Jejak Anak Rantau #44: Mindset, Oleh-oleh Leadership Training

Jum’at minggu lalu, alhamdulillah aku mendapatkan kesempatan untuk mengikuti kegiatan Leadership Training yang diselenggarakan oleh organisasi keagamaan di tempat aku bekerja. Acaranya berlangsung selama 2D1N di wilayah Bogor, Jawa Barat.

Pada kegiatan tersebut ada banyak materi yang diberikan kepada seluruh peserta sebagai pembekalan bagi para calon kader-kader kepemimpinan di masa mendatang, salah satu materi yang disajikannya yaitu soal mindset atau yang lebih dikenal dengan pola pikir.

Kira-kira, apa yang terlintas di benak teman-teman ketika mendengar atau membaca kata “mindset“? Kalau aku, pikiran dan persepsiku ketika mendengar atau membaca tentangnya seketika langsung mengarah pada pemahaman kita dalam memandang atau menilai segala sesuatu.

Ya, benar. Rasanya mindset yang aku maksud cukup berhubungan dengan pembahasan Jera’s Project ke 42 yang bisa teman-teman baca di sini. Tapi pada chapter ini, aku hanya akan membahas soal mindset berdasarkan pengetahuan yang telah aku dapatkan selama mengikuti Leadership Training minggu lalu. So, let’s begin..

Dreamlike and Moody Landscape Photography by Zach Doehler.jpg

Picture: Pinterest

Bapak Muhsinin Fauzi, seorang pengisi materi di hari pertama training menjelaskan bahwa ada banyak faktor yang bisa mempengaruhi mindset kita, faktor tersebut di antaranya yaitu informasi, ilmu, ideologi, budaya, latar belakang, hingga nilai pribadi dalam diri kita yang terkadang tidak bisa terukur objektivitasnya pun bisa mempengaruhi mindest kita.

Jadi, baik buruknya mindest yang kita miliki sangat bergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Contoh, dari faktor yang pertama yaitu informasi. Jika seorang individu mendapatkan informasi yang baik tentang suatu hal, maka mindset yang hadir adalah mindset yang baik, tetapi jika informasi yang individu terima adalah informasi yang buruk, maka mindset yang hadir pun akan menjadi buruk.

Hmm, kira-kira menurut teman-teman bagaimana kondisi informasi yang teman-teman terima saat ini? sudah baik? atau justru malah banyak informasi yang mengandung hoax?

Sebagai seorang manusia yang diberi akal untuk berpikir, sudah semestinya bagi kita untuk bisa menerapkan filter dalam diri terhadap berbagai informasi yang mengelilingi kita. Karena jika sistem filter tersebut telah tertanam baik dalam diri kita, maka faktor yang pertama di atas tidak akan lagi menjadi sebuah faktor utama yang mempengaruhi mindset kita. Itulah mengapa ada pihak yang tetap memiliki mindset baik meskipun informasi yang diterima adalah informasi yang buruk.

Kita coba cek yuk, sudahkah kita memiliki filter yang baik untuk memproses informasi yang masuk dalam diri kita?

Kasus yang mudah ditemukan dalam pembentukan mindset sendiri biasanya terjadi ketika kita melakukan penjelajahan pada media sosial seperti Instagram. Di dalamnya, akan banyak ditemukan ragam cerita kehidupan dari mulai orang-orang yang kita kenal sampai yang tidak kita kenal. Hampir semuanya membagikan momen, aktivitas, kebahagiaan sampai kesedihan ke dalam sebuah mini story.

Tak jarang, dari apa yang kita lihat otomatis merangsang otak kita untuk berpersepsi tentangnya. Menganggap apa yang tersaji di depan matanya sebagai informasi yang faktual. Contohnya ketika kita melihat sebuah akun memberitakan seorang anak mendurhakai orang tuanya, lantas kita percaya dengan berita tersebut. Kemudian tanpa memastikan kebenarannya lagi, dengan lantang kita menghakiminya. Sehingga sampailah mindset yang tertanam di otak kita tentang anak tersebut sebagai anak yang durhaka.

Padahal, jika kita bersedia memberikan sedikit saja ruang bagi otak kita untuk kembali mencari kebenarannya, mungkin akan ditemukan fakta yang berbeda bahwa video yang dilihat sebelumnya adalah sebuah iklan yang sengaja dibuat dengan maksud ingin menyampaikan pesan moral kepada seluruh anak agar mereka lebih menghargai dan menyayangi orang tuanya.

Begitu pun dengan ragam informasi lainnya yang tersaji pada layar segenggaman tangan kita. Apa yang kita lihat, apa yang kita persepsikan, akan selalu menentukan mindset seperti apa yang akan tercipta. Oleh karenanya, akan lebih baik apabila sebelum mempersepsikan segala hal, kita aktifkan terlebih dulu tombol filter yang ada dalam diri kita.

Karena, bukankah persepsi yang kita tunjukan akan selalu mencerminkan siapa dan bagaimana diri kita?

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #43: Memungut Pahala

Sore hari menjelang maghrib aku berjalan keluar kantor menuju stasiun terdekat MRT untuk kembali pulang ke kosan. Sore itu, berbeda dari sore hari sebelumnya, jika biasanya aku memilih pulang selepas maghrib, tetapi hari itu aku bertekad pulang lebih cepat karena ada satu dan lain hal yang ingin aku selesaikan.

Ternyata pulang kantor pada jam tersebut sangatlah ramai. Awalnya aku mengira bahwa jalanan akan sepi dari para pejalan kaki karena mungkin orang pada umumnya akan memilih pulang setelah maghrib sambil menunggu kemacetan jalanan ibu kota kembali terurai. Tetapi ternyata tidak.

Sambil mempercepat langkah kaki, aku kembali menikmati jalanan ibu kota menjelang hadirnya senja. Warna langit kemerahan yang dibalut polusi asap kendaraan pun turut membersamai langkahku. Aku melihat ada yang berjalan, ada yang berfoto di trotoar, ada yang bersepedah, ada yang bermain scooter, pun ada yang duduk-duduk santai di beberapa bangku pinggir jalan.

Tapi, dari sekian banyak aktivitas yang mereka lakukan pada sore hari itu, ada satu momen yang cukup menarik perhatianku. Bahkan momen itu sempat membuat langkahku terhenti sejenak sebelum pada akhirnya aku berlari. Apakah itu?

Ketika langkahku baru sampai di depan IFI (Institut Francais Indonesia), aku melihat seorang perempuan dengan pakaian olah raga berlari-lari kecil menyalip arah langkahku, ia berhenti dari lari-lari kecilnya kemudian membungkuk dan memungut sebuah kantong plastik putih yang tercecer di tanah. Tanpa pikir panjang kembali ia lanjutkan aktivitasnya, berlari-lari kecil di sepanjang trotoar.

Sambil terus memperhatikannya, aku berpikir apa yang ingin ia lakukan dengan kantong plastik tersebut. Sambil terus memikirkannya, aku pun mempercepat langkah mencoba menyelaraskan langkahku dengannya dengan harapan bisa mendapatkan jawaban atas rasa penasaranku terhadapnya. “Ga mungkin kan, dia mungutin sampah”, ucapku dalam hati.

Sepanjang penglihatanku memperhatikannya, ada banyak praduga yang hadir dan terlintas dalam pikiranku. Mungkin, dia membutuhkan kantong plastik itu untuk kebutuhan yang mendesak, sehingga yang ada di tanah pun tak apa ia ambil. Atau mungkin tanpa sepengetahuanku sebelumnya, kantong plastik itu memang miliknya yang jatuh ke tanah kemudian ia ambil kembali. Atau mungkin, ada kemungkinan-kemungkinan lainnya.

Akan tetapi, nyatanya semua praduga yang muncul dalam pikiranku adalah sebuah kesalahan. Dan rupanya benar bahwa yang ia lakukan adalah sikap yang seharusnya sama-sama kita ikuti. Kembali ia mengambil sampah yang tercecer dihadapannya. Setiap kali ia berjalan dan dihadapannya ditemukan sampah tak bertuan, ia ambil dan dimasukannya ke dalam tong sampah yang tak jauh dari pintu masuk stasiun MRT.

Ya, ternyata pradugaku salah. Dan aku kembali belajar darinya, bahwa untuk menjadi seorang yang menjaga alam semesta bisa dimulai dari hal-hal kecil seperti yang dilakukanya. Memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan merealisasikannya melalui perubahan kecil, yang kemudian dampaknya akan terasa besar dan luas.

Kembali aku berpikir, mungkin, jika setiap diri memiliki tanggung jawab seperti mereka yang peduli terhadap lingkungan, tak akan ada lagi kasus-kasus kebakaran hutan seperti yang saat ini sedang melanda negeri ini. Mungkin alam semesta akan selalu mendapatkan haknya untuk tetap lestari dengan baik.

Dan tentang sikap mereka, seperti merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Bukan hanya kelestarian alam yang mereka dapatkan, namun rahmat Tuhan dan pahala dari-Nya akan terus mengalir kepadanya, bukan?

Semoga, kita semua mampu menjadi changes agent untuk setiap kebaikan, sekecil apapun kebaikan itu.

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #42: Nikmat Terbesar Seorang Manusia

Suatu siang dalam sebuah majelis ilmu di wilayah selatan Jakarta, aku bersama seorang teman duduk menenangkan diri dari berbagai rutinitas yang terkadang membuatku bosan. Dalam sebuah forum itu, seorang guru mengatakan tentang suatu hal yang baru aku ketahuin sepanjang hidupku.

“Hadirin semua tau, apa nikmat terbesar dalam hidup ini bagi seorang manusia?”

Masing-masing individu bergumam dengan jawabannya, ada yang mengatakan nikmat sehat, ada yang mengatakan nikmat iman, ada yang mengatakan nikmat islam, ada yang mengatakan nikmat memiliki orang tua yang masih hidup, dan aku termasuk orang yang mengaminkan bahwa nikmat sehat lahir dan batin adalah nikmat terbesar dalam hidupku.

Namun taukah kawan, apa yang beliau katakan? bahwa semua jawaban yang khalayak utarakan tidak ada yang tepat, karena:

“Nikmat terbesar seorang manusia adalah ketika ia dianugerahi pemahaman yang baik oleh Allah SWT”

Hmm. Aku sempat bingung dan tidak mengerti, pemahaman seperti apa yang beliau maksud? Pada awalnya aku berpikir bahwa pemahaman bisa dilatih dengan kita belajar secara konsisten. Tapi, ternyata pemahaman pun adalah sebuah anugerah yang DIA berikan kepada hamba pilihan-Nya.

Picture: Pinterest

Ketika dua orang dihadapkan pada suatu kondisi yang sama, maka pemahamanlah yang membedakan dua orang tersebut untuk meresponnya.

Setelah menerima penjelasa tersebut, rasanya pertanyaan terbesar dalam hidupku terjawab sudah dengan sempurna. Tentang, kenapa ada orang yang terlihat ceria ketika divonis sebuah penyakit, kenapa ada orang yang masih bisa survive ketika batal menikah dengan pria yang dicintainya, dan tentang berbagai pengalaman pahit yang dimiliki oleh pihak tertentu tetapi mereka masih bisa melanjutkan hidup.

Sementara jika aku bercermin pada diriku sendiri, membayangkan bagaimana jika aku berada pada posisi mereka, mungkin aku akan menyerah, mungkin aku tidak bisa survive, dan mungkin aku akan banyak mengadukan ketidak berdayaanku pada-Nya, memohon agar DIA meringankan bebanku dan melepaskan semua penyebab keluh kesahku.

Hmm, dan ya. Lagi-lagi, semua itu karena “pemahaman” dalam diri kita sendiri.

Seseorang bisa dikatakan memiliki nikmat “pemahaman” yang baik ketika dia mampu merespon berbagai kondisi dalam hidupnya dengan respon yang baik. Respon yang senantiasa mengalirkan energi positif ke dalam dirinya sendiri, dan menganggap bahwa setiap kejadian yang telah dialaminya adalah sebentuk kasih sayang dari-Nya.

“Karena pemahaman adalah akar dari lahirnya keburukan dan kebaikan, karena semakin tajam pemahaman seseorang dalam membaca hakikat kehidupan, maka semakin berkualitas kehidupannya”

– – – – –

Sumber: Terinspirasi dari kajian bersama Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri, Masjid Nurul Iman, Blok M.

– – – – –

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #41: Untuk Apa Membenci?

“Untuk apa membenci, jika kebencian itu hanya akan mengikis pahala kebaikan yang telah kita kumpulkan dengan susah payah?”

Begitu kira-kira sebaris kalimat yang aku temukan dalam sebuah postingan milik seorang teman di Instagram. Seolah kalimat itu tepat menyapaku hari ini yang sedang lelah terjerumus dalam putaran kebencian. Mencari jalan keluar untuk sekadar memulihkan rasanya sulit.

Sebagai seorang individu yang hidup dan tak bisa lepas dari ranah sosial, tentunya aku dan kalian selalu bertemu dengan ragam karakter yang berbeda. Tak jarang keberagaman itu hadir sepaket dengan kesan yang perlu kita rasakan juga.

Ada kesan senang, canggung, biasa saja, sampai kesan rasa tidak suka atau tidak nyaman yang mungkin berujung pada kebencian. Biasanya, apa yang kemudian teman-teman lakukan bila sudah berujung demikian?

Menghindar dari sumber yang membuat kita merasa tidak nyaman adalah salah satu solusi, tapi bagaimana jika ternyata sumber yang membuat kita merasa tidak nyaman tersebut adalah suatu sumber yang merupakan sebuah keharusan bagi kita untuk berinteraksi dengannya? rasanya menghindar bukanlah menjadi solusi lagi.

Membiarkan diri kita terus berlarut dalam kebencian terhadapnya pun bukanlah pilihan yang baik, justru hal itu haruslah kita hindari, karena, bagaimana mungkin kita membiarkan diri sendiri tersakiti dengan kebencian dan rasa tidak nyaman yang kita rasakan, bukan? dan bagaimana mungkin juga kita membiarkan kebencian hadir di antara interaksi yang kita lakukan dengannya?

snareymonster

Picture: Pinterest

Maka, mungkin saat ini, bagiku dan kalian semua yang sedang terjebak dalam putaran kebencian serta rasa tidak nyaman lainnya, tiada jalan dan solusi lain selain dari mencoba memaafkan, dan berdamai dengannya. Mengapresiasi diri atas ketangguhannya menurunkan ego seraya berkata “tak apa, kamu akan selalu menjadi lebih baik, saat ini dan nanti tentu akan berbeda, berbeda karena kamu akan menjadi lebih baik di antara yang terbaik”.

Lalu, bagaimana dengan statement tentang forgiven but not forgotten?

Untukmu yang sedang kubenci, 

tenang, dan tak perlu khawatir

kini aku hanya sedang berdialog dengan-Nya, memohon petunjuk-Nya, agar DIA dengan kasih sayang-Nya senantiasa menghujaniku kekuatan hingga aku bisa survive dalam memaafkanmu dan memeluk ingatan-ingatan buruk tanpa merasakan kebencian dan rasa yang tak nyaman lagi.

Ya, kita hanya perlu mengatakan pada diri kita sendiri, bahwa setiap perjalanan kehidupan, adalah suatu jejak dalam mencari pahala untuk perbekalan kehidupan berikutnya. Maka, ikatlah pahala yang telah kita miliki dengan kasih dan sayang, agar pahala itu, tidak hilang terkikis oleh kebencian yang kita rasakan.

Maafkanlah, berdamailah, dan biarkan memori ingatan kita memeluk seluruh pengalaman buruk yang pernah hadir. Setelah itu, berbahagialah!

“only if I am happy with my self, it is easy to feel happy with those around me. May you become your own biggest fan”

-Haemin Sunim-

 

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #40: Tanpa Banyak Dialog, Aku Memilih Jalan yang Berbeda

Satu pekan kemarin, bagiku adalah hari-hari yang membosankan. Aku merasa rutinitasku tak pernah berubah. Melakukan hal yang sama sepanjang hari, dengan aktivitas yang “itu itu lagi”. Hingga rasa bosan itu membuatku turut merasa bahwa semua yang aku lakukan, bisa kulakukan tanpa berpikir rumit karena semua adalah bentuk dari sebuah repeticion. Seolah semuanya berjalan secara otomatis.

Aku bertanya dalam hati, bagaimana dengan orang yang kehidupannya hanya diisi dengan satu kegiatan setiap hari. Mungkin jika aku berada di posisi mereka, rasa bosan itu akan semakin meninggi levelnya. Tetapi, pun ada mereka yang tetap merasa enjoy, nyaman menjalani kondisi yang demikian.

Pertanyaannya, bagaimana bisa?

✨Get ready for Winter Walks along Southbank ❄️❄️❄️ ✨ 📷Amazing shot by @j_r_photography 😍 ⠀ Mark your photo with tag #londoncityworld and…

Picture: Pinterest

Aku kembali berkontemplasi dengan diriku. Aku kembali menyusun sebuah list tentang apa apa saja yang sedang aku inginkan saat ini. Mulai dari kegiatan seperti apa, bagaimana aku melakukannya, dan kenapa aku ingin melakukannya. Semua pemikiran itu menggiringku terhadap sebuah option, bahwa aku merasa harus mulai beranjak dari zonaku saat ini. Zona yang orang bilang nyaman, tetapi tidak lagi untukku.

Pekerjaan, lingkungan tempat aku berinteraksi, hingga semua yang berkaitan dengannya telah berhasil membuatku merasa seperti.. “enough, i want to leave soon!!”

Aku mencoba melihat sisi lain dari keinginanku, aku berusaha kembali untuk menyapanya, berdiskusi dengannya tentang apa yang sesungguhnya menjadi inginku. Aku menghampirinya dalam kondisi telah siap untuk pergi. Namun dari hasil berdiskusi dengan diriku sendiri, tak kudapati apapun selain luka yang entah telah berapa lama aku abaikan. hmm.. kini aku tau, apa yang harus aku lakukan sebagai bentuk pertolongan pertama untuk diriku sendiri.

Di sebuah penghujung hari, aku mencoba hal baru yang sebelumnya belum pernah kulakukan. Selepas menyelesaikan semua aktivitas di hari itu, aku mencoba untuk memilih jalan pulang yang berbeda, lebih jauh, lebih effort, tapi aku merasa aku harus mencobanya demi memulihkan “luka” yang entah sejak kapan ada di dalam diriku.

Dan, ya! yang kudapati sepanjang perjalanan adalah “view” yang cukup berragam. Semua yang kulihat telah berhasil memberikan perspektif dan sudut pandang baru tentang sebuah kehidupan yang sebelumnya kurasa bosan dan ingin meninggalkannya .  Aku tertunduk dan berpikir, mungkin tindakan yang kuambil sebelumnya terlalu berbalut emosi karena luka, terburu-buru sampai aku merasa ingin pergi.

Sementara di luar sana, masih ada pihak yang harus menjalankan perannya dengan tertatih menahan letih yang tak biasa. Aku? rasanya belum seberapa jika dibandingkan dengan mereka. Tapi sekarang, aku tidak ingin membandingkan diriku dengan mereka. Aku hanya ingin membandingkan diriku sendiri, aku yang sekarang dengan aku yang dulu.

Tak adil rasanya jika dalam kondisi yang “luka” nya belum pulih, kembali harus kubuat luka disebabkan comparing with other.

Karena bagiku, memilih jalan yang berbeda ini tak ada tujuan lain kecuali untuk melihat sisi lain dalam diriku sendiri, berupaya agar rasa syukur yang telah lama hilang bisa kembali hadir, membalut luka meredam emosi. Menjelaskan pada diriku bahwa aku tak perlu pergi, aku hanya harus berhenti sejenak melihat jalan yang berbeda dan mengikutinya. Jika aku menemukan persimpangan lalu kehilangan arah, bukankah itu saatnya bagiku untuk kembali melihat peta hidupku?

 

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #39: Let’s Change From Good to be Great

Satu tahun terakhir ini aku terlibat dalam sebuah project change management di tempat aku bekerja. Project ini menurut hematku adalah sebuah misi yang digaungkan oleh perusahaan dalam rangka membawa seluruh karyawannya untuk bermigrasi terhadap sistem baru.

Bicara soal sistem, mau tidak mau sumber daya manusianya pun harus ikut dipersiapkan dengan perubahan yang akan terjadi nanti. Karena sehebat apapun sistem tersebut akan selalu butuh individu-individu sebagai penggeraknya, maka singkatnya jika sebuah sistem sudah ready, tetapi sumber daya manusianya not ready maka perubahan yang menjadi misi perusahaan tidak akan sukses terlaksana. Begitu juga sebaliknya, jika sumber daya manusianya telah ready, tetapi sistem yang mendukung masih tergulung masalah, maka perubahan pun tak kunjung tercapai.

Dengan masalah di atas maka solusi terbaiknya adalah mempersiapkan keduanya supaya sama-sama siap untuk menghadapi perubahan. Bagaimana caranya? bisa dengan melakukan pelatihan untuk seluruh pihak yang akan terlibat, mengedukasi tiap-tiap individu tentang manfaat dari perubahan itu apa, juga menguji coba sistem yang akan menjadi key point dalam suatu perubahan yang dimaksudkan.

Selama keterlibatan aku dalam tim tersebut, kembali aku belajar tentang banyak hal. Mulai dari apa saja yang perlu dipersiapkan untuk perubahan tersebut, masalah-masalah apa saja yang kemungkinan akan timbul di hari pertama perubahan itu release sekaligus bagaimana penanganannya, plus mengantisipasi sebagian orang yang masuk dalam kelompok “menolak perubahan”.

Ya, dan ternyata tidak selamanya sesuatu yang kita sampaikan itu baik, akan disambut dengan antusiasme yang baik pula dari khalayak yang menjadi sasaran kita. Karena fakta di lapangan yang aku temukan adalah karakter orang dalam menyikapi perubahan itu sangat berbeda-beda.

Ada yang merasa bahwa sistem yang dijalani saat ini adalah sebuah comfort zone yang sebaiknya tidak perlu diperbaiki lagi. Ada yang merasa telah memiliki semangat di awal untuk berubah tapi tiba-tiba berbalik 180 derajat ketika ia dihadapkan pada permasalahan di tahap awal. Tapi ada juga yang yakin bahwa perubahan tersebut akan berarah pada perbaikan maka ia hadapi setiap masalahnya dengan penuh pembelajaran.

Melihat dari perjalanan project tersebut, aku jadi teringat tentang misi setiap manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya. Tentang bagaimana perubahan kita sebagai individu dari sejak baru terlahir hingga hari ini. Kehidupan kita tentu tak luput dari perubahan yang di dalamnya akan selalu ada pembelajaran.

Bagaimana ketika kita tidak bisa berjalan kemudian menjadi bisa. Di antara tahapan tersebut ada proses jatuh bangun yang mau tidak mau harus kita lalui. Bagaimana ketika kita tidak bisa membaca kemudian menjadi bisa. Di antara tahapannya pun ada proses yang tak mudah yang harus kita lalui.

Sehingga itulah mungkin yang dikatakan apabila kita tidak mau berubah, maka kita sedang menentang Sunnatullah (Ustadz Fatih Karim, 2018). Jika kita memilih untuk menjadi individu yang tidak memiliki keinginan untuk bisa membaca, bagaimana kita mau beribadah menjemput ilmu Allah? Jika kita memilih untuk menjadi individu yang tidak memiliki keinginan untuk bisa berjalan, bagaimana bisa kita menjadi manfaat untuk lingkungan?

Dan perubahan pun tidak selalu dari tidak mampu menjadi mampu, tetapi perubahan juga dari mampu menjadi expert. Artinya, meski kita sudah merasa mampu dalam mengerjakan suatu hal, kita masih bisa upgrade kemampuan tersebut agar menjadi expert.

Write your first poem!

Picture: Pinterest

Lalu, bagaimana agar setiap perubahan itu bisa kita jalani dengan sabar?

Aku rasa setiap orang setuju bahwa satu-satunya yang bisa mendorong kita untuk berubah ke arah yang lebih baik, satu-satunya yang bisa membuat kita survive terhadap berbagai ujian yang menghadang dalam sebuah perubahan, adalah sebuah motivasi dalam diri.

Dan menurutku, menjadikan spiritual company sebagai motivasi tertinggi adalah hal yang harus dimiliki oleh setiap individu. Bukan materi, juga bukan yang lainnya. Karena bukankah sudah seharusnya bagi kita untuk selalu melibatkan Tuhan dalam setiap aspek kehidupan ini? Ya, sprititual company di sini maksudnya adalah Tuhan, bukan Manager, Genearal Manager, atau Direksi.

Karena jika kita menjadikan Tuhan sebagai motivasi tertinggi dalam setiap aspek kehidupan, bukankah proses dalam setiap perubahan itu akan menjadi lebih bernilai keberkahannya?

So guys as a better muslim, Let’s change from good to be great.

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #38: Ternyata Kita Semua adalah Para Perantau

Assalamu’alaikum, selamat malam teman-teman. Pertama-tama, terlebih dahulu saya ingin menyampaikan ucapan bela sungkawa atas wafatnya Presiden RI yang ke-3, Bapak B. J. Habibie. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Semoga beliau wafat dalam keadaan husnul khotimah, semoga seluruh amal ibadahnya diterima di sisi Allah SWT dan semoga diampuni seluruh dosa-dosanya, aamiin.

Tentunya kabar duka ini tak hanya dirasakan oleh keluarga yang ditinggalkan, akan tetapi juga menjadi kabar duka yang memberatkan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak, kini ibu pertiwi harus kembali kehilangan salah satu tokoh terbaik yang pernah dimilikinya. Seorang yang bukan hanya cerdas dan mampu membuat pesawat terbang, tetapi juga seorang yang mampu menyelaraskan antara Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan IMTAQ atau Iman dan Taqwa. Seorang cendikiawan muslim, seorang inspirator untuk semua kalangan.

Menyimak kisahnya, ternyata secara tidak langsung ada banyak sekali pesan yang telah beliau tebarkan kepada setiap orang. Pesan atau motivasi itu kemudian menjadi sebuah nilai-nilai kebaikan yang terus mengalir bagi semua pihak. Salah satu di antaranya adalah pesan tentang kebermanfaatan kita sebagai seorang manusia yang hidup di dunia.

“Jadilah mata air,

Bila kamu baik maka di sekitarmu pun juga akan baik.

Bila kamu kotor maka di sekitarmu pun juga akan kotor”

Kini kita pun harus bersepakat, sama-sama mengakui bahwa sebenarnya apa yang kita lakukan di dunia ini adalah untuk mencari perbekalan dalam rangka kembali pulang kepada-Nya. Sehingga hal itu seharusnya sudah cukup menjadi dorongan agar kita selalu berusaha melakukan kebaikan dengan cara-cara yang baik.

Ternyata dengan bersepakat mengakui bahwa kehidupan dunia ini hanya sekadar persinggahan, kita semua menjadi tersadar bahwa kita adalah bagian dari para perantau yang sedang menunggu giliran untuk kembali pulang ke kampung halaman di keabadian.

Ternyata kita semua adalah para perantau yang tidak menyadari bahwa waktu kepulangan kita adalah sesuatu yang rahasia. Ternyata kita semua adalah para perantau yang tidak menyadari bahwa diri kita telah terjerumus jauh dalam kenikmatan duniawi. Dan ternyata, kita semua adalah para perantau yang masih butuh banyak reminder untuk selalu melakukan berbagai kebaikan dengan niat yang suci.

Lalu pertanyaannya, sudahkah kita melakukan aktivitas yang bisa menambah timbangan amal kebaikan di akhirat kelak? sudahkah perbekalan yang kita kumpulkan selama ini cukup untuk menjadi teman perjalanan ke kehidupan berikutnya yang sangat panjang?

Malu rasanya mengajukan pertanyaan tersebut pada diri kita sendiri, ketika kita menyadari bahwa masih terlalu sedikit perbekalan yang kita persiapkan. Terkadang kita lupa, bahwa dalam melakukan sebuah aktivitas, ada niat yang harus selalu kita jaga kesuciannya agar tetap bernilai kebaikan di sisi-Nya.

Di antara sekian banyak aktivitas yang kita lakukan, mungkin kadang terselip aktivitas yang secara tidak sadar menjerumuskan kita pada jalan yang salah, hingga semua itu membuat kita lupa bahwa semua yang kita lakukan akan diminta pertanggung-jawabannya.

Semoga, cermin kehidupan yang selama ini kita gunakan mampu menjadi petunjuk bagi kita untuk menuju arah yang baik.

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #37: Jika Aku Menyerah.

Membiarkan pondasi-pondasi mimpi menjadi runtuh rasanya adalah sebuah keputusan yang tidak tepat dan terlihat menyedihkan. Apalagi jika alasannya sebatas tak kuasa dengan berbagai tantangan yang menghadang di depan mata. Seakan setiap benteng yang menjulang tinggi selalu sampai pada ujung langit tertinggi. “Terkadang aku lupa, bahwa benteng itu tak pernah sampai pada ujungnya, maka seharusnya aku bisa melewatinya dengan cara naik menggapai celahnya untuk kemudian terjun bebas memunggungi benteng tersebut“. Ya, sebuah teori yang sempurna bagi seseorang yang telah menggapai tujuannya, bukan?

Aku pernah merasa lelah dan ingin menyerah saja terhadap semua ambisi yang menjadi alasanku untuk terus maju. Bahkan, untuk sekadar membicarakannya saja menjadi sebuah kemalasan tersendiri untukku. Tidak bersemangat dan seperti hilang harapan.

Sesekali aku bertanya ulang pada diriku sendiri, “kenapa semua ini membuatku bosan? bukankah diriku sendiri yang berkata bahwa setiap perjuangan ini akan berbuah manis?”. Oh ya, mungkin tujuanku masih selalu berorientasi pada hasil yang manis, padahal faktanya sisi lain dari diriku sendiri pun tau bahwa yang menjadi tujuan dalam setiap misi adalah bukan seperti apa hasilnya nanti. Akan tetapi seperti apa cara yang kita gunakan dalam menjalani proses yang harus dilaluinya.

Apakah cara-cara yang kita gunakan telah sejalan dengan prosedur yang menjadi ketetapan-Nya atau justru cara yang kita gunakan bertentangan dengan norma yang seharusnya? Bahkan mungkin seharusnya kita bersikap “tak peduli” pada hasil. Karena, bukankah hasil itu adalah ranahnya Tuhan? Tugas kita hanya berikhtiar dan menerima segala ketetapan-Nya, bukan? Ya, kita memang harus lebih aware terhadap level usaha yang kita lakukan tanpa harus menuhankannya.

Picture: Pinterest

Lalu, bagaimana jika aku menyerah saja?

Menyerah karena merasa kehilangan banyak energi oleh berbagai hal yang bersifat abu-abu rasanya tidak cukup menjadi alasan untuk kita menyerah. Bahkan, seharusnya tidak pernah ada alasan untuk kita menyerah dalam menjalani sebuah kebaikan, apalagi jika misi kebaikan itu langsung terkoneksi dengan Tuhan.

“Memangnnya setelah kamu menyerah, kamu mau ngapain lagi? mau bangun pondasi mimpi baru lagi? bagaimana jika perjalanannya akan sama dengan hari ini? apakah kamu akan menyerah lagi dan kemudian membangun mimpi baru lagi? kamu nggak capek?”

Ya, tak apa jika kita merasa bosan, tak apa jika kita merasa ingin menyerah, hanya saja jangan sampai keinginan itu benar-benar mematikan langkah kita dalam menjalani sebuah misi kebaikan. Kita hanya sedang membutuhkan waktu untuk sejenak terdiam, beristirahat dari serangkaian perjalanan mengejar mimpi. Mungkin, selama perjalanan sampai sejauh ini kita sedang tersesat dari niatan lillahita’ala, sehingga itulah yang membuat kita merasa bosan dan ingin menyerah. Kita lupa menjaga niat yang suci.

Tak apa, kita tak perlu terlalu keras pada diri kita sendiri. Biarkan diri menunaikan haknya sejenak untuk berisitirahat. Sebentar saja. Sampai ia kembali siap untuk berjalan di jalan-Nya yang lurus, dalam rangka menunaikan sebuah misi kebaikan.

Tak apa, istirahatlah sejenak. Sejanak saja dan jangan lama-lama, karena misi itu tidak akan pernah selesai jika kita terlalu banyak mengistirahatkan diri.

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #36: Pelaut Ulung Tidak Lahir dari Ombak yang Tenang

Selamat Siang teman-teman, semangat pagi untuk kita semua para pejuang dalam perjuangannya masing-masing. Btw apa kabar hari ini? Semoga semangat pagi masih senantiasa menggebu dalam jiwa kita yaa.

Oya, teman-teman ada agenda apa di weekend ini? weekend yang sekaligus bertepatan dengan libur nasional perayaan Tahun Baru Islam 1 Muharram 1441 Hijriah.

Biasanya momen tahun baru selalu identik dengan melakukan aktivitas menyusun to do list baru untuk satu tahun ke depan, lengkap dengan evaluasi satu tahun ke belakang, bukan?

Kamu sudah melakukannya belum? Kalau belum, kira-kira wishlist apa yang menjadi harapan terbesarmu? Oya, adakah yang salah satu wishlistnya itu lulus studi di tahun ini? Aku rasa saat ini adalah momennya ujian akhir bagi sebagian teman-teman student.

Selamat yaa bagi teman-teman yang telah dinyatakan lulus dari proses sidang akhirnya, baik sidang skripsi maupun sidang thesis. Dan selamat juga untuk teman-teman student yang telah selesai melewati momen final exam. Semoga teman-teman bisa mendapatkan hasil terbaik 🙂

Dan kepada teman-teman yang masih beproses menyelesaikan misinya, selamat berjuang kembali. Meski terkadang dalam prosesnya selalu ada lelah yang menyapa, dan bosan yang menghalau, tapi semoga kita tetap tangguh mengalahkan keduanya.

Karena, bukankah pelaut ulung tidak lahir dari ombak yang tenang?

Begitu kira-kira sebaris kalimat yang sering kita jumpai dalam beberapa seminar motivasi.

Picture: Pinterest

Sebagai anak rantau, in case aku selalu merasa kagum pada mereka yang menjalani peran sebagai pekerja dan pelajar di dua kota yang berbeda. Weekday mereka harus menjalani pekerjaan di kota A dan ketika weekend tiba mereka harus pulang ke kota B untuk melanjutkan perkuliahannya.

Banyak sekali teman-teman seperantauanku yang menjalani kehidupan seperti itu. Bahkan jauh sebelum akhirnya aku mendaftar untuk kuliah di kota yang sama, aku pun pernah memikirkan pilihan-pilihan teman-temanku, hingga pada akhirnya aku menyerah. Merasa tidak Capable jika harus menjalani keduanya di dua kota yang berbeda.

Terbayang bagaimana sulitnya untuk tetap berupaya profesional menjalani kedua peran tersebut. Apalagi jika sudah tiba masa-masa bimbingan yang terkadang mengharuskan kita rutin datang ke kampus untuk menyelesaikan beberapa hal. Seminar, revisi tugas akhir, belum lagi urusan-urusan administrasi yang tidak bisa diselesaikan secara mobile.

Aku kagum pada mereka, yang pada akhirnya mampu menyelesaikan semua peran kehidupannya dengan baik, rapih, dan benar-benar selesai tanpa saling membenturkan satu kewajiban dengan kewajiban lainnya.

Aku kagum pada mereka yang tidak menjadikan alasan pekerjaan sebagai penghambatnya menyelesaikan studi.

Aku kagum pada mereka yang tidak menjadikan alasan studi sebagai penghambatnya dalam menyelesaikan pekerjaan.

Aku kagum pada mereka dengan segala keprofesionalitasan mereka menjalankan perannya. Aku kagum pada mereka dan aku ingin terus belajar dari mereka.

Salam,

el

Jejak Anak Rantau #35: Key Point From Lie Detector

Selamat sore teman-teman, tak terasa waktu semakin cepat berlalu. Rasanya baru kemarin aku menyapa sahabat Jera’s di ruang ini. Eh, hari ini kita semua kembali bertemu dengan Saturday. Alhamdulillah, masih diberi waktu, umur panjang juga kesehatan yang luar biasa. Teman-teman, apa kabarnya? semoga keberkahan dari-Nya senantiasa menyelimuti kehidupan kita semua. Aamiin.

Sore ini, aku ingin mengajak teman-teman untuk kembali menjelajah ruang masa laluku. Masih di sekitar tahun-tahun akhir perkuliahanku. Ya, karena memang aku merasa di sanalah serba serbi peristiwa dan hikmah datang silih berganti dalam hidupku. Mulai dari pertemuan dengan orang-orang hebat, tugas-tugas kuliah, sampai peristiwa di luar akademik pun turut hadir meramaikan perjalanan hidupku, seolah semua sepakat mendorongku untuk tumbuh menjadi sosok yang lebih baik.

Nah, someday aku pernah mengikuti sebuah seminar Psikologi di Jakarta. Tema yang dibawakan saat itu adalah seputar Lie Detector, atau mendeteksi kebohongan melalui gerak tubuh manusia. Bagaimana kita bisa membaca apakah lawan bicara kita berkata jujur atau tidak. Seringnya lie detector ini biasanya digunakan oleh para ahli dalam bidang kriminalitas dan atau dalam bidang industri organisasi.

Misalnya untuk kebutuhan interview pekerjaan dalam bidang industri organisasi, dan untuk kebutuhan investigasi terhadap pelaku kejahatan dalam bidang kriminalitas.

Ada momen menarik sebenarnya dalam seminar yang berlangsung saat itu, dan bagiku momen menarik itu bukan ketika pemateri membawakan isi materinya, akan tetapi momen itu dirasa ketika dia memberikan closing statement. Kurang lebih seperti ini bunyinya:

“Terima kasih telah mengikuti seminar hari ini, semoga ilmu yang saya berikan bermanfaat untuk teman-teman semua, sebelum acara ini resmi saya bubarkan, mari berdoa untuk kita semua agar kita semua mampu menjadi pribadi-pribadi yang selalu berkata jujur dalam setiap kondisi”

Hmm, dari kalimat di atas sederhana memang. Bahkan mungkin jika dibaca ulang seperti kalimat ajakan biasa pada umumnya. Tapi bagiku ada key point yang cukup menggetarkan dan bisa berpengaruh terhadap aspek kehidupan tiap-tiap individu, yaitu tentang “Kejujuran”. Ya, seandainya aku dan kita semua mampu mengimplementasikan ilmu kejujuran dalam setiap kehidupan. Mungkin tidak akan ada seminar lie detector seperti ini. Mungkin tidak akan ada pihak-pihak yang merasa dirugikan karena kebohongan yang kita lakukan.

“tapi kan berbohong untuk kebaikan itu diperbolehkan Ka”, lantas pertanyaan berikutnya, “bohong yang seperti apa memangnya yang diperbolehkan?”

Banyak di antara kita (termasuk aku) yang terkadang mengukur standar “boleh atau tidaknya” hanya berdasarkan pada norma yang dibuat diri sendiri. Padahal kita sebagai umat manusia telah memiliki standar yang utuh loh, khususnya bagi seorang muslim sudah menjadi fakta yang umum diketahui bahwa kebohongan itu boleh dilakukan salah satunya dalam hal mendamaikan dua orang yang berselisih. Itu pun ada syarat-syaratnya lagi.

Jika kembali mengingat perjalanan kehidupan kita sampai hari ini, rasanya sangat merinding karena betapa banyak kebohongan yang telah kita ciptakan, berbohong pada orang tua, kepada orang-orang di sekeliling kita, bahkan berbohong pada diri sendiri pun sering kita lakukan tanpa sadar. Sehingga terkadang perilaku tersebut menjadi habit baru yang seharusnya tidak boleh ada dalam diri kita. Karena bukankah kepercayaan itu bisa terwujud hanya dengan kejujuran yang kita jaga?

Mungkin selama ini kita merasa ringan melakukannya karena merasa tidak ada yang mengetahui, tidak ada yang memperhatikan, atau tidak ada yang peduli. Mungkin juga lie detector yang selama ini kita ketahui dirasa kurang cukup memberikan efek takut pada kita sehingga kebohongan terus menerus kita lakukan.

Padahal jika sedikit saja kita kembali memahami tujuan dan muara hidup yang sesungguhnya sebagai manusia, mungkin kita akan kembali sadar, mungkin kita akan merasa takut dan merasa harus menyudahi kebohongan-kebohongan yang selama ini kita bangun. Karena bukankah ada dzat Yang Maha Mengetahui yang seharusnya menjadi pengingat bagi kita bahwa setiap aksi yang dilakukan akan diminta tanggung jawabnya kelak? Lantas, justifikasi apa yang bisa kita jabarkan ketika ditanya perihal kebohongan yang selama ini kita lakukan?

Masih sama dan sepakat dengan pemateri seminar waktu itu, harapanku semoga aku dan kita semua bisa mulai belajar untuk tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang selalu bersikap jujur. Jujur terhadap diri sendiri tanpa harus merendahkan diri, jujur kepada kedua orang tua tanpa harus takut karenanya, dan jujur kepada lingkungan tanpa harus merasa sombong dengan apa yang kita miliki.

 

Salam,

el