Satu pekan kemarin, bagiku adalah hari-hari yang membosankan. Aku merasa rutinitasku tak pernah berubah. Melakukan hal yang sama sepanjang hari, dengan aktivitas yang “itu itu lagi”. Hingga rasa bosan itu membuatku turut merasa bahwa semua yang aku lakukan, bisa kulakukan tanpa berpikir rumit karena semua adalah bentuk dari sebuah repeticion. Seolah semuanya berjalan secara otomatis.
Aku bertanya dalam hati, bagaimana dengan orang yang kehidupannya hanya diisi dengan satu kegiatan setiap hari. Mungkin jika aku berada di posisi mereka, rasa bosan itu akan semakin meninggi levelnya. Tetapi, pun ada mereka yang tetap merasa enjoy, nyaman menjalani kondisi yang demikian.
Pertanyaannya, bagaimana bisa?
Aku kembali berkontemplasi dengan diriku. Aku kembali menyusun sebuah list tentang apa apa saja yang sedang aku inginkan saat ini. Mulai dari kegiatan seperti apa, bagaimana aku melakukannya, dan kenapa aku ingin melakukannya. Semua pemikiran itu menggiringku terhadap sebuah option, bahwa aku merasa harus mulai beranjak dari zonaku saat ini. Zona yang orang bilang nyaman, tetapi tidak lagi untukku.
Pekerjaan, lingkungan tempat aku berinteraksi, hingga semua yang berkaitan dengannya telah berhasil membuatku merasa seperti.. “enough, i want to leave soon!!”
Aku mencoba melihat sisi lain dari keinginanku, aku berusaha kembali untuk menyapanya, berdiskusi dengannya tentang apa yang sesungguhnya menjadi inginku. Aku menghampirinya dalam kondisi telah siap untuk pergi. Namun dari hasil berdiskusi dengan diriku sendiri, tak kudapati apapun selain luka yang entah telah berapa lama aku abaikan. hmm.. kini aku tau, apa yang harus aku lakukan sebagai bentuk pertolongan pertama untuk diriku sendiri.
Di sebuah penghujung hari, aku mencoba hal baru yang sebelumnya belum pernah kulakukan. Selepas menyelesaikan semua aktivitas di hari itu, aku mencoba untuk memilih jalan pulang yang berbeda, lebih jauh, lebih effort, tapi aku merasa aku harus mencobanya demi memulihkan “luka” yang entah sejak kapan ada di dalam diriku.
Dan, ya! yang kudapati sepanjang perjalanan adalah “view” yang cukup berragam. Semua yang kulihat telah berhasil memberikan perspektif dan sudut pandang baru tentang sebuah kehidupan yang sebelumnya kurasa bosan dan ingin meninggalkannya . Aku tertunduk dan berpikir, mungkin tindakan yang kuambil sebelumnya terlalu berbalut emosi karena luka, terburu-buru sampai aku merasa ingin pergi.
Sementara di luar sana, masih ada pihak yang harus menjalankan perannya dengan tertatih menahan letih yang tak biasa. Aku? rasanya belum seberapa jika dibandingkan dengan mereka. Tapi sekarang, aku tidak ingin membandingkan diriku dengan mereka. Aku hanya ingin membandingkan diriku sendiri, aku yang sekarang dengan aku yang dulu.
Tak adil rasanya jika dalam kondisi yang “luka” nya belum pulih, kembali harus kubuat luka disebabkan comparing with other.
Karena bagiku, memilih jalan yang berbeda ini tak ada tujuan lain kecuali untuk melihat sisi lain dalam diriku sendiri, berupaya agar rasa syukur yang telah lama hilang bisa kembali hadir, membalut luka meredam emosi. Menjelaskan pada diriku bahwa aku tak perlu pergi, aku hanya harus berhenti sejenak melihat jalan yang berbeda dan mengikutinya. Jika aku menemukan persimpangan lalu kehilangan arah, bukankah itu saatnya bagiku untuk kembali melihat peta hidupku?
Salam,
el