Bagi saya, pulang ke Bandung adalah sebuah special moment yang selalu ditunggu ketika menjelang akhir pekan. Seperti weekend kala itu, saat saya mendapat kesempatan untuk pulang ke Bandung, kedua orang tua dengan sengaja menyambut kehadiran saya dengan berbagai masakan yang rasanya “rumahan banget”. Makanan yang seringnya tidak pernah ditemukan ketika berada di tanah rantau, meski hanya dengan memasak nasi goreng tapi rasanya tetap berbeda jika dibuat oleh mamah, di rumah. Seolah masakan Mamah adalah obat homesick bagi si Anak Rantau.
Tapi, apa kabarnya perasaan saya ketika menjelang hari Minggu sore? waktu ketika saya harus kembali lagi ke Jakarta sebab esok harinya ada rutinitas yang tetap harus saya tunaikan. Sebuah konsekuensi yang harus selalu dihadapi saat memutuskan untuk hidup di kota yang berbeda dengan kedua orang tua. Ada saatnya saya pulang ke rumah, dan ada saatnya saya harus kembali pergi ke tanah rantau.
Rasanya selalu bercampur aduk, seperti berkontemplasi dalam hati. Antara sedih karena waktu berjalan sangat cepat, malas karena harus kembali packing lalu bersiap kembali ke Jakarta, juga merasa berat melangkah untuk menyelesaikan sesuatu yang telah dimulai. Belum lagi harus menghadapi moment perpisahan saat Ayah mengantar sampai stasiun atau terminal. Karena sungguh moment seperti itu sukses membuat saya berderai air mata selama di perjalanan, bagai anak TK yang baru masuk sekolah tapi menangis karena tak ingin masuk kedalam kelas, hanya ingin di luar bersama orang tua yang mengantar atau yang lebih parah, ingin pulang saja.
Bahkan sebuah pertanyaan “Kapan pulang” pun terkadang menjadi suatu pertanyaan yang bisa menyinggung saya apabila tidak disampaikan dengan benar (benar menurut versi saya tentunya) hehe. Seperti hari Minggu siang itu, ketika Mamah sedang memasak, dengan nada lembut kemudian ia bertanya :
“Neng, nanti sore pulang ke Jakarta naik apa?”
Dalam hati saya, “Apa? Pulang ke Jakarta?” entah kenapa setiap kali mendapatkan pertanyaan seperti itu membuat hati saya sedih. Rasa-rasanya pertanyaan seperti itu adalah pertanyaan yang salah menurut saya. Mendengarnya seperti ada rasa “Nggak rela” ketika orang-orang menganggap bahwa kembalinya saya ke Jakarta dianggapnya sebagai “Pulang”. Karena bagi saya melakukan perjalanan pulang itu hanya ke rumah, dan rumah tempat saya kembali pulang adalah rumah kedua orang tua di Bandung.
Rumah di mana saya menemukan kebahagiaan karena merasa ramai hadir di antara mereka, rumah di mana saya menemukan hangatnya kasih sayang mereka, rumah di mana saya bisa bebas melakukan aktivitas tanpa harus merasa canggung dengan lingkungan baru.
Sedangkan Jakarta, bagi saya adalah tujuan untuk “pergi kembali”, Jakarta bagi saya seperti sebuah Sekolah, tempat saya belajar sebagai siswa selama beberapa waktu, belajar tentang hal-hal yang tidak bisa saya dapatkan ketika berada di rumah, dan jika sekolah itu telah usai maka saya akan kembali pulang ke rumah, di Bandung.
“Tapi Nna, rumah itu bukan tentang megah atau tidak, rumah itu bukan tentang ramai atau sepi, tapi rumah itu tentang perasaan kamu yang merasa nyaman saat melakukan hal-hal yang kamu mau.
Saat kamu menangisi suatu hal, dan kamu tak ingin tangismu diketahui orang tua, apakah rumahmu yang ramai masih menjadi tempat yang nyaman buatmu Nna?
Hati-hati, karena mungkin suatu hari kamu akan mendapatkan “rumah” baru. Tempat yang lebih mampu membuatmu menjadi diri sendiri, merasa nyaman juga produktif, dan mungkin “rumah” yang di maksud itu adalah sesuatu yang kamu benci saat ini”
-someone i hate so much-
Butuh waktu lama bagi saya untuk menyadari bait-bait kalimat diatas, meski seorang kawan selalu menjelaskan dengan berbagai teori, saya tetap teguh dengan pendirian bahwa tempat saya kembali pulang hanyalah ke rumah, dan rumah itu adalah rumah orang tua (titik)
“Lalu, bagaimana dengan kepulangan kita sebagai manusia? Bukankah dunia ini hanyalah sebuah persinggahan? Bukankah seluruh umat manusia pasti akan kembali pulang pada sang pencipta? Kamu menyebutnya sebagai apa Nna? Dan bukankah rumah keabadian kita adanya di negeri akhirat?”
Seketika saya terdiam. Merasa ada hantaman yang mendarat di pipi dan kepala saya. Membuat saya diam dan tak bisa kembali menyanggah apa yang rekan saya sampaikan.
Hingga pada akhirnya saya menyadari bahwa semua yang saya lakukan saat itu, niat dan tujuannya masih berputar dalam ranah keduniawian, tak terhubung sama sekali dengan akhirat.
Dan ya! sejak saya menerima hantaman keras itu, mulailah kembali saya petakan tujuan saya, menata hati dan pikiran supaya bisa lebuh survive sebagai perantau ilmu. Sekalipun harus menghadapi berkali-kali homesick, namun kembali saya ingat bahwa setiap peran yang harus kita jalani sebagai umat manusia hanyalah menghamba pada sang pencipta dengan segala ketaatan kita.
Kini, hampir tujuh tahun masa itu telah berlalu. Sekarang bagi saya makna pulang ke rumah tak lagi sama seperti dulu. Di mana pun saya memijakan kaki, di mana pun saya merebahkan tubuh, dan ke mana pun saya merantau, itu semua hanyalah persinggahan.
Dan kini pun saya menyadari, bahwa ketika saya kembali pulang ke rumah di Bandung, sesungguhnya saya tidak pernah benar-benar pulang. Karena rumah tempat saya kembali pulang sebagai salah seorang umat manusia, adalah rumah keabadian, negeri akhirat.
Salam,
el