seorang umat manusia, adalah rumah keabadian, negeri akhirat.

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #4: Tentang Sekarang dan Sepuluh Tahun yang Lalu

Assalamu’alaikum Warahmatullah wabarakatuh

Hai. selamat datang kembali di ruang belajarnya Lisna. Nggak terasa hari ini adalah hari Sabtu ke 3 di bulan Januari 2019, itu artinya kita semua akan segera menuju ke penghujung akhir bulan Januari. Apa kabarnya dengan semua live plan yang kalian buat di awal tahun kemarin? tentang berbagai resolusi atau perencanaan selama satu tahun atau satu bulan kedepan, apakah sejauh ini semuanya berjalan baik-baik saja? ada berapa banyak lika-liku yang teman-teman hadapi? beratkah? semoga, apapun dan bagaimanapun proses yang harus dihadapi, selalu Allah mampukan untuk kita selesaikan yaa.

By the way menyaksikan suasana media sosial beberapa hari ini ramai dengan tagar #10yearschallenge. Hampir setiap orang mengikuti challenge tersebut baik dalam bentuk foto maupun deskripsi pengalaman hidup masing-masing saat sepuluh tahun yang lalu. Rupanya challenge itu menarik untuk diikuti karena bisa mengetahui perubahan apa saja yang terjadi pada diri kita. Entah perubahan yang baik atau yang kurang baik, dan tentunya dari setiap perubahan yang kita ketahui akan selalu ada nilai-nilai yang harus kita syukuri dan evaluasi bukan?

Baiklah, dalam serial Jera’s ke empat ini saya ingin mencoba untuk menyamakan ritme dengan sesuatu yang sedang viral hari ini. Tentang diri saya di masa 10 tahun yang lalu, yaitu saat masa putih abu masih menjadi masa dimana saya berjalan tanpa tujuan yang pasti. Menjalani hari-hari hanya sebatas menuntaskan kewajiban sebagai seorang siswa, berangkat sekolah lalu pulang. Menjalani kehidupan sebagai seorang anak yang masih bergantung pada kedua orang tua, tanpa tau makna apa yang harus saya dapat ketika menjalankan semua peran tersebut

Berjalan tanpa memiliki visi dan misi, bahkan membiarkan diri sendiri berkali-kali jatuh dalam kesalahan yang saat itu saya anggap baik. Pernahkah teman-teman mengalaminya? menyadari bahwa sesuatu di masa lalu adalah hal yang buruk ketika kita telah sampai di masa kini? Seperti misalnya berbohong kepada orang tua dengan alasan demi kebaikan, namun saat kita sampai di usia hari ini kita sama-sama menyadari bahwa kebohongan yang dulu kita anggap baik faktanya adalah suatu akar keburukan yang akan membentuk karakter kita di hari ini. Dan saya pernah mengalami itu teman-teman.

Penyesalan demi penyesalan semakin hari semakin hadir dalam diri saya, membekukan kreativitas dan menahan ruang gerak saya hingga merasa kehilangan kebebasan karena rasa bersalah terhadap masa lalu. Hal yang sulit untuk saya lalui. Mendikte diri sendiri bahwa “saya tidak lebih baik dari orang lain” bahwa “saya tidak memiliki masa depan yang baik” dan masih banyak lagi prasangka-prasangka yang terbangun dalam pikiran saya saat itu. Betapa menyedihkannya bukan? ketika kita menghormati dan membangun kepercayaan terhadap orang lain di sekitar kita, namun justru kita sendiri mengabaikan kepercayaan terhadap diri kita sendiri. Menganggap bahwa diri sendiri tidak begitu berharga dibandingkan dengan orang lain.

Mungkin itu adalah serangkaian bukti bahwa saya tidak memiliki kemampuan untuk mencintai diri saya sendiri saat itu.

Lalu apa kabarnya saya hari ini?

Adalah saya yang baru, yang berhasil bangkit dan berdamai dengan berbagai keruntuhan di masa lalu, bukan melupakan dan membuangnya, tapi lebih kepada berani menerima dan menjadikan suatu pelajaran yang berharga untuk menjalani masa kini. Kembali membangun fondasi-fondasi mimpi yang dulu pernah runtuh berkeping, membentuk karakter diri menjadi lebih kuat meski terkadang sulit dan menjatuhkan, berusaha lembut dan tegas terhadap berbagai persoalan yang menghampiri.

Awalnya, terasa sulit memang. Akan tetapi bagaimana kiranya saya bisa mencintai orang lain sementara saya tidak mencintai diri saya sendiri. Bagaimana kiranya saya bisa mengenal orang lain sementara saya tidak mengenali diri sendiri. Ya, tampaknya melihat orang lain itu lebih mudah daripada melihat kedalam diri sendiri. Sama seperti saat kita mampu melihat kesalahan orang lain tanpa menyadari besarnya kesalahan diri sendiri, juga saat terkagum-kagum dengan hidup orang lain lalu abai terhadap segala potensi yang dimiliki diri sendiri.

Dear Self. I’m sorry because have ignored you, I didn’t give you time for healing. I underestimate that you can’t reach your future, your dream and make you fall more.

Dear Self. Thank you for accepted all bad experiences without cried again, guiding me until this place and now so many of my smiles and laughs begin with you.

You are amazing self. Let’s change from good to be great!

Menyusun langkah untuk kembali mendapatkan kepercayaan diri dengan cara keluar dari family zone. Bergabung dengan lingkungan yang baru untuk mendapatkan sudut pandang yang berbeda tentang makna sebuah kehidupan. Mengelola emosi saat rindu karena ingin pulang hanya bisa tersampaikan melalui sebait do’a dan percakapan via telephone. Menata waktu dan menjaga energi terus dilakukan sebagai sebuah penghargaan terhadap diri sendiri. Juga membangun relasi dengan sebanyak-banyaknya hamba Allah.

Teman-teman, bagaimanapun sepuluh tahunmu yang lalu, semoga kini kita bisa menerimanya sebagai makna hidup yang tinggi. If you experience defeat, don’t desperate! But take the experience to step higher. Dan tentang diri kita di sepuluh tahun yang akan datang, tenang! tak perlu terlalu mencemaskannya, selagi jiwa dan raga kita berada pada jalan yang benar, bukankah Tuhan akan selalu membersamai kita?

Salam

el

Bila Rindu

Suatu malam, bila rindu terbungkus awan kelabu. Biarlah ia jatuh bersama hujan, bertahap menjatuhkan diri turun ke bumi lalu membasahi sebagian isinya.

Menyentuh lembut setiap yang nyata, hingga meniupkan dingin kepada siapapun yang terjaga. Memeluk tubuhnya sampai tersadar bahwa rindu itu melapisi angin hingga menjadi dingin.

Namun bila rindu terus terjaga diatas awan sana, biarkan ia terpenjara diantara yang gelap, biarkan ia merasakan resahnya melayang tanpa cahaya. Menelusuri setiap kegelapan hingga matahari pancarkan panas dan silaunya.

Biarkan! Biarkan ia melayang di udara, karena bila memang ia adalah rindu, ia hanyalah sebatas maya.

el

Jejak Anak Rantau #3: Malam Pertamanya Anak Rantau

HAI, selamat datang di ruang belajarnya Lisna

Bagaimana kabar kalian selama sepekan kemarin? Adakah schedule yang terpaksa harus dibawa ke weekend ini? Weekly report atau agenda meeting yang terabaikan misalnya? Semangat yaa, dan semangat untuk tetap ciptakan perasaan yang bahagia, biar weekend kita tetap berkualitas.

Oya bicara soal weekend nggak lengkap rasanya kalau nggak ngebahas tentang kelanjutan dari serial Jera’s Project. Yup, di pekan ketiga ini saya ingin bercerita tentang hal-hal apa saja yang saya temukan pasca kepulangan Ayah ke kota Bandung. Bagi teman-teman yang sedang membaca halaman ini tapi belum membaca episode sebelumnya, saya sarankan kalian untuk membaca terlebih dahulu Jera’s Project episode kedua.

Untuk membacanya kalian bisa klik disini . Namun bagi yang sudah, kuylah kita mulai!

***

Setelah ayah melaksanakan sholat dzuhur, ia kemudian pamit untuk pulang ke Bandung. Tak lupa ia siapkan sebungkus nasi padang yang dibeli sebelumnya untuk menu makan siang saya hari itu, sekaligus menyimpan beberapa rupiah untuk keperluan saya yang lain. Ia sengaja memilih untuk segera pulang sebelum terlalu sore, waktu menunjukkan pukul 14.00 WIB, dan dibawah rintik hujan Jakarta, ayah kemudian meluncur kembali ke kota Bandung.

Suasana kamar kost saya hari itu masih terasa luas, masih banyak spot kosong disana-sini karena memang belum banyak barang yang saya bawa dari Bandung. Hanya ada beberapa fasilitas dari ibu kost saja yang telah tersusun rapih di kamar. Sambil membuka bungkusan nasi padang yang telah dibelikan ayah, sambil saya mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan, maksud hati ingin mengecek apakah ada sudut yang bocor atau tidak, tetapi tiba-tiba malah merasakan sesuatu yang lain. Hening, dan sepi. Tak ada suara lain kecuali hujan serta suara kertas nasi yang saya buka. Tak ada suara televisi, suara orang mengobrol, atau keramaian lainnya, bahkan hingga sore hari menjelang waktu maghrib pun tak banyak yang saya lakukan. Hanya duduk, tiduran, dan menghabiskan satu buku yang satu-satunya saya bawa dari Bandung. “Oh, mungkin karena diluar hujan jadi orang-orang memilih untuk berdiam diri dirumah”.

Hingga malam tiba dan waktu menunjukkan hampir pukul 8 malam, suasana sepi itu kembali mengganggu saya. Membisikan berbagai hal yang terkadang membuat saya ingin memutar waktu lebih cepat agar bisa segera bertemu pagi dan mencari keramaian. Malam itu tak ada suara tawa adik menonton TV acara kesayangannya, juga tak ada suara mamah yang memanggil anak-anaknya untuk segera makan malam, apalagi suara mang cuanki dengan ketokannya yang khas berkeliling kampung. Yup, dan semua bukti itu seolah membuka mata hati bahwa saya hidup di lingkungan baru tanpa orang yang saya kenal.

Menyadari hal itu lantas membuat saya ingin segera terlelap tidur agar bisa segera beranjak dari sepinya malam di kamar kost, namun apa daya semakin memaksa mata terpejam pikiran saya semakin agresif memikirkan berbagai hal tentang apapun yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan. Tiba-tiba saya merindukan nasehat-nasehat mamah yang selama ini saya anggap berisik. Tiba-tiba saya merindukan adik yang usil mengganggu saya ketika sedang beraktivitas di dalam kamar, dan yang paling parah adalah tiba-tiba saya menyesal kenapa tadi siang nggak ikut ayah pulang ke rumah? What?? are you kidding??

Saya sadar bahwa semua itu terjadi karena tak ada lagi aktivitas yang bisa saya lakukan untuk membunuh rasa bosan, buku yang dibawa telah habis saya tuntaskan selama perjalanan Jakarta Bandung sampai sore itu, menyibukan diri dengan merapihkan berbagai barang pun telah usai dilakukan bersama ayah, nggak ada hiburan, nggak ada TV apalagi smartphone untuk membuka Instagr*m, Youtu*e dan hiburan lainnya yang bisa dinikmati seperti saat ini.

Padahal pagi itu sebelum berangkat, mamah berpesan agar saya membawa lebih banyak buku untuk menemani saya saat bosan, tetapi dengan sombongnya saya menolak dan saya optimis bahwa keadaan di tempat baru tidak akan membuat saya bosan, selain itu saya juga beranggapan bahwa rumah kost yang saya tempati hanyalah sementara, rumah kost yang saya tempati bukanlah rumah tempat saya kembali, rumah kost hanyalah tempat persinggahan bagi saya untuk belajar hal-hal baru, oleh karena itu saya merasa tidak perlu membawa barang-barang pribadi terlalu banyak, karena pada akhirnya saya akan kembali pulang ke rumah di Bandung, tempat dimana saya dilahirkan dan dibesarkan.

But, see!! malam itu berhasil menjadi malam terpanjang dalam hidup perantauan saya. Merasa bersalah dengan segala sikap buruk terhadap orang tua, mengabaikan semua nasehatnya dan mulai menyadari betapa berharganya kehadiran kedua orang tua di sekitar saya. Tanpa terasa kemudian saya mulai menjatuhkan tangis sebab kerinduan terhadap mereka, ingin menelfon untuk berkata bahwa “aku kesepian dan ingin pulang” tapi canggung dan sedikit malu, semakin malam, tangis itu semakin rintih kemudian lirih dan terlelap. Tanpa sadar tiba-tiba terbangun oleh suara adzan subuh dari masjid di sebelah rumah kost. Kemudian saya beranjak dari tempat tidur dengan mukena yang masih terpasang dan belum dilepas sejak setelah sholat Isya semalam, lalu saya bercermin sambil mengusap mata yang terlihat seperti panda. Setelah itu saya berwudhu dan berdo’a pada Allah SWT, bahwa saya ingin segera bertemu dengan hari Jum’at agar bisa segera pulang ke rumah dan berkumpul dengan ayah, mamah juga adik.

***

Guys, jadi dengan siapa kalian menghabiskan weekend pekan ini? semoga waktu bersama keluarga selalu jadi prioritas utama kita yaa. Kalau begitu, selamat berakhir pekan dengan keluarga tersayang.

Salam,

el

Cuaca Hari ini

Jadi, beberapa hari ini cuaca di Jakarta agak nggak menentu, terkadang panas sampai mencapai suhu 30 derajat, besoknya bisa terasa dingin bahkan lebih dingin dari biasanya, belum ditambah tiupan angin yang sangat kencang membuat kesehatan sedikit berubah. Hari ini Jakarta hujan dan cukup terasa dingin sedangkan kemarin cuaca cukup panas sampai membuat kepala terasa pusing. Apa kabarnya cuaca di tempat kalian?

Sambil menunggu menu makan siang tersedia, seperti biasa jemari saya kembali berselancar melihat dunia luar melalui layar smartphone. Ternyata cuaca ekstrim tampaknya memang tidak hanya melanda kawasan Jakarta, namun di beberapa daerah juga cukup merasakan perubahan cuaca tersebut.

By the way, apa sih yang paling nyaman untuk kita nikmati di saat kondisi sedingin ini? membaca buku sambil duduk bersantai dengan menikmati segelas hot chocolate sepertinya bisa menjadi ide yang bagus. Atau menonton movie serial yang berlatar winter season ditemani semangkuk makanan berkuah pun rasanya paripurna, berada dalam ruangan yang hangat lengkap dengan hadirnya keluarga tersayang atau meski hanya ditemani hewan peliharaan pun tak kalah sempurna.

Hmm.. lalu bagaimana kabarnya saudara-saudara kita yang menikmati musim dingin dalam tenda pengungsian? mereka yang menjadi korban peperangan, mereka yang menjadi korban bencana alam, hidup dengan segala keterbatasan yang ada. Jangankan menikmati hot chocolate, mungkin sedikit teh hangat pun sulit mereka dapatkan. Jangankan selimut tebal, pakaian hangat untuk melindungi tubuh mereka pun mungkin sudah tak layak pakai.

Lagi-lagi, hidup ini ternyata memang tentang sebuah pelajaran. Dan pelajaran yang sangat berharga itu masih tentang sabar dan syukur, bagaimana kita bersabar menahan segala keinginan yang sebenarnya hanya menjadi pemuas nafsu belaka, kemudian kita paham bahwa fondasi sabar tersebut yang menguatkan rasa syukur dalam diri kita terhadap berbagai keadaan.

Guys, selamat berkarya di musim dingin ini. Jangan lupa langitkan do’a agar Allah SWT anugerahkan kesehatan untuk kita semua. Aamiin 🙂

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #2: Menggenggam Kepercayaan

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh

Hallo teman-teman, senang rasanya bisa kembali memulai cerita tentang perjalanan saya. Sejak saya memutuskan untuk terjun dalam project kepenulisan ini, saya merasa bahwa waktu di akhir pekan yang saya miliki akan sangat berkesan, berkesan karena ada tantangan tersendiri untuk lebih commit terhadap diri sendiri, karena memang ternyata berkomitmen dengan diri sendiri itu lebih sulit bagi saya, tingkat toleransi untuk melanggar apa yang telah dibangunnya itu terlalu besar, hehe. Tapi saya selalu percaya bahwa setiap hal-hal kecil yang secara continuance kita kerjakan, suatu saat akan menjadi habbit, dan dari habbit itu akan menghasilkan sesuatu yang besar.

By the way di serial kedua ini, saya ingin mengangkat sebuah moment ketika Ayah mengantarkan saya untuk pergi menetap di Ibu kota. Hari itu hari minggu pertama di bulan April tahun 2012, Ayah sengaja meluangkan waktunya ikut mengantarkan saya sampai di tempat baru hanya untuk meyakinkan dirinya bahwa putri kecilnya sampai dengan selamat di sebuah hunian yang layak. Selama dalam perjalanan dari Bandung menuju Jakarta Ayah tak banyak bicara, hanya saja berkali-kali Ayah sibuk menerima telpon dari mamah untuk memastikan posisi kita, dan ya, karena hari itu mamah harus stay di rumah.

Jika di ingat lagi, terkadang saya agak merasa geli sendiri sih, sekaligus bertanya dalam hati, se-manja itukah saya sampai mereka melakukan semua ini? atau mungkin justru saya yang belum bisa memberikan kepercayaan yang utuh untuk mereka? sebab pernah terlintas ada rasa nggak nyaman karena harus merepotkan kedua orang tua, padahal mungkin saya bisa pergi sendirian tanpa Ayah antar.

Setibanya di Jakarta, saya dijemput oleh seorang teman yang sejak hari sebelumnya telah membantu mencarikan kamar kost untuk saya. Ternyata kamar yang ia rekomendasikan memang cocok dengan kriteria yang Ayah request, yaitu, pemiliknya harus sepasang suami istri, tempat tinggal pemiliknya tidak boleh lebih dari 500 meter dari tempat kost, dan pemilik kost harus memiliki aturan yang jelas untuk para anak kost. Hehe, dan yaps, begitulah Ayah. Saya pun masih kurang paham saat itu, tapi seiring berjalannya waktu, dengan semua pengalaman hidup saya yang jauh dari orang tua, justru saya lebih memahami tentang mengapa kedua orang tua saya bersikap demikian.

Setelah saya melakukan proses registrasi sebagai anak kost baru di tempat itu, setelah proses perkenalan antara ayah dan ibu bapak kost dilakukan, dan setelah saya dan ayah menandatangani surat perjanjian tata tertib dengan ibu kost, saat itulah saya melihat dan mendengar sebuah permohonan yang hangat dari mulut ayah saya pada ibu kost, sebuah kalimat yang ayah ucapkan dengan segala kerendahan hatinya, dan bahkan belum pernah saya mendengar ayah bicara dengan nada selembut hari itu.

“Bu, ini putri kecil saya, dia ada disini karena ingin belajar. saya mohon dengan ibu agar bisa menerima putri saya, saya titip sama ibu”

jleb! apa? putri kecil? jadi ayah masih menganggap bahwa saya adalah putri kecilnya? padahal usia saya hampir menginjak kepala 2 saat itu. Saat ayah kembali melanjutkan obrolannya dengan ibu kost, seketika saya terdiam, pikiran saya mencoba mencerna ulang kalimat yang baru saja terucap dari mulut ayah, tapi sayang, saya tidak mendapatkan pemahaman apa-apa saat itu, yang saya simpulkan saat itu hanyalah bahwa ayah belum sepenuhnya percaya pada saya, sehingga ia masih menganggap bahwa saya adalah putri kecilnya yang belum juga dewasa.

***

Oya, sedikit cerita tentang ibu dan bapak kost, mereka adalah sepasang orang tua yang sudah teramat sepuh dan hanya tinggal berdua di rumahnya yang dikeliling oleh beberapa kamar kost. Mereka memiliki 3 anak laki-laki yang telah berkeluarga semua, 1 tinggal di Qatar dan 2 masih di Indonesia namun beda kota. Ibu kost-nya adalah seorang mantan Bidan, beliau sangat kritis terhadap semua anak kost, sedangkan bapak kost-nya adalah pensiunan PNS dari Departemen Agama, sosok yang pendiam dan terlihat bijaksana juga sosok kakek yang masih gemar membaca berbagai buku-buku tebal tentang Islam. Bisa di bilang mereka adalah pasangan yang sedikit kesepian di masa tuanya, oleh Karena itu saat ayah memohon dengan kalimat diatas, ibu kost meng-iya-kan dengan harapan saya bisa jadi teman ngobrol ibu kost yang asik katanya, karena memang saat itu hanya saya satu-satunya penghuni kost perempuan, sedangkan yang lainnya adalah pria.

***

Setelah pembicaraan antara ayah dan ibu bapak kost selesai, ayah dan saya kemudian pamit untuk masuk ke kamar yang akan saya tempati. Ada hal yang membuat saya haru saat itu, saya melihat lagi betapa ayah menyayangi saya, dia tidak lantas pamit dan pergi pulang, namun dia sendiri ingin memastikan bahwa saya membereskan semua barang-barang dengan baik. Sambil menata beberapa barang yang saya keluarkan dari koper, ayah kembali mulai menata kalimatnya. Perlahan tapi tegas terdengar, beliau mengatakan bahwa ada kepercayaan yang harus saya jaga mulai hari itu.

Kepercayaan yang saling berkaitan dengan kebebasan berada jauh dari orang tua, kepercayaan yang dengan sungguh-sungguh harus saya jaga sebagai tanda terimakasih saya kepada ayah karena dia telah rela berlelah-lelah merasakan cemas dikarenakan jauh dari putrinya. Meski pada akhirnya terkadang saya melukai kepercayaannya dengan cara membiarkannya tanpa kabar berhari-hari, atau hanya menelpon mamah tanpa menanyakan kabar ayah.

Sebelum ayah pulang ke Bandung, beliau berpesan:

“shalatlah, dan bangun di sepertiga malam. bukan karena kamu merasakan kesulitan berada jauh dari orang tua, tapi karena kamu membutuhkan Allah dalam setiap kehidupanmu. Jangan malas, bangunlah, dan panjatkan do’a, biar do’a kita saling bertemu di langit”

Hari ini, jika saya kembali mengingat moment tersebut, tiba-tiba pikiran saya melayang jauh menemui suatu masa dimana saya harus memutuskan untuk menikah. Sebuah keputusan yang bagi saya adalah hal yang sangat tidak mudah, harus menyediakan ruang baru di hati saya untuk kehadiran orang lain selain kedua orang tua dan adik, dan itu adalah hal yang hingga saat ini masih saya perdebatkan dengan diri sendiri. Ya, hingga kini masih saya perdebatkan dalam hati.

Oleh karena itu, saya selalu merasa kagum dengan teman-teman perempuan yang punya keberanian tinggi untuk memutuskan melepas masa singlenya. Saya selalu bertanya dalam hati, kekuatan apa yang teman-teman miliki sampai teman-teman mampu untuk meminta restu pada orang tua? karena bagi saya sungguh moment itu tidak mudah, apalagi sejak saya dan orang tua tinggal di beda kota, kuantitas pertemuan antara saya dan mereka cukup terbatas. Sehingga hal itu membuat saya selalu merasa ingin memiliki waktu yang banyak untuk hidup dengan kedua orang tua saya.

Namun, pada akhirnya, setiap perasaan itu akan kembali pada-Nya, karena memang pada dasarnya setiap perasaan itu adalah milik Allah. Hanya DIA yang bisa membolak-balikan hati setiap manusia, termasuk mengubah hati kamu agar berani untuk kembali mengambil keputusan yang besar, Nna!

-Someone i hate so much-

Teman-teman, Alhamdulillah saya menulis ini dengan penuh rasa syukur pada Allah, karena sampai hari ini, saya masih bisa berada ditengah-tengah keluarga. Bersama mamah, ayah juga adik. Semoga orang tuaku dan orang tua kalian, adikku dan adik kalian, dan saudara kita semua, senantiasa Allah anugerahkan umur yang panjang dan kesehatan jasmani juga rohani. Dan semoga kita semua bisa kembali berkumpul bersama di Surga milik Allah SWT. Aamiin

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #1: Jejak Luka yang Terabaikan

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh,

Teman-teman selamat datang di ruang belajarnya Lisnaaa.. (baca dengan nada gitasav dalam vlognya) huehehe..

Apa kabarnya kalian di hari pertama tahun 2019 ini? Semoga seperti apapun cuaca di tempat teman-teman tinggal, tidak lantas mengurangi produktifitas teman-teman yaa. By the way, Jakarta sejak kemarin cukup dingin, bahkan terasa lebih dingin dari biasanya. Menurut saya, ini adalah hari yang sempurna karena dengan kondisi yang seperti ini, justru saya merasa lebih bisa bergerak bebas, yeahh i love winter guys!!

Oya sesuai janji saya beberapa pekan yang lalu di IGS, kali ini, di awal tahun yang baru ini, saya ingin memperkenalkan sebuah project terbaru yang akan saya garap selama 1 tahun kedepan, InsyaAllah. Namanya “Jejak Anak Rantau”. Apaan tuh? Hehe

Jejak Anak Rantau adalah serial terbaru di blog pribadi saya yang insyaAllah kedepannya akan hadir di setiap akhir pekan. Isinya, hanya sebuah kisah receh dari pengalaman pribadi selama menjadi Anak Rantau. Tapiiii meski demikian semoga kisah receh dari Jejak perantauan saya, bisa tersajikan makna-makna hidup yang bernilai tinggi, dan semoga temuan makna tersebut bisa dinikmati oleh teman-teman semua sebagai Jejak-jejak kebaikan. InsyaAllah.

Dalam serial kali ini, saya juga tidak sendirian loh! Ada kawan yang juga bersedia terlibat dalam project ini. Meski tidak terlibat aktif secara langsung, tetapi saya ucapkan terimakasih kepadanya karena telah bersedia berkolaborasi untuk mulai membuat karya ini, dia juga memiliki latar belakang yang sama dengan saya, yaitu sebagai anak rantau juga, tapi untuk identitas aslinya, dia request supaya namanya nggak di-mention terlebih dahulu, jadi demi menghargai kenyamanan dan privasinya, mohon maaf identitasnya belum bisa saya publikasikan.

Baik, tanpa berpanjang-panjang lagi saya ingin memulai tulisan pertama saya di serial kali ini tentang suatu kondisi ketika saya memutuskan untuk pertama kalinya pergi keluar dari zona nyaman yang biasanya saya sebut dengan family zone.

Hari itu enam tahun yang lalu, adalah hari pertama dimana saya harus memutuskan untuk hidup terpisah dari kedua orang tua dan adik, hari dimana akan menjadi titik awal kehidupan saya sebagai seorang anak rantau. Keputusan untuk hidup terpisah dengan jarak yang cukup jauh bukanlah hal yang mudah tentunya. Banyak kontemplasi yang harus saya hadapi, belum lagi usaha yang harus saya lakukan dalam meyakinkan kedua orang tua bahwa keputusan tersebut adalah bagian dari proses pendewasaan diri saya. Apakah saat itu saya merasa yakin? Tentunya tidak. Keputusan tersebut diambil ketika keyakinan itu justru belum hadir, tapi dengan percaya dirinya saya berani meyakinkan kedua orang tua bahwa i can be survive.

Haha, jika dipikir ulang, ko bisa begitu ya? entahlah, saya merasa saat itu memang seperti ada motivasi kuat yang memaksa saya untuk mengambil keputusan menjadi anak rantau.

Pict & Design : Canva

Lalu, apa donk motivasinya?

Ia adalah semacam luka di dalam diri saya yang terabaikan. Luka karena ketidak-mampuan saya dalam menggapai mimpi-mimpi saat itu. Merasa kehilangan masa depan karena harus menunda study disaat orang lain melangkah lebih maju dari hadapan saya, melihat teman-teman dengan kesibukannya menjalani hari-hari sebagai mahasiswa di universitas membuat saya jatuh sejatuh-jatuhnya, dan ya saya pernah mengalami itu, saya merasa bahwa dengan saya berdiam diri di rumah tanpa berbuat apa-apa, melihat teman-teman mengukir setiap langkah mimpi mereka itu hanya membuat saya semakin tidak menjadi manusia. Karena yang ada di hati saya hanya keluhan, prasangka-prasangka buruk pada Tuhan, perasaan iri dan mungkin hasad karena melihat teman-teman dengan mudahnya bisa tetap melanjutkan sekolah. (Semoga Allah mengampuni kesalahan saya saat itu yang selalu berprasangka buruk kepadaNya).

Hingga pada satu titik saya kembali berpikir apalah artinya hidup jika saya harus terus berdiam diri dan hanya bergantung pada orang tua yang kondisinya pun saat itu tidak memungkinkan bagi saya untuk meminta mereka mewujudkan mimpi-mimpi saya, dan dengan berbekal motivasi tersebut kembali saya membuka diskusi dengan kedua orang tua, menyampaikan setiap maksud yang saya tuju dan tak lupa meminta restu dari mereka agar setiap tantangan bisa menjadi ladang ibadah untuk saya hadapi.

Seperti bait syair yang dituliskan oleh Imam Syafi’i, ibarat air, jika saat itu saya hanya bersahabat dengan penyesalan terhadap keadaan tanpa melakukan suatu perubahan, tidak bergerak dan hanya tertahan dalam kondisi diatas, mungkin saya hanya akan menjadi genangan air yang keruh, nggak produktif dan minim pengalaman.

Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan, jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, akan keruh menggenang

Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan, tapi jika gaharu itu keluar dari hutan, ia akan menjadi Parfum yang bernilai tinggi

-Imam Syafi’i-

Semoga, dari kisah pembuka Jejak Anak Rantau ini bisa meninggalkan makna-makna kebaikan bagi teman-teman yang membaca, hingga makna tersebut senantiasa menjadi jejak-jejak kebaikan yang tak terputus.

 

Salam,

el