Jejak Anak Rantau #18: Tentang Rumah yang Menua

Adakah yang menyadari bahwa ternyata dalam hitungan hari kita akan segera memasuki bulan suci Ramadan? Waktu berjalan terasa semakin cepat bukan? rasanya baru kemarin kita merayakan Idul Fitri, rasanya baru kemarin kita menutup tahun masehi, rasanya baru kemarin kita melakukan ini dan itu. Astaghfirullah, salah satu pertanda akhir zaman nyata di hadapan kita.

Oya, insyaAllah Ramadan ini adalah Ramadan ke delapanku di tanah rantau. Bagaimana rasanya? hmm, tak ada yang berbeda. Semua sama, meski selalu menikmati santap sahur dan iftar tanpa keluarga, tapi ada teman-teman baru yang rasanya seperti keluarga. Alhamdulillah.

By the way bicara tentang momen awal bulan Ramadan, aku pernah mengalami suasana yang sangat berbeda, yaitu ketika berada di tahun ketiga usia perantauan. Kenapa? karena malam pertama tarawih di tahun tersebut adalah malam pertamaku pindah dari rumah kost yang lama ke rumah kost yang baru, seiring dengan perpindahan dinasku dari kantor cabang ke kantor pusat.

Awalnya aku menemukan banyak kendala yang memberatkan ketika harus memutuskan untuk pindah, mulai dari rumah kostnya yang terlihat sangat tua dan mulai rapuh, lingkungannya yang sepi, sistem sharing pada pantry dan bathroomnya, sampai kondisi ibu kostnya adalah seorang non muslim. Semua kendala semakin membuatku takut ketika pada kenyataannya bulan Ramadan telah di depan mata. Aku membayangkan kesulitan-kesulitan yang akan muncul, sulitnya memasak makanan untuk sahur dengan satu pantry yang digunakan oleh tujuh anak kost, belum lagi mempertanyakan apakah tidak masalah bagi ibu kostnya yang seorang non muslim jika aku beraktivitas di waktu dini hari?

Rasanya nilai plus dari rumah kost baruku saat itu hanyalah jarak menuju kampus menjadi lebih dekat. Selebihnya, nothing.

Aku pernah mencari rumah kost lainnya yang lebih nyaman dan available namun ternyata belum berjodoh dengan alasan selalu full booked. Akhirnya dengan berat hati aku berusaha keras menerima ketetapan yang ada.

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”

Al-Baqarah;216

Di hari sebelumnya aku telah menyiapkan diri bahwa mungkin saja aku akan mengalami “culture shock lagi?” But you know what? all my prejudice is wrong! Benar kata pepatah, bahwa kita tidak boleh menilai segala sesuatu hanya berdasarkan apa yang terlihat di depan mata. “don’t judge book by cover” dan juga benar adanya bahwa “prasangka adalah pembicara paling dusta” apalagi jika prasangka-prasangka tersebut tidak berdasarkan pada sesuatu yang baik.

Seperti hari itu, yang membuktikan bahwa pada kenyataannya semua prasangka yang aku sangkakan sejak awal adalah sebuah kesalahan besar. Setelah melewati satu malam dan satu waktu sahur di rumah kost yang baru, aku seperti menemukan “rumah” tempat aku kembali pulang. Suasana hangat karena ada kebersamaan ketika makan sahur, bahkan ibu kostku yang seorang non muslim, yang pada awalnya aku sangka akan marah karena aktivitas memasak di waktu dini hari, ternyata tidak marah sama sekali. Justru beliau yang menjamu seluruh anak kost, beliau bahkan rela bangun lebih pagi untuk menyiapkan makanan bagi seluruh anak kost yang berpuasa. Maa Sya Allah

Pict: Pinterest

Lalu bagaimana dengan masalah tentang kondisi fisik rumah kost yang kamu keluhkan tua?

Entah kenapa, tiba-tiba kendala itu tidak menjadi suatu masalah yang berarti lagi bagiku. Kamarku saat itu mungkin memang tidak sebagus dan semewah saat pertama, tapi ada perasaan lebih hangat yang aku dapatkan di rumah kost yang baru. Kehidupan sosial antar teman yang semuanya adalah perempuan mungkin menjadi salah satu alasan rasa nyaman itu hadir menutup kekhawatiran akan culture shock yang selalu aku bayang-bayangkan sebelumnya. Dan mungkin benar, bahwa “rumah” yang nyaman bukanlah soal megah tidaknya bangunan, tapi tentang baik atau tidaknya hubungan sosial yang ada di dalamnya.

Kini momen itu telah berlalu bertahun-tahun, rumah tua ternyaman itu semakin hari semakin menua, ia tidak bisa lagi aku tempati sejak tiga Ramadan berlalu. Ibu kost yang sudah sangat sepuh memilih untuk menjualnya dengan alasan ingin memiliki rumah yang lebih tenang di sebuah desa yang jauh dari hiruk pikuk keramaian ibu kota. Berjalan menuju kantor dengan melewati rumah tua itu, bagiku adalah sebuah pemandangan yang cukup berkesan, karena ada banyak cerita baik darinya.

Kini, Ramadanku yang ke delapan akan segera tiba. Semoga aku dan kalian bisa menyelesaikan setiap misi terbaiknya. Jadi, selamat mempersipkan segala sesuatunya yaa.

 

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #17: Belajar dari Sebuah Negeri

Assalamu’alaikum teman-teman, apa kabarnya long weekend kalian? Semoga seluruh rangkaian acara teman-teman berjalan dengan baik yaa. Meski terdengar beberapa berita yang tidak menyenangkan dari Negeri kita pasca ***pres, tapi semoga teman-teman tetap semangat memperjuangkan segala kebaikan, mengambil pelajaran dari apa yang sedang terjadi dan semoga Allah SWT segera menurunkan pertolongan-Nya untuk Negeri kita tercinta. Aamiin.

Jangan lupa berdo’a yaa teman-teman :’)

Di serial ke 17 ini sebenarnya saya ingin membahas tema lain, tapi karena momennya kurang pas dengan kondisi sekarang, oleh karena itu saya memilih untuk mengesampingkannya dan menggantikan dengan tema yang lebih sesuai.

Jadi aku mau bahas apa cenah?

Baiklah, sekitar tahun 2014 awal aku mulai dipindah tugaskan oleh perusahaan dari kantor cabang ke kantor pusat. Posisi kantornya Alhamdulillah berada di kawasan ring 2 Ibu Kota (berjarak 1 km dari Istana Negara), sehingga sejak saat itu aku lebih sering melihat, mendengar dan merasakan hampir semua peristiwa yang berhubungan dengan kenegaraan.

Mulai dari aksi demonstrasi sampai peristiwa teror BOM yang menyerang sebuah pos polisi di kawasan M.H Thamrin dan tepatnya lokasi tersebut berjarak sekitar 500 meter dari kantor tempat aku bekerja. Bagaimana rasanya? nano-nano.

Di sisi lain aku merasa bangga bisa berkantor di wilayah tersebut, selain bisa menikmati infrastruktur yang semakin canggih, lokasinya juga strategis dan lebih dekat dengan lokasi kampusku. Tetapi di sisi lain aku juga merasa tidak nyaman jika suatu peristiwa “panas” sedang terjadi dengan Negeri ini. Aksi demonstrasi yang menimbulkan kericuhan sampai teror BOM seperti yang telah diceritakan di atas.

Pernah suatu pekan dosen Psikodiagnostik membatalkan kelas pagi karena akses menuju kampus tidak memungkinkan untuk dilalui, pantauan saat itu sedang terjadi kericuhan masa pendemo sejak malam hari.

Pernah juga pihak management di kantorku memulangkan 3 jam lebih cepat seluruh karyawan karena hari itu pemerintah mengeluarkan himbauan terkait adanya aksi demonstrasi besar, bahkan statusnya sudah siaga satu.

Mendengar semua kabar itu, salah satu kerabatku di Bandung meminta aku untuk segera pulang ke Bandung demi menghindari kericuhan ibu kota. Kakek dan nenek bahkan menyuruhku untuk mengurus berkas resign agar aku segera meninggalkan ibu kota selamanya, karena mereka semakin beranggapan bahwa kota itu tidak aman untuk aku sebagai anak perempuan sendirian.

Tapi Alhamdulillah kedua orang tuaku justru selalu mendukungku, mengirimkan berbait-bait doa untuk keselamatanku dan selalu membantu memberikan pilihan-pilihan terbaik, hingga pada akhirnya aku bisa survive sampai saat ini.

Tanpa aku sadari, ternyata memang begitu banyak hal yang bisa aku pelajari dari Negeri ini, dari berbagai peristiwa yang terjadi padanya, tentang ketabahan ibu pertiwi menghadapi setumpuk masalah yang beraneka ragam. Tentang masyarakatnya yang senantiasa saling berjuang menjaga bumi pertiwi.

“Aku melihatnya dari sini, jauh berribu-ribu kilometer. Tak ada yang kulihat selain dari keindahan yang harus sama-sama kita jaga, jika tujuanku di awal pergi dari Indonesia adalah untuk menghindarinya, kini setelah aku meneropong dari sini, tujuanku berubah Nna, aku pergi untuk kembali membangun Indonesia ketika pulang nanti”

Itulah sebait pesan dari seorang kawan yang sedang berjuang di sana. Pesan yang kemudian mengubah pandanganku bahwa sesungguhnya jejak perntauan itu bukan tentang siapa yang paling jauh dan siapa yang paling keren, tapi jejak perantauan itu tentang seberapa besar manfaat yang bisa kita tabur di tanah tempat kita berdiri. Seberapa banyak pelajaran yang bisa kita petik dari sebuah Negeri, dan bertanggung jawab membawa nama baik bangsa.

Seberapa tinggi kontribusi kita terhadap suatu bangsa tidak harus dilihat dari seberapa jauh dan seberapa keren tempat perantauan kita. Karena, bukankah untuk menjadi manfaat tidak memerlukan status itu? Dan bukankah kontribusi kita terhadap bangsa ini tidak pernah terbatas jarak dan waktu?

Ya, dan jawabannya hanya memang tentang “bersedia atau tidaknya” diri kita dalam memperjuangkan sebuah kebaikan.

Sebagai seorang hamba, sebagai anak bangsa, dan sebagai manusia yang diberi akal, tentu kita tidak boleh melupakan tugas sebagai penyampai kebaikan hingga kebaikan itu menjadi sebuah rantai yang terus memanjang dan tak terputus.

Untuk menjalankan tugas itu, akan banyak kita temui berbagai tantangan, tetapi terkadang kita lupa bahwa kita punya sejarah yang siap menjadi bekal pembelajaran dalam menghadapi tantang itu.

Meminjam istilah dari Edgar Hamas, because smart people learn from history. Ada apa dengan kondisi bangsamu hari ini? Belajarlah dari sejarah. Karena hari ini kita sedang menulis ulang “sejarah”.

 

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #16: Ragam Tanya

Terkadang dalam kehidupan sebagai makhluk sosial, kita selalu bertemu dengan ragam tanya yang sulit untuk dijawab. Meski pertanyaan-pertanyaan itu mudah terucap dari mulut-mulut mereka, namun entah kenapa terasa sulit dan bahkan menelisik perasaan sesak di hati ketika kita ingin menjawabnya.

Bagi mereka yang baru saja lulus sekolah dan sedang mencari pekerjaan atau beasiswa, tak jarang mereka mendapatkan tanya seputar statusnya yang masih juga belum bekerja atau kuliah. Alih-alih mendoakan supaya segera mendapatkan pekerjaan yang baik atau beasiswa, justru yang diterimanya adalah ragam tanya yang mengarah pada judging sebagai pengangguran.

“kenapa belum kerja juga? emang gak bosan nganggur di rumah terus? udah coba melamar ke perusahaan X belum? atau ke perusahaan Y? coba deh! banyak kok lowongan kerja kalau kamu mau cari”

Seolah yang mereka ketahui tentang kita hanyalah kemalasan diri sendiri dalam mencari pekerjaan. Mereka mengesampingkan segala kemungkinan bahwa mungkin saja kita telah berusaha apply sana sini tetapi belum juga mendapatkan panggilan interview. Mereka juga mengesampingkan kemungkinan bahwa mungkin saja kita tidak melamar pekerjaan karena sedang membangun sebuah usaha untuk menciptakan lapangan pekerjaan.

Picture: Pinterest

Bagi mereka mahasiswa tingkat akhir, tak jarang pula mereka mendapatkan ragam tanya yang juga sulit untuk dijawabnya. Kiranya memotivasi untuk kelancaran tugas akhirnya, namun justru mereka memberikan ragam tanya sambil membandingkan dengan progress yang dilakukan oleh orang lain.

“kenapa baru sampai Bab sekian? emang ga pernah bimbingan yah? coba lihat si anu, dia tuh cepet banget progressnya udah selesai Bab sekian, bahkan sekarang dia udah ambil data. Kamu ga takut ketinggalan?”

Seolah yang mereka pikirkan dalam penyusunan tugas akhir hanyalah tentang siapa yang paling cepat, mereka melupakan bahwa kemampuan setiap orang berbeda, mereka menolak segala kemungkinan bahwa kita pun sedang berjuang menyempurnakan kata demi kata dalam penyusunan tugas akhir. Sampai mengorbankan waktu berkumpul dengan keluarga bahkan lupa rasanya hang out atau sekadar me-time.

Bagi mereka yang sedang membangun karir, juga tak jarang mendapatkan ragam tanya yang sulit untuk dijawab. Bahkan ketika karirnya telah sampai pada puncak pencapaiannya, ragam tanya itu tak lantas hilang, namun ia hadir dengan topik yang baru, tentang status dirinya yang masih juga belum menggenap.

“karir udah oke, ko masih sendirian? kapan mau nikah? karir terus yang dikejar, cinta juga diupayakan dong”

Rasanya ingin menghela nafas panjang mendenger semua ragam tanya tersebut. Pernahkah teman-teman menerima serangkaian tanya yang diam-diam menelisik ke dalam hati? alih-alih kita menjawab tanya mereka, kita justru merasa tak ingin lagi bertemu dengan mereka. Merasa takut dan terluka dengan ragam tanya yang mungkin bagi mereka adalah pertanyaan sederhana pada umumnya.

Sebagai anak rantau aku pernah mendapatkan sepaket ragam tanya di atas, momentnya biasanya terjadi ketika aku pulang ke kampung halaman dan bersilaturrahim dengan keluarga, teman atau tetangga. Terkadang pertanyaan itu terlihat basa-basi untuk sekadar menyapaku yang telah lama tidak jumpa dengan mereka, tapi bagiku hal itu pernah terasa “basi sungguhan” dibanding “basa-basi” biasa.

Jika sudah mendapatkan ragam tanya seperti itu, rasanya ingin mendeskripsikan tentang apa saja yang sedang aku lakukan beserta alasan-alasannya. Tapi, bukankah hal itu menjadi sesuatu yang tidak penting bagi mereka? karena apapun dan bagaimanapun yang kita lakukan sebenarnya akan selalu memiliki pandangan tersendiri di sisi mereka sebagai yang memandang.

Apabila sudah mendapatkan pengalaman yang demikian, biasanya yang paling berperan mengatasi rasa tidak nyaman yang aku rasakan adalah orang tua. Mereka sering memberikan nasehat demi memastikan supaya anaknya “nggak kapok” untuk pulang lagi ke kampung halaman.

Seperti, nasehat mamah di sore itu ketika aku pulang dari rumah kerabat:

“Jangan dimasukan ke dalam hati, dan jangan pula kamu menjelaskan pada mereka. Jawab saja “iya insyaAllah” atau “iya mohon doanya” sambil kamu bersabar. dan yang paling penting adalah jangan ubah pilihan hidupmu hanya karena pertanyaan orang lain”

-Mamah-

Karena hati siapa yang tidak goyah (meski sedikit) ketika mendapatkan ragam tanya demikian. Dan terkadang kegoyahan hati itu seperti membujuk diri untuk mempertimbangkan lagi tentang pilihan-pilihan hidup yang telah kita buat. Meragukan diri dan mulai banyak terdiam memikirkan “apa kata orang” dibanding melanjutkan produktivitas seperti biasanya.

Yap! dan aku terkadang selalu terjebak dalam kondisi-kondisi seperti itu. Namun pada akhirnya hatiku pun terbuka lagi, bahwa segala sesuatu yang kita lakukan memang akan selalu bertemu dengan berbagai tantangan. Bukan untuk membuat kita ragu, bukan juga untuk meruntuhkan menara-menara impian yang telah kita bangun. Tapi semua tantangan itu hadir untuk semakin menguatkan kualitas diri.

Akankah kita rapuh dengan perbedaan pandangan orang-orang terhadap kita? ataukah justru kita semakin kuat karenanya?

***

“Bila kamu adalah seorang Anak lulusan SMA yang sedang mencari pekerjaan atau apply beasiswa, katakan pada mereka yang bertanya tentang kelanjutan studimu, bahwa kamu sedang berjuang mandiri dengan tidak membebani kedua orang tua”

“Bila kamu adalah seorang Mahasiswa tingkat akhir yang sedang berjuang menyelesaikan Skripsi, Thesis dan Disertasi, katakan pada mereka yang bertanya tentang kapan kamu akan menikah, bahwa kamu sedang berjuang menjadi seorang yang terdidik akhlaknya, moralnya dan etikanya demi kebahagiaan suami/istri dan anak-anakmu kelak”

Katakan pada mereka bahwa Tuhan sudah menyiapkan waktu terbaik untukmu.

salam,

el

Jejak Anak Rantau #15: Katanya, Kamu Sombong

Semester tiga perkuliahan adalah masa ketika aku mulai dihadang oleh berbagai tugas kuliah yang sangat banyak. Belum lagi management waktu yang mulai tak tersusun dengan baik membuatku semakin sulit menyesuaikan antara waktu untuk istirahat dan beraktivitas. Bahkan karena semua kesibukan itu, aku harus tertahan tidak bisa pulang ke Bandung selama beberapa bulan. Tugas-tugas yang seharusnya bisa diselesaikan di hari sebelum weekend, pada akhirnya auto reschedule semua.

Pernah suatu hari ketika agenda sedang menumpuk, aku mendapatkan invite group whatsapp yang isinya adalah teman-teman lama di Bandung.  Dari obrolan mereka yang aku simpulkan pada intinya adalah akan diadakan sebuah acara silaturrahim semua anggota. Mereka saling bersepakat menentukan tanggal dan tempat acara, melakukan voting demi memastikan agar semua anggota bisa hadir. Lalu bagaimana denganku?

Karena masih merasa sibuk dengan tugas-tugas kuliah yang harus diselesaikan hari itu, akhirnya  tanpa melihat kapan dan di mana acara tersebut akan diselenggarakan, aku hanya menjawab bahwa aku akan mendukung semua keputusan mereka. Hingga pada suatu malam ketika aku mulai merebahkan tubuhku di atas kasur seraya menghela nafas panjang, aku mulai membuka kembali ruang chat dalam group tersebut setelah sekian hari tak pernah dibuka.

Kembali aku mulai membaca serta memahami satu per satu chat yang dikirimkan oleh teman-temanku, dan tiba-tiba jariku terhenti pada sebuah chat yang dikirimkan oleh seorang teman yang menjadi admin dalam group tersebut. Ia kembali mengingatkan bahwa acara yang akan diselenggarakan adalah tanggal sekian dan di tempat “x”.

Aku ingat, bahwa hari itu memang bertepatan dengan jadwal pulang ke Bandung setelah berbulan-bulan lamanya tidak pulang. Tapi karena ada beberapa agenda keluarga yang tidak bisa di reschedule akhirnya dengan perasaan tanpa beban aku membatalkan acara dengan teman-temanku. Awalnya aku berpikir bahwa mereka bisa mengerti keputusanku, tapi ternyata hal lain mengubah pandanganku ketika seorang teman meluapkan emosinya.

me: “loh acaranya itu tanggal sekian yah, yah maaf kalau tanggal segitu mah aku ga bisa ikut. lagian aku udah ada acara keluarga dan lokasinya jauh dari tempat yang kalian setting”

someone: “loh, kan ini sesuai dengan hasil voting kita kemarin. emang kamu ga baca dulu sebelum ngasih tanda persetujuan kemarin?”

another someone: “Lagian kamu kemana aja sih Nna, dari kemarin cuma jadi silent reader doank. Kamu beneran sibuk? Kamu sombong deh sekarang!”

Jleb. Rasanya seperti ada yang melemparkan cermin padaku. Memintaku untuk berkaca tentang semua yang telah aku perbuat. Benarkah selama ini hanya kepura-puraan? sesombong itukah aku? atau jangan-jangan memang benar, bahwa semua aktivitas yang aku lakukan adalah buah dari ketidak disiplinanku terhadap waktu hingga akhirnya aku menjadi seorang yang payah.

20190406_134104_0000.png

Menganggap bahwa sebuah janji temu yang telah dibentuk terasa tidak begitu penting sampai aku dengan mudahnya mengabaikan, padahal mungkin maksudnya ada silaturrahim yang ingin kembali dibangun. Menganggap bahwa candaan haha hihi dalam sebuah group chatting seperti suara yang mengganggu, padahal mungkin maksudnya ada rindu yang ingin disampaikan.

Mungkin, di luar sana ada banyak orang yang telah mengorbankan beberapa menit waktu sibuknya hanya untuk menyapa kita, memastikan bahwa kita sedang berada dalam kondisi yang baik-baik saja. Mungkin mereka yang bertanya tentang kesibukan kita bukan hanya karena sebatas basa-basi ingin tahu, lebih dari itu mungkin karena mereka tulus ingin memasatikan bahwa di tengah kesibukan kita, kita tidak lupa untuk menjalankan kehidupan sosial dengan orang-orang di sekitar kita sebagai wujud dari habluminannas yang harus kita aktualisasikan.

Lalu pertanyaannya, jika habluminannas kita masih terkotak-kotak dengan kesibukan yang tiada henti. Lantas apa kabarnya habluminallah kita? sudahkah kita mengaktualisasikannya dengan baik? atau bahkan mungkin masih saja terkotak-kotak dengan kesibukan sama yang tiada henti. Kesibukan yang bahkan tak memiliki arti untuk timbangan amal kebaikan kita kelak. Jika begitu adanya, bukankah kini sudah saatnya bagi kita untuk kembali menata tentang apa yang menjadi life goals perjalanan hidup kita?

***

Teman, semoga kalian berkenan mendoakan agar kisahku di atas bisa menjadi sebuah pembelajaran yang berarti untuk perjalanan hidupku dan hidupmu selanjutnya. Sehingga tiada lagi kesia-siaan yang kita lakukan sepanjang waktu melaju.

 

Salam,

el