Jejak Anak Rantau #9: Obrolan dengan Pria Austria

Sekitar bulan Februari 2016 lalu, saya pernah mendapat sebuah kesempatan untuk mengikuti seminar Psikologi yang diadakan oleh salah satu organisasi Psikologi Indonesia, acaranya terjadwal selama beberapa pekan. Karena lokasinya diadakan di Kota Bandung, akhirnya acara tersebut membuat saya harus bolak balik Bandung Jakarta selama beberapa kali dalam satu bulan.

Seperti biasa, dalam rangka mencintai diri sendiri saya memilih train sebagai sarana transportasi perjalanan. Selain karena nyaman, dengan menggunakannya akan membuat saya terhindar dari kemacetan jalan tol yang terkadang membuat mood jadi jelek dan merasa cepat lelah ketika keesokan harinya harus mengikuti kelas seminar.

Dan Yeah! melakukan perjalanan menggunakan train memang selalu memberikan kesan yang menarik untuk saya, Alhamdulillah tidak pernah ada pengalaman buruk dalam perjalanan. Seperti siang itu ketika saya bertemu dengan seorang pria asal Austria di dalam train menuju Bandung. Pria itu duduk tepat di samping saya.

Awalnya saya sangat awkward dan sedikit terganggu dengan keberadaannya, tetapi suasana mulai mencair ketika ia menawarkan sekotak Pokk* pada saya. “Oh bukan!” tentu bukan karena makanan yang ia tawarkan lalu suasana siang itu menjadi cair, tetapi karena pilihan sikap yang ia ambil sehingga membuat suasana menjadi lebih baik, hehe.

Berawal dari tawaran cemilannya pada saya, terbukalah obrolan dan perkenalan diantara kami berdua. Sedikit cerita tentangnya, sebut saja dia Reinhard (bukan nama asli). Reinhard adalah seorang Pria yang bekerja di salah satu organisasi PBB, usianya saat itu seperti terlihat tidak lebih dari 32 tahun. Kunjungannya ke Jakarta tiada lain adalah dalam rangka kedinasan. Urusan pekerjaan sebenarnya sudah selesai di hari Jum’at siang itu, tetapi karena jadwal ia pulang ke Vienna masih beberapa hari lagi, akhirnya ia memutuskan untuk berlibur ke Bandung.

“this is my first time for visiting Bandung” begitu katanya

Hampir separuh perjalanan kami menghabiskan waktu dengan berbincang, dan di antara perbincangan kami yang menarik bagi saya adalah ketika dia menceritakan tentang Negaranya, hal itu berhasil membuat saya sangat antusias, bahkan karena tingginya rasa antusiasme yang dirasakan, membuat saya memilih untuk turun di stasiun yang lebih jauh supaya bisa mendengar banyak cerita tentang Vienna langsung darinya. haha!

Katanya:

“when people hear about Vienna they will remember about Mozart, music, philosophy and etc. They believe that the beautiful of life is only found in music, but in fact they don’t know that beauty can be found in the soul, and that is the first”

Reinhard, on train to Bandung 2016.

“Yup, the beauty can be found in the soul!” saya mengangguk tanpa ragu. Terkadang untuk merasakan suatu kebahagiaan kita selalu mencari sumber-sumber keindahan di luar diri kita. Menjadikan objek lain sebagai tempat untuk mencari nilai-nilai keindahan itu sendiri supaya kita lebih bahagia, padahal bila sejenak saja kita bersedia melirik ke dalam diri sendiri, keindahan dan kebahagiaan itu tidaklah jauh sumbernya, bahkan ia sangat dekat.

Picture: Pinterest

Karena keindahan dan kebahagiaan itu hanya tentang bagaimana kita menata hati kita, dalam bersikap juga berprasangka. Keindahan itu akan kita temukan saat kita bisa memandang bahwa segala sesuatu yang kita terima saat ini adalah bentuk sarana bagi kita dalam mencapai kebahagiaan yang abadi, tetap mensyukuri dan berprasangka baik tanpa mempedulikan apakah sesuatu yang kita terima itu hal yang disukai atau tidak.

Sama halnya ketika kita merasa rapuh dan sulit, bukankah akan terasa lebih indah apabila kita tetap berprasangka baik pada Yang Maha Memberi tanpa menuntut keadaannya menjadi seperti yang kita inginkan?

Semoga mulai sekarang kita semua bisa lebih memprioritaskan keindahan hati kita dengan berbagai prasangka baik terhadap semua hal.

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #8: Saat Usiaku 17 Tahun

Hallo teman-teman, adakah yang sedang menunggu sesuatu di weekend kali ini? yuk, duduk sebentar saja karena ada kisah yang ingin aku ceritakan kepada kalian, tentang masa kelam dan memori terburuk yang pernah singgah di hidupku, namun kini telah mampu kupeluk lembut dalam dekapan tulus tak bersyarat.

Jauh sebelum perantauan ini dimulai, aku adalah seorang manusia yang memandang bahwa kondisi kehidupan setiap orang di masa depan akan selalu sama dengan kondisi kehidupannya saat itu. Persepsi itu terlahir sebagai buah dari pemikiran saat aku masih berusia 17 tahun. Usia ketika aku masih berstatus sebagai pelajar tingkat akhir.

Setiap melihat kehidupan beberapa kawan di sekelilingku saat itu, aku langsung menyimpulkan bahwa kondisi itulah yang juga akan menghiasi masa depannya. Saat aku melihat mereka yang berjalan dengan kegemilangan berbagai fasilitas, saat itu juga aku menyimpulkan bahwa masa depannya akan selalu gemilang, tak berkekurangan satu apapun. Saat aku melihat mereka yang nilai ujiannya di bawah rata-rata, saat itu juga aku menyimpulkan bahwa masa depannya jauh dari prestasi. Saat aku melihat mereka yang hidup dalam naungan keterbatasan ekonomi, saat itu pula aku menyimpulkan bahwa masa depan mereka akan serba kesulitan. Saat aku melihat mereka yang hidup bertabur prestasi, maka saat itu aku pun menyimpulkan bahwa masa depannya penuh arti. “Saat aku melihat mereka”, dan itulah pemikiran yang seterusnya berlalu-lalang dalam persepsiku.

Seperti bertingkah layaknya seorang peramal, seolah aku bisa menerka seperti apa masa depan mereka berdasarkan kehidupannya yang aku lihat di saat aku berusia 17 tahun. Bahkan, terhadap diriku sendiri aku menyimpulkan bahwa setiap pengalaman buruk yang mampir di hidupku telah cukup mendukungku untuk memiliki masa depan yang tidak lebih baik. Berjalan hanya untuk menunggu waktu, lebih sering terjatuh dan membiarkan luka-luka tanpa terobati dengan alasan “biarkan ini terjadi sebagai hukuman untuk diriku sendiri”. Tak pernah ada toleransi untuk melihat sisi baik pada diriku sendiri.

Namun seiring berjalannya waktu, persepsi dan memori buruk itu padam tanpa tahu apa penyebabnya, ia tidak hilang dari ingatan, ia tetap ada, namun tidak lagi menjadikanku rapuh dalam genggamannya. Aku bisa melanjutkan peranku tanpa dikuasai oleh mereka berdua (persepsi dan memori). Apa penyebabnya? entahlah!

Picture source: Pinterest

Aku tak pernah menyadari, bahwa ada yang mencinta dan menyayangi aku lebih dari diriku sendiri. Lebih dari cintanya Ayah padaku, lebih dari sayangnya mamah padaku, pun lebih dari kasihnya adik padaku.

Hati dan pikiranku terbuka lebar, ketika aku bertemu dengan mereka semua yang dulu pernah aku persepsikan masa depannya. Aku melihat bagaimana dan seperti apa kehidupan mereka saat ini setelah waktu berlalu selama tujuh tahun, dan ternyata semua persepsiku dulu terbantahkan. Seperti aku yang salah mempersepsikan masa depanku sendiri.

“Karena semuanya telah berubah, dan mereka mengikuti perubahan itu”

Mereka yang dulu aku anggap memiliki masa depan yang gagal hanya karena nilai ujiannya under, ternyata hari ini menjadi seorang yang bermanfaat untuk Negeri. Mereka yang dulu aku anggap memiliki masa depan yang cemerlang hanya karena kegemilangan hartanya, ternyata hari ini menjadi seorang yang masih hilir mudik membawa CV dalam dekapan, mencoba mencari peruntungan demi menyambung sebuah kehidupan.

Kemudian aku melihat pada diriku sendiri, dengan segala memori buruk yang pernah singgah dalam hidupku, tanpa aku sadari aku bisa memeluknya tulus tanpa syarat. Aku mendekapnya sebagai pelajaran yang bermakna untuk melanjutkan kembali peran yang harus aku jalani.

Dari apa yang terjadi pada mereka dan dari apa yang terjadi pada diriku sendiri aku belajar, tentang apa yang membantah semua persepsi burukku dulu, tentang apa yang menyebabkan semuanya menjadi berbeda. Dan ternyata jawabannya memang tak pernah lepas dari peran serta DIA yang Maha Sempurna. Yang Maha berkuasa terhadap segala peristiwa.

Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang menolaknya, dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.

QS. Ar-Ra’d: 11

Ketika kita memilih jalan untuk mengikuti perubahan sebagai salah satu Sunnatulloh, dan perubahan itu berarah pada jalan-jalan terbaik yang ditunjuk-Nya, maka aku percaya bahwa kehidupan yang lebih baik itu akan selalu menjadi milik mereka yang melakukannya, tanpa peduli seburuk apa masa lalu yang digenggamnya.

Sekarang, apakah kamu pun masih menggenggam memori burukmu dalam keadaan yang rapuh? tak apa, perlahan terimalah ia, karena ia hanya ingin menjadi warna baru dalam hidupmu. Dekaplah ia, sebagai energi yang utuh bagimu saat kamu berkeinginan untuk berubah menjadi yang lebih baik. Karena dengan begitu, kamu telah mencintai dirimu sendiri :))

Selamat berakhir pekan, dear 💜

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #7: Ramai Segenggaman Smartphone

Pulang ke rumah dan berkumpul dengan keluarga terkadang menjadi moment yang tidak bisa dilakukan setiap akhir pekan. Seperti di hari Sabtu sekitar tujuh tahun yang lalu ketika saya memilih untuk tidak pulang ke Bandung dengan maksud ingin merapihkan dan menyusun kembali kamar yang suasananya sudah mulai membosankan.

Awalnya saya berpikir bahwa merapihkan dan menata ulang kamar dengan barang yang sangat banyak bisa menghabiskan waktu sampai dua hari, untuk itulah saya memutuskan untuk tetap stay di Jakarta saat weekend itu. Namun ternyata ketika kegiatan tersebut saya mulai setelah bangun pagi di hari Sabtu, semua bisa selesai sebelum masuk waktu Ashar. Alhamdulillah, karena selanjutnya saya bisa bersiap-siap untuk melakukan kegiatan lain.

“Eh tapi tunggu dulu!” tiba-tiba saya mulai berpikir tentang apa yang harus dilakukan setelah ini. “Apa yah?” saya tidak memiliki janji temu dengan siapapun, tidak ada kegiatan khusus yang bisa dilakukan lagi, mencoba pergi ke tempat lain untuk menikmati kuliner khas Ibu Kota pun saat itu rasanya belum bisa saya lakukan karena masih merasa asing di tengah kota yang baru.

Kemudian saya coba menghubungi dan bertanya satu per satu kepada siapa saja kawan yang hari itu tidak pulang, tapi ternyata tidak ada. Atau jika ada pun mereka telah memiliki kegiatannya masing-masing. Sebagai anak rantau yang masih kaku, saya merasa tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain tetap diam dalam kamar tanpa kegiatan kecuali menelpon orang tua.

“Mah, aku mau beli handphone baru yang lebih canggih biar bisa browsing apapun yang aku mau. bisa lebih banyak download games dan gak lemot kalau dipake FB-an. Jadi kalau aku gak pulang ke Bandung, aku ga kesepian lagi, aku bisa main HP. abisnya Ibu kost disini udah gak lagi memfasilitasi TV untuk para anak kost, Mah”

dan rasanya saat ini ketika kembali mengingat keluhan itu, seperti ingin mendakwahi diri bahwa masih banyak hal yang bisa dilakukan daripada berdiam dalam kamar apalagi sambil menghabiskan waktu dengan bermain smartphone. Bisa dengan terlibat dalam aksi solidaritas sosial mungkin, atau bahkan pilihan “berdiam dalam kamar” pun bisa menjadi hal yang tepat apabila digunakan untuk melakukan proses evaluasi terhadap diri sendiri. Seperti deep into my self.

dan lagi-lagi saya menyadari:

“oh gaes, ternyata betapa sempitnya kotak yang mengurung pikiran saya kala itu”.

Menyimpulkan bahwa hanya dengan smartphone-lah satu-satunya cara untuk menumbuhkan keramaian di kala berjarak dengan orang tua dan tak ada teman untuk melebur sepi. Lalu bagaimana dengan kegiatan bertilawah Al-Quran jika memang tumpukan buku lainnya telah habis terbaca semua? atau bagaimana jika dengan bermuroja’ah hafalan Al-Quran saja? seperti yang dulu pernah dilakukan saat masih TKA/TPA?

“Oh, maaf sebentar!”. Lantas kenapa saya harus melakukan kegiata-kegiatan positive itu di sisa waktu saat tak ada lagi kegiatan yang bisa dilakukan? kenapa tidak saya buat saja susunan kegiatannya dalam daily activity sebagai rutinitas baru? kenapa harus menjadi kegiatan pelarian di kala waktu kosong terbuang tanpa kegiatan yang pasti? bukankah salah satu tujuan perantauan ini adalah untuk membentuk habit baru yang lebih baik?

Pict from pinterest

dan kemudian setelah rintihan melalui sambungan telephone itu mengudara, terdengar sebaris kalimat yang seperti menampar lebar di kedua pipi:

“loh ko begitu, katanya kamu sendiri yang menasehati adik supaya uang tabungannya dibelikan buku saja jangan HP, kamu sendiri kan yang bilang sama adik kalau sebaik-baiknya teman duduk ialah buku? iya kan? waktu itu mamah dengar ko”

See, betapa angkuhnya saya sebagai manusia yang terlalu pandai mengatur dan memberi nasehat untuk hidup orang lain sementara untuk jalan kehidupan sendiri pun kadang terasa buntu. Seperti lupa bahwa apa yang disampaikan untuk orang lain sesungguhnya tertuju pula untuk diri sendiri.

Sejenak terdiam kemudian saya susun kembali tentang apa yang menjadi tujuan saya dalam mengisi kekosongan waktu. Untuk mencari keramaiankah? untuk membunuh sepikah? atau untuk berkegiatan yang bisa memberatkan timbangan amal kebaikan kelak?

Nna, uang tabunganmu udah lebih dari cukup nih buat beli smartphone.

Emh, kayanya aku mau mulai daftar kuliah aja deh. Gimana menurutmu?

Apa? kamu mau sekolah lagi? Ayo Nna, kita cari Universitas terbaik buat kamu 🙂

Skyline, 2012

Mengorbankan setiap waktu yang DIA berikan dengan berbagai kegiatan yang mungkin hanya menjadi pelengkap hari tanpa arti. Bukankah pada akhirnya setiap manusia diminta pertanggungjawabannya atas perkara yang paling sering diabaikannya? waktu, ilmu, harta dan nikmat sehatnya. Lalu kenapa masih harus mencari kegiatan yang bisa menjatuhkanmu dalam kelalaian kepada-Nya?

“maka apabila eungkau telah selesai (dari satu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain), dan hanya kepada Tuhanmulah eungkau berharap”

QS. 94 : 7-8

 

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #6: Melepaskan Prasangka

Sebagai manusia terkadang kita selalu diliputi oleh berbagai situasi dalam hidup ini, baik situasi yang kita suka atau situasi yang sama sekali tidak diharapkan. Tak jarang situasi tersebut membuat sebuah perubahan terhadap sikap, perasaan bahkan pikiran kita sendiri. Seolah dari berbagai situasi yang sedang dihadapi tersebut mengundang berbagai kontemplasi dalam hati kita, termasuk di dalamnya pun ada berbagai prasangka turut hadir meramaikannya.

Dalam usia perantauan saya yang baru berjalan hampir satu tahun kala itu, pernah sebuah fase hadir mempermainkan perasaan saya. Permainan yang kini bukan lagi sebuah permainan karena Alhamdulillah telah saya temukan sebuah makna yang berarti darinya. Makna yang kemudian menuntun saya untuk senantiasa berupaya dalam doa dan usaha sebelum kembali berserah kepada-Nya.

Adalah sebuah fase ketika saya belum cukup mengerti bahwa ada Dzat Yang Maha Berkehendak terhadap segala peristiwa yang terjadi.

“Jika sedihmu karena Ayah tak bisa mengantarmu sampai Stasiun, tak apa.

Jika sedihmu karena aku turut membersamai perjalananmu, juga tak apa.

tapi jika sedihmu karena berbagai prasangka yang mematikan langkahmu, bukankah itu artinya kamu sedang berprasangka juga terhadap Tuhanmu?

Maaf, tapi bukankah itu menunjukan ketidak-tahu-dirian-mu sebagai manusia?”

Someone, i hate so much

Apa? dia bilang apa? prasangka itu menunjukan betapa tidak tahu dirinya saya sebagai manusia? Apa sebenarnya prasangka yang selama ini saya cemaskan? kenapa prasangka itu bisa mencerminkan sikap buruk saya sebagai manusia?

Ah, ya! ternyata prasangka yang saat itu pernah membuat langkah kaki ini terasa berat, prasangka yang saat itu selalu berhasil menghadirkan kesedihan di detik keberangkatan saya ke tanah rantau, adalah tentang prasangka buruk tentang kedua orang tua yang selalu saya imajinasikan sendiri. “takut tiba-tiba orang tua jatuh sakit saat saya berada jauh dari mereka”, “takut tiba-tiba mendapat telephone bahwa ada kabar buruk yang menimpa mereka”, dan bahkan yang paling parah adalah ketika saya mencemaskan ketiadaan mereka lagi. “Takut mereka berumur pendek saat saya tidak berada di samping mereka”. Astaghfirullah, semoga Allah mengampuni semua prasangka buruk saya di masa lalu.

Tanpa disadari ternyata berbagai prasangka itu muncul karena satu sebab utama yang paling dasar dalam diri saya, sesuatu yang masih lemah dalam diri saya, sesuatu yang seharusnya setiap waktu saya beri asupan bergizi agar tetap kokoh, ialah Iman. Saya terlalu dibutakan oleh hal-hal yang bersifat duniawi, bahkan ketika membayangkan terjadinya sebuah kematian pun selalu terhubung dengan sebab-sebab keduaniawian. Padahal, bukankah takdir itu adalah sebuah ketetapan utuh dari-Nya? lantas kenapa saya sebagai manusia tidak meyakini itu?

Melalui sinyal-sinyal di udara kala itu, saya berkata:

“Ayah, aku ingin menyudahi perantauan ini. Cukup sampai bulan ini terakhir, setelah itu aku akan segera kembali lagi ke Bandung. Supaya bisa setiap hari ketemu Ayah, Mamah sama Adik.

Aku takut ayah, kemarin temanku yang rumahnya di Aceh mendadak terima kabar bahwa Kakaknya meninggal. Padahal temanku itu posisinya sedang di Jakarta. Aku nggak mau kaya gitu, aku mau terus tinggal di rumah aja”

Dan kini saat kalimat itu saya putar kembali dalam memori ingatan, rasanya seperti ingin berkata “betapa childish-nya kamu, Nna. Menjadikan takdir orang lain sebagai tolok ukur untuk mengeja takdirmu sendiri”. Bukankah itu artinya saya mendahului ketetapan Allah? Astaghfirullah.

Tak lama berselang terdengar suara di seberang sana menanggapi rintihanku:

“kematian itu bukan perpisahan, karena perpisahan itu adalah ketika salah satu anggota keluarga kita menghuni Surga sementara anggota lainnya terjerumus dalam Neraka. Jadi untuk apa kamu menyudahi perantauan ini hanya karena menakuti prasangka-prasangka burukmu itu? beristighfarlah, berwudhulah, dan dirikan sholat, kemudian memohon ampunlah atas semua prasangka-prasangka burukmu terhadap Allah”

Ayah,

Kemudian kembali saya menata ulang tentang apa yang menjadi tujuan saya dalam melakukan perantauan ini, apakah untuk beribadah pada Allah, untuk sekedar menuntut ilmu, untuk menantang dan mengukur kemandirian diri sendiri, atau hanya untuk mendapat simpati dari manusia lain? Begitu juga saat saya harus kembali pulang ke rumah, apakah tujuan kembalinya saya ke rumah karena menyerah terhadap berbagai ketakutan di tanah rantau, atau memang pulang ke rumah untuk menunaikan kewajiban ibadah lainnya.

Karena jika tujuan dalam berkegiatan apapun kembali saya utuhkan untuk tulus beribadah pada Allah, seharusnya saya bisa melepaskan berbagai prasangka yang selama ini mematikan tujuan ibadah ini dan berhenti mengkhawatirkan tentang hal-hal receh lainnya.

Just focus and keep istiqomah.

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran” (QS. Al-Baqarah: 186)

Lalu, bagaimana pada akhirnya saya melepaskan semua prasangka buruk “tentang orang tua” dalam hati saya?

Allohummaghfirlii waliwaalidayya warham humaa kamaa robbayaanii shaghiiraa

Setiap saya merasa cemas, saya berdo’a pada Allah dan percaya bahwa tiada Dzat Yang Maha Melindungi kecuali Allah SWT. Untuk seluruh anak rantau yang sedang berjarak dengan orang tua, semoga Allah menjaga orang tua kita semua, keluarga kita semua, di mana pun mereka berada, dari segala marabahaya, dari segala pengaruh buruk, dari segala tindak kejahatan juga dari hawa nafsu di dalam diri kita semua.

Salam,

el