Jejak Anak Rantau #40: Tanpa Banyak Dialog, Aku Memilih Jalan yang Berbeda

Satu pekan kemarin, bagiku adalah hari-hari yang membosankan. Aku merasa rutinitasku tak pernah berubah. Melakukan hal yang sama sepanjang hari, dengan aktivitas yang “itu itu lagi”. Hingga rasa bosan itu membuatku turut merasa bahwa semua yang aku lakukan, bisa kulakukan tanpa berpikir rumit karena semua adalah bentuk dari sebuah repeticion. Seolah semuanya berjalan secara otomatis.

Aku bertanya dalam hati, bagaimana dengan orang yang kehidupannya hanya diisi dengan satu kegiatan setiap hari. Mungkin jika aku berada di posisi mereka, rasa bosan itu akan semakin meninggi levelnya. Tetapi, pun ada mereka yang tetap merasa enjoy, nyaman menjalani kondisi yang demikian.

Pertanyaannya, bagaimana bisa?

✨Get ready for Winter Walks along Southbank ❄️❄️❄️ ✨ 📷Amazing shot by @j_r_photography 😍 ⠀ Mark your photo with tag #londoncityworld and…

Picture: Pinterest

Aku kembali berkontemplasi dengan diriku. Aku kembali menyusun sebuah list tentang apa apa saja yang sedang aku inginkan saat ini. Mulai dari kegiatan seperti apa, bagaimana aku melakukannya, dan kenapa aku ingin melakukannya. Semua pemikiran itu menggiringku terhadap sebuah option, bahwa aku merasa harus mulai beranjak dari zonaku saat ini. Zona yang orang bilang nyaman, tetapi tidak lagi untukku.

Pekerjaan, lingkungan tempat aku berinteraksi, hingga semua yang berkaitan dengannya telah berhasil membuatku merasa seperti.. “enough, i want to leave soon!!”

Aku mencoba melihat sisi lain dari keinginanku, aku berusaha kembali untuk menyapanya, berdiskusi dengannya tentang apa yang sesungguhnya menjadi inginku. Aku menghampirinya dalam kondisi telah siap untuk pergi. Namun dari hasil berdiskusi dengan diriku sendiri, tak kudapati apapun selain luka yang entah telah berapa lama aku abaikan. hmm.. kini aku tau, apa yang harus aku lakukan sebagai bentuk pertolongan pertama untuk diriku sendiri.

Di sebuah penghujung hari, aku mencoba hal baru yang sebelumnya belum pernah kulakukan. Selepas menyelesaikan semua aktivitas di hari itu, aku mencoba untuk memilih jalan pulang yang berbeda, lebih jauh, lebih effort, tapi aku merasa aku harus mencobanya demi memulihkan “luka” yang entah sejak kapan ada di dalam diriku.

Dan, ya! yang kudapati sepanjang perjalanan adalah “view” yang cukup berragam. Semua yang kulihat telah berhasil memberikan perspektif dan sudut pandang baru tentang sebuah kehidupan yang sebelumnya kurasa bosan dan ingin meninggalkannya .  Aku tertunduk dan berpikir, mungkin tindakan yang kuambil sebelumnya terlalu berbalut emosi karena luka, terburu-buru sampai aku merasa ingin pergi.

Sementara di luar sana, masih ada pihak yang harus menjalankan perannya dengan tertatih menahan letih yang tak biasa. Aku? rasanya belum seberapa jika dibandingkan dengan mereka. Tapi sekarang, aku tidak ingin membandingkan diriku dengan mereka. Aku hanya ingin membandingkan diriku sendiri, aku yang sekarang dengan aku yang dulu.

Tak adil rasanya jika dalam kondisi yang “luka” nya belum pulih, kembali harus kubuat luka disebabkan comparing with other.

Karena bagiku, memilih jalan yang berbeda ini tak ada tujuan lain kecuali untuk melihat sisi lain dalam diriku sendiri, berupaya agar rasa syukur yang telah lama hilang bisa kembali hadir, membalut luka meredam emosi. Menjelaskan pada diriku bahwa aku tak perlu pergi, aku hanya harus berhenti sejenak melihat jalan yang berbeda dan mengikutinya. Jika aku menemukan persimpangan lalu kehilangan arah, bukankah itu saatnya bagiku untuk kembali melihat peta hidupku?

 

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #39: Let’s Change From Good to be Great

Satu tahun terakhir ini aku terlibat dalam sebuah project change management di tempat aku bekerja. Project ini menurut hematku adalah sebuah misi yang digaungkan oleh perusahaan dalam rangka membawa seluruh karyawannya untuk bermigrasi terhadap sistem baru.

Bicara soal sistem, mau tidak mau sumber daya manusianya pun harus ikut dipersiapkan dengan perubahan yang akan terjadi nanti. Karena sehebat apapun sistem tersebut akan selalu butuh individu-individu sebagai penggeraknya, maka singkatnya jika sebuah sistem sudah ready, tetapi sumber daya manusianya not ready maka perubahan yang menjadi misi perusahaan tidak akan sukses terlaksana. Begitu juga sebaliknya, jika sumber daya manusianya telah ready, tetapi sistem yang mendukung masih tergulung masalah, maka perubahan pun tak kunjung tercapai.

Dengan masalah di atas maka solusi terbaiknya adalah mempersiapkan keduanya supaya sama-sama siap untuk menghadapi perubahan. Bagaimana caranya? bisa dengan melakukan pelatihan untuk seluruh pihak yang akan terlibat, mengedukasi tiap-tiap individu tentang manfaat dari perubahan itu apa, juga menguji coba sistem yang akan menjadi key point dalam suatu perubahan yang dimaksudkan.

Selama keterlibatan aku dalam tim tersebut, kembali aku belajar tentang banyak hal. Mulai dari apa saja yang perlu dipersiapkan untuk perubahan tersebut, masalah-masalah apa saja yang kemungkinan akan timbul di hari pertama perubahan itu release sekaligus bagaimana penanganannya, plus mengantisipasi sebagian orang yang masuk dalam kelompok “menolak perubahan”.

Ya, dan ternyata tidak selamanya sesuatu yang kita sampaikan itu baik, akan disambut dengan antusiasme yang baik pula dari khalayak yang menjadi sasaran kita. Karena fakta di lapangan yang aku temukan adalah karakter orang dalam menyikapi perubahan itu sangat berbeda-beda.

Ada yang merasa bahwa sistem yang dijalani saat ini adalah sebuah comfort zone yang sebaiknya tidak perlu diperbaiki lagi. Ada yang merasa telah memiliki semangat di awal untuk berubah tapi tiba-tiba berbalik 180 derajat ketika ia dihadapkan pada permasalahan di tahap awal. Tapi ada juga yang yakin bahwa perubahan tersebut akan berarah pada perbaikan maka ia hadapi setiap masalahnya dengan penuh pembelajaran.

Melihat dari perjalanan project tersebut, aku jadi teringat tentang misi setiap manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya. Tentang bagaimana perubahan kita sebagai individu dari sejak baru terlahir hingga hari ini. Kehidupan kita tentu tak luput dari perubahan yang di dalamnya akan selalu ada pembelajaran.

Bagaimana ketika kita tidak bisa berjalan kemudian menjadi bisa. Di antara tahapan tersebut ada proses jatuh bangun yang mau tidak mau harus kita lalui. Bagaimana ketika kita tidak bisa membaca kemudian menjadi bisa. Di antara tahapannya pun ada proses yang tak mudah yang harus kita lalui.

Sehingga itulah mungkin yang dikatakan apabila kita tidak mau berubah, maka kita sedang menentang Sunnatullah (Ustadz Fatih Karim, 2018). Jika kita memilih untuk menjadi individu yang tidak memiliki keinginan untuk bisa membaca, bagaimana kita mau beribadah menjemput ilmu Allah? Jika kita memilih untuk menjadi individu yang tidak memiliki keinginan untuk bisa berjalan, bagaimana bisa kita menjadi manfaat untuk lingkungan?

Dan perubahan pun tidak selalu dari tidak mampu menjadi mampu, tetapi perubahan juga dari mampu menjadi expert. Artinya, meski kita sudah merasa mampu dalam mengerjakan suatu hal, kita masih bisa upgrade kemampuan tersebut agar menjadi expert.

Write your first poem!

Picture: Pinterest

Lalu, bagaimana agar setiap perubahan itu bisa kita jalani dengan sabar?

Aku rasa setiap orang setuju bahwa satu-satunya yang bisa mendorong kita untuk berubah ke arah yang lebih baik, satu-satunya yang bisa membuat kita survive terhadap berbagai ujian yang menghadang dalam sebuah perubahan, adalah sebuah motivasi dalam diri.

Dan menurutku, menjadikan spiritual company sebagai motivasi tertinggi adalah hal yang harus dimiliki oleh setiap individu. Bukan materi, juga bukan yang lainnya. Karena bukankah sudah seharusnya bagi kita untuk selalu melibatkan Tuhan dalam setiap aspek kehidupan ini? Ya, sprititual company di sini maksudnya adalah Tuhan, bukan Manager, Genearal Manager, atau Direksi.

Karena jika kita menjadikan Tuhan sebagai motivasi tertinggi dalam setiap aspek kehidupan, bukankah proses dalam setiap perubahan itu akan menjadi lebih bernilai keberkahannya?

So guys as a better muslim, Let’s change from good to be great.

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #38: Ternyata Kita Semua adalah Para Perantau

Assalamu’alaikum, selamat malam teman-teman. Pertama-tama, terlebih dahulu saya ingin menyampaikan ucapan bela sungkawa atas wafatnya Presiden RI yang ke-3, Bapak B. J. Habibie. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Semoga beliau wafat dalam keadaan husnul khotimah, semoga seluruh amal ibadahnya diterima di sisi Allah SWT dan semoga diampuni seluruh dosa-dosanya, aamiin.

Tentunya kabar duka ini tak hanya dirasakan oleh keluarga yang ditinggalkan, akan tetapi juga menjadi kabar duka yang memberatkan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak, kini ibu pertiwi harus kembali kehilangan salah satu tokoh terbaik yang pernah dimilikinya. Seorang yang bukan hanya cerdas dan mampu membuat pesawat terbang, tetapi juga seorang yang mampu menyelaraskan antara Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan IMTAQ atau Iman dan Taqwa. Seorang cendikiawan muslim, seorang inspirator untuk semua kalangan.

Menyimak kisahnya, ternyata secara tidak langsung ada banyak sekali pesan yang telah beliau tebarkan kepada setiap orang. Pesan atau motivasi itu kemudian menjadi sebuah nilai-nilai kebaikan yang terus mengalir bagi semua pihak. Salah satu di antaranya adalah pesan tentang kebermanfaatan kita sebagai seorang manusia yang hidup di dunia.

“Jadilah mata air,

Bila kamu baik maka di sekitarmu pun juga akan baik.

Bila kamu kotor maka di sekitarmu pun juga akan kotor”

Kini kita pun harus bersepakat, sama-sama mengakui bahwa sebenarnya apa yang kita lakukan di dunia ini adalah untuk mencari perbekalan dalam rangka kembali pulang kepada-Nya. Sehingga hal itu seharusnya sudah cukup menjadi dorongan agar kita selalu berusaha melakukan kebaikan dengan cara-cara yang baik.

Ternyata dengan bersepakat mengakui bahwa kehidupan dunia ini hanya sekadar persinggahan, kita semua menjadi tersadar bahwa kita adalah bagian dari para perantau yang sedang menunggu giliran untuk kembali pulang ke kampung halaman di keabadian.

Ternyata kita semua adalah para perantau yang tidak menyadari bahwa waktu kepulangan kita adalah sesuatu yang rahasia. Ternyata kita semua adalah para perantau yang tidak menyadari bahwa diri kita telah terjerumus jauh dalam kenikmatan duniawi. Dan ternyata, kita semua adalah para perantau yang masih butuh banyak reminder untuk selalu melakukan berbagai kebaikan dengan niat yang suci.

Lalu pertanyaannya, sudahkah kita melakukan aktivitas yang bisa menambah timbangan amal kebaikan di akhirat kelak? sudahkah perbekalan yang kita kumpulkan selama ini cukup untuk menjadi teman perjalanan ke kehidupan berikutnya yang sangat panjang?

Malu rasanya mengajukan pertanyaan tersebut pada diri kita sendiri, ketika kita menyadari bahwa masih terlalu sedikit perbekalan yang kita persiapkan. Terkadang kita lupa, bahwa dalam melakukan sebuah aktivitas, ada niat yang harus selalu kita jaga kesuciannya agar tetap bernilai kebaikan di sisi-Nya.

Di antara sekian banyak aktivitas yang kita lakukan, mungkin kadang terselip aktivitas yang secara tidak sadar menjerumuskan kita pada jalan yang salah, hingga semua itu membuat kita lupa bahwa semua yang kita lakukan akan diminta pertanggung-jawabannya.

Semoga, cermin kehidupan yang selama ini kita gunakan mampu menjadi petunjuk bagi kita untuk menuju arah yang baik.

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #37: Jika Aku Menyerah.

Membiarkan pondasi-pondasi mimpi menjadi runtuh rasanya adalah sebuah keputusan yang tidak tepat dan terlihat menyedihkan. Apalagi jika alasannya sebatas tak kuasa dengan berbagai tantangan yang menghadang di depan mata. Seakan setiap benteng yang menjulang tinggi selalu sampai pada ujung langit tertinggi. “Terkadang aku lupa, bahwa benteng itu tak pernah sampai pada ujungnya, maka seharusnya aku bisa melewatinya dengan cara naik menggapai celahnya untuk kemudian terjun bebas memunggungi benteng tersebut“. Ya, sebuah teori yang sempurna bagi seseorang yang telah menggapai tujuannya, bukan?

Aku pernah merasa lelah dan ingin menyerah saja terhadap semua ambisi yang menjadi alasanku untuk terus maju. Bahkan, untuk sekadar membicarakannya saja menjadi sebuah kemalasan tersendiri untukku. Tidak bersemangat dan seperti hilang harapan.

Sesekali aku bertanya ulang pada diriku sendiri, “kenapa semua ini membuatku bosan? bukankah diriku sendiri yang berkata bahwa setiap perjuangan ini akan berbuah manis?”. Oh ya, mungkin tujuanku masih selalu berorientasi pada hasil yang manis, padahal faktanya sisi lain dari diriku sendiri pun tau bahwa yang menjadi tujuan dalam setiap misi adalah bukan seperti apa hasilnya nanti. Akan tetapi seperti apa cara yang kita gunakan dalam menjalani proses yang harus dilaluinya.

Apakah cara-cara yang kita gunakan telah sejalan dengan prosedur yang menjadi ketetapan-Nya atau justru cara yang kita gunakan bertentangan dengan norma yang seharusnya? Bahkan mungkin seharusnya kita bersikap “tak peduli” pada hasil. Karena, bukankah hasil itu adalah ranahnya Tuhan? Tugas kita hanya berikhtiar dan menerima segala ketetapan-Nya, bukan? Ya, kita memang harus lebih aware terhadap level usaha yang kita lakukan tanpa harus menuhankannya.

Picture: Pinterest

Lalu, bagaimana jika aku menyerah saja?

Menyerah karena merasa kehilangan banyak energi oleh berbagai hal yang bersifat abu-abu rasanya tidak cukup menjadi alasan untuk kita menyerah. Bahkan, seharusnya tidak pernah ada alasan untuk kita menyerah dalam menjalani sebuah kebaikan, apalagi jika misi kebaikan itu langsung terkoneksi dengan Tuhan.

“Memangnnya setelah kamu menyerah, kamu mau ngapain lagi? mau bangun pondasi mimpi baru lagi? bagaimana jika perjalanannya akan sama dengan hari ini? apakah kamu akan menyerah lagi dan kemudian membangun mimpi baru lagi? kamu nggak capek?”

Ya, tak apa jika kita merasa bosan, tak apa jika kita merasa ingin menyerah, hanya saja jangan sampai keinginan itu benar-benar mematikan langkah kita dalam menjalani sebuah misi kebaikan. Kita hanya sedang membutuhkan waktu untuk sejenak terdiam, beristirahat dari serangkaian perjalanan mengejar mimpi. Mungkin, selama perjalanan sampai sejauh ini kita sedang tersesat dari niatan lillahita’ala, sehingga itulah yang membuat kita merasa bosan dan ingin menyerah. Kita lupa menjaga niat yang suci.

Tak apa, kita tak perlu terlalu keras pada diri kita sendiri. Biarkan diri menunaikan haknya sejenak untuk berisitirahat. Sebentar saja. Sampai ia kembali siap untuk berjalan di jalan-Nya yang lurus, dalam rangka menunaikan sebuah misi kebaikan.

Tak apa, istirahatlah sejenak. Sejanak saja dan jangan lama-lama, karena misi itu tidak akan pernah selesai jika kita terlalu banyak mengistirahatkan diri.

Salam,

el